Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kok Berkelahi Melulu ? Mereka Berkelahi: Siapa Yang Mengatur?

Perkelahian antara anak sekolah berawal dari kejadian sepele. Polisi rajin mendatangi sekolah dan berdialog. hukuman bagi setiap pelanggaran harus diterapkan secara konsekwen. (pdk)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar gedung SMA XVIII dua murid puteri saling menjambak rambut. Kabrnya gara-gara seorang "cowok". Mengetahui hal itu, pimpinan sekoah segera singsingkan lengan baju, ambil tindakan. Beri ancaman: tidak boleh mengulangi perangai tak terpuji itu lagi, plus nasihat-nasihat. Damai. Tapi sementara. Sebab seorang dari anak gadis kelas I itu merasa belum plong.Ia menilai sang cowok, si Zainal (bukan nama sebenarnya), bersikap tak adil dalam menilai perselisihan di atas. Bahkan kabarnya cewek itu pernah diancam oleh Zainal, yang duduk di kelas III itu. Sang cewek kebetulan punya seorang abang, belajar di STM Dwikora. Kabar buruk itu sampai padanya. Iapun sering mengantar saudaranya itu ke sekolahnya. Demi keselamatan adik, katanya. Meskipun sebaliknya ada pula cerita, bahwa si abang - kita namakan Basuki - sebenarnya ingin mengintai si Zainal. Pada suatu hari Basuki merasa lemas badan. Habis, darahnya baru saja disedot di Kecamatan Cempaka Putih. Ini untuk memenuhi seruan pimpinan sekolah agar mereka mau jadi dermawan darah. Pulang ke rumahnya, Basuki harus ke Banteng dulu. Sampai di terminal bis pusat ini, ia tak sengaja bertemu dengan Zainal. Walau bertemu cuma sekali, tak jadi halangan bagi mereka untuk baku hantam. Menurut Basuki, Zainal yang mulai menyarangkan pukulan ke tuhuhnya yang lagi lesu darah itu. Ini tanggal 15 April, tengah hari bolong. Sorenya, ketika di sekolah, Basuki tak tahan untuk tidak menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya. Biasa. Mungkin dimaksudkannya atau tidak, tahu-tahu solidaritas spontan tumbuh. Tigapuluh delapan orang segera berkumpul. Dengan bis mereka menuju SMA yang terletak di Jakarta Kota itu. "Heran saya. Kalau ada kasak-kusuk biasanya terdengar oleh kita. Tapi kali ini kok tidak", ujar Direktur STM swasta itu, Sunarno Wiratmodjo kepada TEMPO . Target operasi adalah Zainal. Kalau ada. Bila tidak, ini celakanya, siapapun jadilah. Memang. begitu. Toyib, yang tak tahu ABC-nya kejadian, jadi korban. Untung hanya luka. Bahkan juga seorang guru olahraga, yang lagi bersama anak asuhnya. Guru memang tak masuk daftar sasaran. Cuma si guru ini, yang tak melawan atas serangan terhadap dirinya kecuali lari pontang panting, tampak sebaya dengan murid-muridnya. Mungkin karena ia olahragawan. Kasus di atas selesai lewat perdamaian. Tapi ada peristiwa lain: Anak-anak STM III dan SMEA VI minggu lalu harus berhadapan dengan Hakim Muhidin Abidin SH dari Pengadilan Jakarta Utara-Timur. Perkelahian juga, dengan api penyulut yang sama: cewek. Tapi kali ini bukan dalam hubungan adik abang. Pada suatu hari di bulan Maret yang lalu, dua murid pria SMEA VI lagi asyik ngobrol dekat pagar sekolah. Datang Ns, 17 tahun, menginterupsi. Salah seorang murid pria tersebut,entah karena lagi serius-seriusan atau karena lagi angin tak baik, merasa amat terganggu oleh Ns. Ucapan: "Badak lu", tak dapat disimpan lagi oleh murid lelaki itu, terhadap Ns. Si siswi tentu tak terima. Pas saat itu lewat dua anak STM III. Merasa ada kenalan di sekolah yang terletak di Jatinegara itu, Ns menyampaikan pesan bahwa dia dihina. J, teman s tersebut segera mengumpulkan 5 kawannya, anak STM. Ag. dikeroyok. Pada seri kedua, Ag pula--yang setelah berhasil menghimpun sekitar 5 orang-mendatangi J yang dianggap lancang tadi. Sementara baku pukul itu, sebuah truk yang berisi pelajar-pelajar STM III sampai ke gedung SMEA yang terletak di Cililitan itu. Tanpa tahu sebabnya, pengrusakan dilakukan terhadap gedung sekolah lanjutan ekonomi tersebut. Himpit berhimpit kejadian ini terjadi di ibukota selama kwartal pertama tahun ini. Ciri-ciri kejadian itu mudah dikenal: dimulai oleh senggolan kata biasa, kemudian jadi api besar. Dan serombongan orang menyerbu bagaikan menyerang musuh bebuyutan layaknya. Telah diberitakan peristiwa STM Yamnor vs SMA XXIV (TEMPO, 20 Maret). TaPi tidak hanya STM -- yang dinilai memegang peranan aktif dalam kcjadian-kejadian itu -- kontra nonSTM. Sebab ada juga antara sesama sekolah tersebut, seperti STM I Budiutomo dengan STM III (TEMPO, 27 Maret). Sekolah teknik yang di Budiutomo itupun nyaris beradu tenaga dengan STM Starada ketika bulan April lalu mereka sama-sama berkemah di Sukabumi. Kali ini soal tempat, yang menurut STM I sudah diberikan izin kepada mereka. Menurut mereka, tahu-tahu STM yang swasta itu sudah menduduki kawasan itu. Nyaris terjadi pergumulan, karena sudah mulai ada yang menantang. Untung bisa didamaikan guru. KORBAN jiwa juga ada,walaupun tak dapat dikatakan akibat langsung dari perkelahian-perkelahian itu. Demikianlah maka arwah Marlon Van Broekhuizen, siswa STM Teladan telah mendahului teman-temannya, ketika ia tergilas truk Pada 9 April itu siswa sekolah tersebut baru saja bergembira memenangkan pertandingan olahraga melawan STM Poncol. Begitu keluar dari Gelanggang Remaja Jakarta Timur, begitu mereka mendapat serangan dari anak seusia mereka juga. Marlon dan rekan-rekan segera berusaha menyelamatkan diri. Sebuah truk berhasil dicegat. Marlon menyelamatkan kawan-kawannya lebih dahulu. Ia sendiri cuma berjalan kaki mendahului truk tersebut, baru kemudian ia berusaha melompat ke sebuah bis. Tahu-tahu truk tadi telah mendekat padanya. Teman-temannya berteriak supaya Marlon melompati saja truk itu supaya tidak terlindas. Marlon menurut. Tapi lompatannya kurang begitu tinggi untuk mencapai bumper depan. Sementara itu jalanan yang agak menurun tak membantu supir memberhentikan kendaraannya. Lengan kanan dan sebagian dadanya terlindas kendaraan besar itu. Sang pengemudi cepat-cepat lari meninggalkan kendaraannya. Karena kejadian-kejadian itu bertolak dari Jakarta, pemberitaanpun besar. Perhatian banyak pula dicurahkan. Presiden Soeharto pekan lalu menyatakan kesetujuannya untuk mengambil tindakan tegas pelaku beberapa perkelahian antar anak sekolah tersebut. Sebelum itu Kepala Bakin sudah mengingatkan bahwa kenakalan remaja "tak dapat ditolerir lagi". Yang menarik, adalah statemen Menteri P&K Sjarif Thajeb yang menduga kejadian tersebut ''ada yang mengaturnya". Dengan definisi lain ada penunggangnya. "Rupanya ada unsur-unsur yang ingin mengacaukan keadaan", ucap Menteri selesai menghadap Presiden. Tanpa menjelaskan duduk kejadian, ia memberikan contoh perkelahian antara STM Cijantung kontra SMP Bogor. "Ini bukan anak-anak yang mengaturnya. mesti ada orang lain yang mengatur. Persoalan ini akhirnya masuk juga ke bidang badut-badut TVRI, yang sudah 5 x dalam beberapa waktu terakhir menampilkan masalah itu, bicara sekali lagi: Acara Kamera Ria TVRI, 28 April malam telah melukiskan itu dalam lawakan Reog BKAK dan Tan Ceng Bok. Mang Dudung, sebagai biasa memberi wanti-wanti agar anak sekolah jangan sampai ditunggangi, terutama pada zaman sekarang ini. Anak-anak sekolah yang dimainkan oleh Mang Diman dkk waktu itu bermaksud menghajar Mang Udi sebagai anak Tan. Mendengar kata "ditunggangi", ada yang kontan nyeletuk: "Siapa yang menunggangi ya?" Jawab yang lain: "Tahu". Dalam suatu zaman ketika tuduhan ' ditunggangi'sering diobral. Lelucon itu segar juga sedikit. Dalam keributan massal, penunggangan memang mudah terjadi. Idris, Direktur STM Penerbangan (STM Negeri II) pagi-pagi mengakui: "Saya sebagai Kepala Sekolah akan susah menangani bila ada perkara yang dicampuri unsur non-pelajar". Dari kasus beberapa kejadian di atas nampak bahwa yang jadi gara-gara hanya soal kecil Apakah karena anak-anak STM cepat panas? "Sekolah kita ini rawan, mudah dipengaruhi dari luar'', Suatmadji, Wakil Direktur STM I menyimpulkan situasi sekolahnya pada TEMPO. Karena itu? "yang kami cegah adalah isyu-isyu dari luar jangan-jangan sampai masuk", lanjutnya. Barangkali inilah usaha nyata untuk menghindarkan kemungkinan masuknya anasir orang luar, yang bisa memancing. yang pada gilirannya akan menaiki dan memacu kejadian itu. Di samping pernyataan Menteri di atas perlu lebih diperterang, hal itu haruslah ditangani fihak petugas kedaulatan? yang meneruskannya kesalu pemeriksaan pengadilan - seperti yang terjadi pada kasus STM III dan SMEA VI di atas. Di situ baik penuntut umum maupun hakim tidak menilai adanya hal lain, selain sekedar kenakalan anak-anak muda yang bersekolah. Tigabelas pelajar STM' III dan dua dari SMEA VI (termasuk Ns, si cewek) kena 3 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun, plus 2 syarat. Pertama, mereka diwajibkan melapor selama dalam masa percobaan ke kejaksaan. Kedua, mewajibkan para terhukum memperbaiki kerusakan gedung SMEA Vi akibat penyerangan itu. Jaksa yang sementara itu menyatakan ,naik banding terhadap putusan hakim tunggal itu, rupanya ingin sungguh-sungguh dalam memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak yang "keterlaluan" nakalnya itu. PARA pendidik dan umum, tidak banyak beda pendapat tentang terapi yang harus dikenakan pada para pengkelahi Kalau sudah demikian rupa, apa boleh buat. Penghuhumanpun harus sesuai dengan azas pemasyarakatan yang secara praktis di trapkan pemerintah. Si anak tidak dimusnahkan dari kemungkinan kembalinya ke masyarakat kelak. Tak boleh dilupakan adalah faktor-faktor yang bisa dinilai sebagai penyebab tindakan-tindakan brandalan itu sendiri. AJ Soesetyo, yang sebagai Kepala Kantor Wilayah P & K Jakarta menjadi sibuk oleh situasi tersebut, menyatakan kepada TEMPO bahwa kejadian-kejadian itu bukan tidak diduga sebelumnya. Beberapa hal dikatakan sebagai penyebabnya. Soesetyo melihat dari fasilitas pendidikan yang belum memadai. Kepadatan murid di kelas rata-rata tak kurang 58 orang. Kepadatan ini katanya bisa menimbulkan friksi. Faktor ini berbaur dengan kurangnya tenaga guru. Akibatnya banyak jam pelajaran yang menjadi kosong. Ada lagi perkara penataran guru, yang banyak mengambil waktu jam-jam belajar. Selama dua bulan belakangan ini. setiap minggu STM I terpaksa harus ditinggalkan 12 gurunya yang ditatar. Dan untuk menghadapi Technical Training Centre di Bandung, sekolah itu akan mengirim 15 guru (dari 78 tenaga yang ada) selama 10 bulan. Pimpinan STM. akan mengusahakan adanya guru pengganti. Di Dwikora, Sunarno juga membenarkan adanya jam kosong sebagai faktor yang memberi peluang untuk terjadi ramai-ramai. Umumnya karena ada penataran. Sekarang mulai diatur agar acara peningkatan mutu itu diadakan waktu pagi sehingga sekolah yang sore itu tidak akan merugikan muridnya. Soesetyo menunjuk STM V, yang kebetulan bebas dari pemberitaan perkelahian akhir-akhir ini. Dari 20 guru tetap, 11 mengikuti penataran selama sebulan. "Kami tak punya pilihan lain, walaupun tahu risikonya", kata Soesetyo lagi. Soalnya, karena biaya yang didrop punya batas waktu penggunaan menurut tahun anggaran. Mau tak mau harus dipakai, ketimbang hangus. Pejabat ini juga menunjuk beberapa faktor lain. Kekurangan guru dihubungkan dengan pembukaan sekolah-sekolah baru, dan pengawasan di luar sekolah. Tentang yang terakhir ini, para guru juga sependapat. Murid-murid, menurut mereka, hanya beberapa jam di tangan mereka. Pengawasan orangtua, kegiatan penyaluran bakat, bimbingan RT/RW, bahkan kegiatan yang dilakukan oleh polisi (lihat box) termasuk dalam dunia di luar jangkauan guru. Tapi bagaimana selama di sekolah? Katanya guru kurang berwibawa. Apa betul? "Guru-guru masih disegani", tagkis Suatmadji, STM I. "Tidak pernah ada siswa yang mengancam, walau tidak naik kelas". Diingatkannya akan kejadian antara sekolahnya dengan STM III. Waktu anak-anaknya sampai di Banten,sebagian mereka bisa diajak kembali karena mereka melihat ada Wakil Direkturnya. Campur tangan pimpinan terpaksa dilakukan karena OSIS merasa kewalahan. Sunarno, STM Dwikora juga membantah dakwaan merosotnya kewibawaan guru. "Kalau merosot, hanya terbatas dalam sekolah". Maksudnya guru adakalanya tidak digubris pada waktu mengajar. Hanya sebatas itu. Tapi Husein Toyib, guru STM III yang jadi saksi dalam sidang pengadilan di atas, ada mengakui bahwa pelajar tak sulit ditertibkan asalkan guru dapat bertindak tegas. Di sekolahnya, diakui sering teradi perkelahian antar murid baik sesama mereka sesekolah, maupundengan pelajar dari luar. Sementara itu baik juga didengar pcndapat ahli-ahli ilmu jiwa dan pandangan Prof Dr. Winarno Soerachmad, Rektor IKIP Jakarta - perguruan tinggi yang mencetak tenaga-tenaga guru sekolah lanjutan atas tersebut (lihat box). Dari beberapa musibah metropolitan di atas, unsur pengeroyokan dibarengi oleh unsur STM. Setidaknya Sekolah Teknik, untuk memasukkan beberapa kejadian khusus. "Solidaritas yang tinggi yang menyebabkan anak-anak STM berkelahi dengan siswa-siswa sekolah lainnya", kata Suatmadji menyandarkan pada pengalaman di sekolahnya. Itu bedanya dengan dulu: waktu itu anak-anak berkelahi satu lawan satu. Pada hematnya anak-anak STM secara perorangan bukanlah orang yang jago berkelahi. Buktinya, sedikit dimarahi guru bila ada kesalahan, terus menangis. ' Kalau jagoan kan tidak begitu", katanya lagi. Gejala merasa jago kalau berkelomlok dinilainya mulai tampak setelah 1966 - menyusul masa yang padat dengan demonstrasi massal. Beberapa faktor lain dicoba disorot. Misalnya soal jenis kelamin murid. Beberapa tahun terakhir, beberapa STM mulai menerima murid Kartini. Jumlah ini masih sedemikian kecilnya, sehingga sepintas hilang saja dari permukaan. Di STM Penerbangan dari 560 pelajar ada 15 siswi. Sedang di STM Dwikora ada kelas-kelas yang memiliki beberapa siswi. Kebalikan dari merubah watak teman-teman prianya, ada siswi yang malah terlarut oleh watak kolega cowok dalam bertingkah, termasuk suka bolos. Begitulah yang diterangkan Sunarno. Di STM I juga ada beberapa, tapi tak sampai berperangai seperti yang di Dwikora Suatmadji kemudian menyimpulkan:'Rasa jantan anak-anak STM lebih besar daripada SMA". Jantan yang dimaksudkan pimpinan sekolah ini, mungkin bermakna lain. Jantan toh tidak mewariskan sifat suka main keroyok. Yang dimaksudkan barangkali sikap yang suka mengoboi, ngawur-ngawuran. Pokoknya lainlah dengan sikap kaum Kartini, yang umumnya cermat, patuh dan lain-lain sifat mulus. Seperti dilukiskan Idris anak-anak STM yang mayoritas Adam itu tak terlalu memikirkan akibat-akibat yang bisa terjadi pada kawan puteri mereka. Demikianlah tentang sifat Adam dan Hawa. BAGAIMANA dengan penyebab lain? Suatmadji mungkin benar dalam menarik kesimpulan tentang kurang dekatnya hubungan antara STM dan yang non STM, khususnya SMA. "Masing-masing ingin menonjolkan jenis sekolahnya", sebutnya. Ini dapat dimengerti. Murid STM mungkin merasa sekolahnya unggul, karena sekolah ini lebih menjamin masa depan. Atas kenyataan tak semua tamatan SMA akan melanjutkan ke tingkat lebih atas - karena berbagai hal -- syarat-syarat yang dibutuhkan untuk sesuatu lapangan pekerjaan mengharuskan seseorang memiliki ketrampilan yang konkrit. Dan STM salah satu akomodasinya. Sebaliknya ada juga orang yang mengupas kelainan sifat kedua sekolah di atas dari sudut sosial ekonomis, yang lalu menjadi peka dan eksplosif. Walaupun mungkin benar, tapi agaknya tak perlu menonjolkan bahwa SMA adalah sekolah anak mampu dan STM yang tidak mampu. Bukankah banyak juga anak orang kaya yang dididik di SMA yang tak bisa masuk perguruan tinggi karena ketakmampuan otaknya? Sementara tak sedikit lulusan STM, yang setelah sekian tahun, dengan usaha sendiri (dapat pula menjadi insinyur. Cuma soalnya bagaimana mendekatkan hubungan kedua jenis sekolah tersebut. Gubernur Ali Sadikin dalam mengecam perkelahian beberapa peristiwa tersebut mempersoalkan peranan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Sudah waktunya pula, kata Gubernur dua pekan lalu, bila diadakan pula pertemuan antara OSIS. Mungkin orang banyak juga perlu tahu: apa OSIS itu sebenarnya. Dalam beberapa kejadian OSIS bukan tak mengupayakan tindakan pencegahan maksimal. Hanya seperti di STM I, mereka kewalahan. Sedangkan di Dwikora, "saya menyesal, tidak ada yang memberitahu lebih dahulu", kata Yan Irianqo, Ketua OSIS di situ. Tapi ia sekarang sudah punya resep. Bagaimana? Baiknya dirahasiakan saja dulu. Catatan menunjukkan bahwa keributan banyak dimulai dari sekolah yang lingkungannya padat, seperti halnya dengan STM I. Di sebelah kantor Pusat Kimia Farma, sekolah itu terletak di pinggir jalan yng ramai.Di depannya Mahkamah Agung, kantor kejaksaan dan pajak. Lapangan Banteng yang sibuk itu dekat: cukup ditempuh dengan berjalan laki. Halaman sekolah sendiri tak begitu luas untuk lingkungan yang besar. Lebih dari itu di muka sekolah banyak orang berjualan, pedagang kaki lima. Suatmadji kini berterimakasih pada Walikota Jakarta Pusat yang sudah membersihkan pedagang-pedagang tersebut. Kepadatan lingkungan itu kurang membantu "suasana bersekolah". Idris yang memimpin sekolah yang terletak di Kebayoran juga mengingatkan pentingnya peranan lingkungan sekolah dalam pembentukan watak pelajar. Ia menganggap wajar bila para siswa STM yang terletak di tempat ramai berwatak keras, mudah marah.''Untuk membangun gedung sekolah harus dipikirkan keadaan lingkungan", kata Idris. Tapi Mangari yang mengepalai SMA XVIII tak setuju dengan ini. Sebab, katanya di sekolah siswa hanya berada sekitar 6 hingga 7 jam. Ia memulangkan persoalannya pada lingkungan luar sekolah. Pengaruh keluarga, film dan lingkungan luar. Tentang anak sekolah ia mengandalkan semata-mata pada bagaimana guru mengaturnya. Banyak kepingan tercukil dari beberapa kejadian yang menyangkut perkelahian remaja sekolahan ini. Perkara wibawa guru, penataran yang takut kehangusan biaya, kekhasan STM, pengeroyokan atas gara-gara yang sepele.cara penindakan, peranan OSIS, lokasi sekolah, dan - yang lebih hebat kemungkinan penunggangan. Unsur-unslr itu tampaknya bersifat sokong-menyokong. Saling mengisi. Tapi banyak orang mungkin cenderung untuk menyebut peranan guru sebagai faktor yang dominan . Namun siapa menyangkal, masalah guru punya kaitan yang luas. Seperti juga resep yang dikatakan Dr. Ny. Sadli, (lihat box) tentang kenyataan bahwa hukum tidak ditrapkan seperti mestinya. Suasana ini tidak mengajak anak pelajar. dan remaja umumnya untuk memberikan respek terhadap adanya peraturan yang berlaku. Ini terjadi juga di bidang-bidang lain. Singkatnya, percekcokan an tar anak sekolah itu mungkin satu penceminan masyarakat sekitarnya juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus