SEMUA pegawai pria memakai dasi. Suara musik lembut mengalun
mengisi ruangan yang ditata rapi. Dengan permadani yang menutupi
seluruh lantai dan udara yang disejukkan oleh AC, kantor dan
studio radio Elshinta memang mengesankan suasana yang bonafid.
"Memang semua karyawan pria kami diharuskan berdasi. Ini salah
satu bentuk disiplin. Sejak pertama tekad kami ingin
profesional," ujar Andy Rustam, 27 tahun General Manager
Elsbinta Broad casting System pekan lalu.
Radio Elshinta saat ini memang sudah merupakan usaha
profesional. Didukung 27 karyawan, Elshinta yang mangkal di
tingkat 18 Gedung Arthaloka di Jalan Sudirman Jakarta ini
beroperasi 20 jam sehari. Sekitar 20% dari jam siarannya
disediakan untuk iklan. Tarifnya Rp 30 per detik. Pendapatan
dari iklan memang menjadi tulang punggung perusahaan ini.
Pendengarnya dari kalangan menengah atas. Keuntungan yang
dipetik tiap bulannya menurut sumber TEMPO bisa mencapai
beberapa juta rupiah.
Cikal bakal dari radio siaran swasta adalah apa yang disebut
"radio amatir" yang mulai muncul di tahun 1966 sebagai alat
perjuangan Angkatan 66. Ada beberapa di antaranya yang kemudian
membubarkan diri tatkala merasa perjuangan menumbangkan Orde
Lama berhasil dicapai. Seperti misalnya Radio Ampera, yang oleh
salah satu tokohnya -- almarhum Soe Hok Gie -- pernah
diibaratkan sebagai seorang cowboy yang datang membebaskan
sebuah kota dari ancaman para bandit. Dan kemudian berlalu pergi
lagi ketika ketertiban sudah pulih.
Tapi yang tinggal masih cukup banyak. Jumlah radio siaran --
yang kemudian menjadi hobi menarik di kalangan anak muda --
makin menjamur, bersamaan dengan makin larisnya pesawat radio
transistor. Di Jakarta saja jumlahnya pernah mencapai sekitar
400 stasiun dengan siaran yang acak-acakan hingga sering
mengganggu komumkasi radio dan siaran radio resmi. Kemudian
Gubernur DKI Jaya meluruskan kekisruhan itu dengan mewajibkan
usaha radio siaran menjadi badan hukum, dan jumlahnya menciut
menjadi sekitar 40 buah.
Bang Kalong
Melalui PP no. 55/1970, pemerintah mengatur tentang jenis usaha
radio siaran yang komersial dan yang non-komersial. Pada 1974,
diselenggarakan kongres pertama radio swasta seluruh Indonesia
yang melahirkan Persatuan Radio Swasta Niaga Indonesia (PRSNI).
Suasana "amatir" terkadang masih dijumpai di beberapa studio
radio komersial. Di Radio Mara Bandung misalnya, sementara
siaran siang hari berlangsung, di ruang belakang beberapa
karyawan bisa dijumpai bersantai sambil main gaple. Radio ini
kesayangan para remaja pelajar, mahasiswa dan masyarakat kelas
menengah Bandung. Berdiri sejak 1968 dengan modal Rp 500.000
dari 27 pemegang saham, banyak pendengar Radio Mara yang masih
menganggapnya amatir. "Banyak surat yang masuk yang masih
menggunakan kata 'amatir' pada alamat radio kami," kata Rusjdi
M.A.R., Kuasa Penanggung Jawab radio ini. Letjen H.R. Dharsono,
semasa menjabat Pangdam VI/Siliwangi hampir tiap minggu muncul
untuk siaran dengan julukan Bang Kalong.
Omset radio ini kecil, sekitar Rp 750.000 sampai Rp 1 juta per
bulannya. Pendapatan itu diperoleh dari iklan. Tiap hari antara
15 sampai 20 iklan dari berbagai jenis produk disiarkan.
Tarifnya Rp 20 per detik. "Murah tapi biro iklan menolak tiap
kali mau dinaikkan," kata Rusjdi.
Didirikan oleh anak-anak muda sekitar Jalan Prambanan dan
Borobudur Jakarta pada Maret 1968, Radio Prambors kini
memperoleh 80% pendapatannya dari iklan. Dari 18 jam siaran, 2
jam disediakan untuk iklan. Sisanya dari usaha lain seperti
rekaman kaset, royalti dari Prambors Band, grup Warung Kopi dan
Diskotik. "Selain itu kami juga punya berbagai kegiatan untuk
membina penggemar seperti kelompok bola basket, voli dan
sepakbola. Ini harus kami biayai," kata Amir H. Nasution,
Manajer Penjualan perusahaan ini.
Radio Kayumanis -- salah satu radio yang paling populer di
Jakarta --menyediakan lebih banyak waktu untuk siaran iklan. Tak
kurang dari 3« jam dari 18 jam waktu siarannya disediakan untuk
iklan dengan tarif Rp 25 per detik. Bila dihitung secara kasar,
diperkirakan sekitar Rp 9 juta per bulan (belum dipotong reduksi
buat pemasang) bisa diperoleh dari iklan. Namun tampaknya yang
diterima tidak sampai setinggi itu. Sekitar 40% pendapatan
dipergunakan untuk membayar gaji 35 karyawan, 20% untuk biaya
produksi dan jua untuk Pajak.
"Pada angka penghasilan Rp 3,5 juta usaha kami ini baru mencapai
titik impas," kata Kustianto, Direktur Utama P.T. Radio
Kayumanis yang juga menjabat Ketua I PRSNI. Seberapa jauh usaha
menjaga siaran agar tidak rusak oleh iklan? "Kami akan
menaikkan tarif iklan agar volume sedikit tapi penghasilan
tetap," jawab Kustianto. PRSNI, katanya, sudah menganjurkan pada
385 radio swasta niaga anggotanya di seluruh Indonesia agar
membatasi siaran iklannya sampai 25% dari jam siarannya.
Cukup Cerah
Tidak semua radio swasta mendapat reeki dari iklan. "Untuk
sebuah kampanye periklanan yang sifatnya nasional, kami hanya
menggunakan 120 radio di seluruh Indonesia," ujar Baty Subakti,
Direktur Media P.T. Indo-Ad. Yang menentukan radio mana yang
dipakai adalah gelombang, lokasi dan acaranya.
Jakarta tetap merupakan sumber iklan buat semua radio swasta
Indonesia. "Sekitar 90% dari iklan yang kami siarkan datang dari
Jakarta," ujar Haji Adnan Lubis dari Radio Alnora Medan. Ia
mengutip tarif iklan Rp 15 per detik dan mempunyai perwakilan di
Jakarta yang mengurus iklan. Prospek bisnis radio swasta menurut
Lubis cukup cerah. Selain punya 2 studio di Medan, Alnora pada
1976 membuka cabang di Tebingtinggi, menanam 80% modal di Radio
Kencana di Pematang Siantar dan di Padang Sidempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini