Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Santri Pesantren di Yogyakarta Belajar Kesehatan Reproduksi

Para santri dari Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta belajar mengenai kesehatan reproduksi.

25 Desember 2019 | 08.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Santri perempuan Pesantren Bumi Cendekia, Alfina Nurul Azizah tak lagi malu membicarakan organ reproduksi. Alfina bahkan bergabung dalam sebuah kelompok bernama "vagina" saat mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi untuk pertama kalinya di pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Yel-yelnya juga tentang bagaimana menjaga tubuh dan bergaul secara sehat,” kata Alfina di Sekolah Menengah Pertama dan Pesantren Bumi Cendekia di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis, 12 Desember 2019.
 
Remaja berumur 13 tahun itu satu dari 27 santri perempuan dan laki-laki yang mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi pada 1 September 2019. Pendidikan kesehatan reproduksi itu program kerja sama Mitra Wacana dan Fatayat Nahdlatul Ulama. Mitra Wacana merupakan organisasi nonpemerintah yang bergerak untuk isu perempuan dan anak. Sedangkan, Fatayat merupakan badan otonom perempuan NU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alfina semula malu-malu ketika mendapatkan sosialisasi tentang organ-organ reproduksi dari tim Fatayat NU. Vitrin, pelatih pendidikan kesehatan reproduksi dari Fatayat meminta Alfina dan kelompoknya untuk berani presentasi di kelas. Isi presentasinya tentang pengalaman mereka saat haid pertama kali.
 
Alfina menyebutkan selain mengenali organ-organ reproduksi, dia dan santri lainnya juga mendapatkan materi tentang cara merawat kebersihan organ-organ reproduksi, penyakit menular seksual, dan pacaran yang sehat. Santri juga belajar untuk berani menolak sentuhan bagian tubuh, seperti bibir, payudara, vagina, dan pantat. “Juga soal larangan merisak teman,” kata Alfina.

Santri laki-laki, Mirza Mudzafar Burhanudin punya pengalaman yang berbeda saat mengikuti pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren itu. Mirza menjadi lebih menjaga kebersihan organ-organ reproduksinya setelah ikut sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi.

Sebelum ikut acara itu, Mirza menyebutkan dirinya jarang mandi dan jarang ganti pakaian. Selain itu, dia juga mulai mengenal risiko seksual dan reproduksi, dan penyakit-penyakitnya. “Saya jadi perhatian sama kebersihan organ-organ reproduksi,” ujar Mirza.
 
Seperti Alfina, Mirza semula juga kaget dengan pendidikan kesehatan reproduksi yang pertama kali dia ikuti itu. Santri asal Cirebon, Jawa Barat ini malu-malu untuk mengenal organ-organ reproduksi. Dia dan kelompoknya yang dinamai penis juga wajib presentasi di kelas tentang pengalaman pertamanya mimpi basah.
 
Setelah mengikuti acara itu, ia menjadi tidak malu dan mendapatkan informasi seputar bagaimana merawat organ. Dia juga menyebutkan mendapatkan pengetahuan bagaimana cara menghormati teman dan tidak melakukan kekerasan terhadap teman-temannya. “Mengenal apa itu bullying dan berusaha tidak melakukannya pada teman,”katanya.

Baca kelanjutannya: Bagaimana cara mengajarkan kesehatan reproduksi ke santri?

 


Pendamping santri Pesantren Bumi Cendekia, Aina Masrurin mengatakan metode pendidikan kesehatan reproduksi berlangsung dengan cara yang menyenangkan. Santri menonton video tentang organ-organ reproduksi, membuat kelompok, dan presentasi tentang pengalamannya soal pubertas. Santri juga mendapatkan materi bagaimana harus berani menolak ketika ada orang yang menyentuh tubuhnya.
 
Pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren selama ini, menurut Aina, identik dengan hal-hal yang bersifat tabu. Pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren kebanyakan belum diajarkan kepada santri.  
 
Pendidikan kesehatan reproduksi di Pesantren Bumi Cendekia masuk setelah pesantren ini menjalin kerja sama dengan Yayasan Jaringan Pondok Pesantren Nusantara atau Yayasan Janur. Yayasan itu bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menggelar seminar kesehatan di Yogyakarta pada akhir Agustus 2019. Isi materinya tentang survei dan sosialisasi mawas diri.
 
Pesantren Bumi Cendekia mengirimkan tiga guru pesantren dan tiga santri untuk mengikuti acara itu. Dari acara tersebut, santri-santri pesantren mendapatkan pemeriksaan kesehatan gratis dari puskesmas terdekat.
 
Setelah itu, kader-kader Fatayat NU yang bekerja sama dengan Mitra Wacana masuk pesantren untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi. Pendidikan kesehatan reproduksi yang berlangsung selama satu hari itu, kata Aina minimal memberikan kesadaran bahwa menjaga tubuh dari berbagai bentuk kekerasan seksual itu sangat penting.

“Pemahaman tubuh sebagai aset yang harus dijaga dengan baik. Berani melawan bila ada yang melakukan sentuhan tidak aman ke organ tubuh tertentu,” kata alumnus sebuah pesantren di Kotagede Yogyakarta itu.
 
Guru dan bagian kesehatan pesantren, Robert Syarifudin menyebutkan pendidikan kesehatan reproduksi berlangsung dengan mendiskusikan kapan pertama kali santri perempuan mulai menstruasi dan santri laki-laki mimpi basah. Mereka juga diminta untuk bercerita tentang pengalaman mereka apakah pernah mengalami kekerasan verbal dan fisik. Pengalaman itu mereka tuliskan dalam kertas plano. Pelatih lalu mengumpulkan cerita-cerita itu.
 
Lima kader Fatayat melakukan sosialisasi tentang apa yang harus santri lakukan ketika mereka mengalami puber pertama. Ada juga yang menjelaskan bagaimana mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
 
Sebelum ada pendidikan kesehatan reproduksi, para guru sekolah dan pesantren, kata dia khawatir santri yang mengalami pubertas tidak bisa mengendalikan aktivitas seksual. Di kalangan santri juga beberapa kali muncul bullying, misalnya mengolok-olok santri yang bertubuh gendut.
 
Di sejumlah pesantren Kota Yogyakarta, santri perempuan dan laki-laki pesantren di Yogyakarta cekikikan dan malu-malu ketika pemateri menyodorkan gambar alat reproduksi.

Vitrin Haryanti, seorang pemateri dari Fatayat memberikan celemek bergambar organ reproduksi perempuan bagian luar, organ reproduksi perempuan bagian luar, dan organ reproduksi laki-laki. Vitrin meminta santri perempuan dan laki-laki untuk mengidentifikasi organ reproduksi itu.
 
Semula para santri itu resisten dengan kedatangan Vitrin. Tapi, dia kemudian berusaha meyakinkan mereka bahwa pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting untuk masa depan mereka. Vitrin bersama Mitra Wacana, berusaha meyakinkan pemimpin pesantren untuk sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi.
 
Bersama pemateri lainnya, Vitrin sosialisasi pendidikan kesehatan reproduksi selama empat jam. “Kami tekankan pendidikan kespro ilmu yang penting dipelajari, bukan hal-hal yang saru atau tabu dibicarakan,” kata Vitrin.
 
Dia aktif memberikan pendampingan pendidikan kesehatan reproduksi kepada para santri sejak 2017. Program mengenal kesehatan reproduksi dan seksual remaja di kalangan santri merupakan kerja sama antara Mitra Wacana dan Fatayat.
 
Dia pernah menjadi pemateri di Pesantren Ash-Sholihat dikabupaten Sleman. Dalam waktu dekat, ia akan sosialisasi di pesantren di Kabupaten Kulon Progo. Tahun 2017, pendidikan kesehatan repoduksi berlangsung di pesantren-pesantren kota Yogyakarta.

Sosialisasi ditujukan kepada santri yang rata-rata berumur 16-17 tahun. Hingga kini, sosialisasi itu berjalan dan jangkauannya lebih luas karena mencakup seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya terdapat rata-rata 100 santri di setiap pesantren yang menerima sosialisasi itu.
 
Mitra Wacana waktu itu bekerja sama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Salah satu yang aktif berjejaring dengan Mitra Wacana adalah Puskesmas Jetis Yogyakarta. Mereka bersama kader Fatayat menggelar sosialisasi kesehatan reproduksi kepada santri di pesantren Rabingah Prawoto. “Sosialisasi lewat diskusi terfokus,” kata Kepala Puskesmas Jetis Yogyakarta, Ani Mufidah.
 
Tahun 2018-2019, Mitra Wacana melanjutkan sosialisasinya ke pesantren-pesantren dan cakupannya menjadi lebih luas. Tidak hanya di kota Yogyakarta saja, melainkan ke kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Terdapat 15 pesantren setidaknya yang meminta sosialisasi. Mitra Wacana bersama Fatayat NU baru melayani enam pesantren. Mitra Wacana dan Fatayat NU menyiapkan modul yang terus menerus diperbaiki. Pendidikan kesehatan reproduksi di pesantren berlangsung setiap Ahad.
 
Modul itu menyangkut pengenalan organ reproduksi, pubertas, relasi yang sehat, dan 12 hak kesehatan reproduksi. Identifikasi organ reproduksi misalnya perbedaan sistem reproduksi perempuan dan laki-laki. Misalnya menyangkut organ, fungsi, masa, dan dampak. Di kelas, pemateri menjelaskan bahwa perempuan memiliki masalah kesehatan reproduksi yang lebih kompleks ketimbanglaki-laki.
 
Direktur Mitra Wacana, Imelda Zuhaida menjelaskan kompleksitas persoalan perempuan itu contohnya kekerasan seksual karena relasi kuasa yang timpang. Pemateri kemudian menekankan bahwa perempuan harus melindungi tubuhnya dari kekerasan seksual. Mereka harus bisa membedakan sentuhan aman dan tidak aman, serta menolak berbagai pemaksaan. Selain itu, materi kelas juga bicara bahwa laki-laki maupun perempuan tidak boleh melakukan kekerasan seksual atau menyakiti orang lain.
 
Sentuhan aman contohnya sentuhan kasih sayang orang tua kepada anak, sentuhan dokter kepada pasien. Sedangkan, sentuhan tidak aman terjadi ketika orang lain menyentuh organ intim yang berisiko terhadap organ reproduksi. Perempuan harus menjaga wilayah tubuhnya yang rentan mengalami kekerasan seksual, seperti dada, mulut, pantat, wilayah perut ke bawah atau sekitar alat kemaluan. “Harus berani menolak ajakan perilaku seksual,” kata Imelda.  
 
Selain itu, modul juga membahas tentang 12 hak kesehatan reproduksi,yakni hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, hak atas kerahasiaan pribadi, hak atas kebebasan berpikir, hak mendapatkan informasi dan pendidikan. Ada juga hak untuk menikah dan tidak menikah serta membentuk dan merencanakan keluarga.
 
Hak lainnya adalah hak untuk memutuskan punya anak atau tidak punya anak, hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan, hak untuk mendapatkan kemajuan dari ilmu pengetahuan, hak atas kebebasan berkumpul dan partisipasi politik, serta hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
 
Menurut Imelda, untuk mengusir kebosanan dan kebekuan kelas, pemateri menyampaikan materi dengan cara yang partisipatif. Pemateri menyelipkan berbagai bentuk permainan di kelas. Mitra Wacana memulai pendidikan kesehatan reproduksi dengan kesan awal lingkungan pesantren yang jorok, misalnya penggunan celana dalam yang tidak bersih dan tidak rajin mengganti pembalut. “Sosialisasi awalnya seputar bagaimana menjaga kebersihan genital lalu ke materi lainnya,” kata Imelda.

Baca kelanjutannya: Apa pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi ke santri?


 
Kesehatan reproduksi di pesantren, kata Imelda penting untuk memastikan informasi didapatkan seluruh remaja. Sekolah menjadi ruang yang strategis untuk pendidikan kesehatan reproduksi. Tapi, pesantren selama ini lebih dikenal sebagai ruang pendidikan yang memberikan porsi pendidikan agama lebih besar. Imelda khawatir pesatnya perkembangan internet membuat remaja tak bisa membedakan informasi yang tepat atau pas tentang kesehatan reproduksi.
 
Para peneliti kesehatan reproduksi menyebutkan jumlah remaja yang menikah usia dini masih tinggi. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus pada 2015 menunjukkan terdapat 1,5 juta penduduk usia 15-19 tahun yang menikah dan bercerai. Mereka tinggal di perdesaan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Paling banyak pernikahan usia dini tersebar di daerah pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Timur.
 
Dampak dari pernikahan usia dini adalah potensi kematian untuk ibu hamil maupun anaknya. Pusat kesehatan reproduksi pemerintah maupun organisasi nonpemerintah belum menjangkau remaja secara merata di perdesaan.
 
Pesantren selama ini dikenal sebagai tempat belajar yang punya banyak aturan. Padahal, ada banyak santri yang ingin mengakses informasi tentang kesehatan reproduksi. Selama ini, informasi yang mereka dapatkan sebatas dari kawan ke kawan. Sosialisasi kesehatan reproduksi dalam agama masih dianggap tabu sehingga remaja kalangan pesantren belum cukup mendapatkan informasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.
 
Pegiat Pusat Studi Gender Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Daerah Istimewa Yogyakarta, Rindang Farihah menjelaskan pendidikan kesehatan reproduksi menjadi cara untuk membongkar tabu di kalangan pesantren. Pendidikan kesehatan reproduksi penting karena tidak hanya mengenalkan organ reproduksi dan cara merawatnya, tapi juga bicara tentang membangun relasi yang sehat dengan lawan jenis atau pacaran yang sehat.
 
Rindang mencontohkan pentingnya membedakan sentuhan aman dan tidak aman untuk mencegah kekerasan seksual. “Juga mengenalkan risiko-risiko akibat aktivitas seksual,” kata Rindang.
 
Melalui Fatayat,lanjut Rindang, pendidikan kesehatan reproduksi menjadi gampang masuk ke pesantren. Dalam program itu, Fatayat juga menyelipkan pertanyan usia berapa idealnya santri menikah.Ini penting untuk mencegah pernikahan usia dini. Semua kader Fatayat yang memberikan sosialisasi telah mengikuti pelatihan tentang kesehatan reproduksi dan gender.
 
Fatayat NU, kata Rindang juga melakukan riset tentang pengetahuan kesehatan reproduksi santri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Riset itu dilakukan karena Fatayat prihatin dengan minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan santri.
 
Rindang yang juga Ketua II Bagian Pendidikan dan Advokasi Fatayat DIY menjelaskan, Fatayat melakukan riset pada 13 pesantren yang mengikuti pendidikan kesehatan reproduksi. Program itu diinisiasi pada 2016 untuk 13 pesantren dan satu masjid di kawasan Krapyak Yogyakarta. Ada 579 santri perempuan dan 159 laki-laki yang berumur 12-17 tahun.
 
Riset itu tentang pengetahuan tanda-tanda pubertas, pengetahuan tentang usia baligh atau dewasa dan yang dirasakan, Apa yang dilakukan ketika santri memasuki usia dewasa, serta siapa yang diajak bicara.
 
Hasil riset menunjukkan meski mereka memiliki pengetahuan dasar tentang organ reproduksi dan fungsinya, tetapi mereka minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak kesehatan reproduksi. “Pengetahuan yang kurang itu misalnya tentang gangguan kesehatan reproduksi atau penyakit,” kata Rindang.
 
Riset itu juga menyebutkan menstruasi dan mimpi basah menjadi pengalaman mengejutkan dan mempengaruhi emosi mereka. Santri putra sudah tahu apa yang harus dilakukan, sedangkan, santri perempuan masih perlu bimbingan. Bagi santri perempuan, haid perkara publik.
 
Mereka dengan mudah bercerita apa yang mereka alami kepada ibu mereka, orang tua, dan pendamping di pesantren. Sedangkan, santri laki-laki menyebut pengalaman mimpi basah sesuatu yang personal dan tidak perlu menjadi konsumsi publik.
 
Untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, Fatayat juga membagikan pamflet kepada para santri di pesantren. Tujuannya agar santri ikut serta menyebarkan ke kawan-kawan mereka. Hasil pendidikan kesehatan reproduksi itu menurut Rindang cukup memuaskan. “Semakin banyak pesantren yang meminta pendidikan kesehatan reproduksi ke Fatayat,” ujarnya. 

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus