DI luar gedung SMA XVIII dua murid puteri saling menjambak
rambut. Kabrnya gara-gara seorang "cowok". Mengetahui hal itu,
pimpinan sekoah segera singsingkan lengan baju, ambil tindakan.
Beri ancaman: tidak boleh mengulangi perangai tak terpuji itu
lagi, plus nasihat-nasihat. Damai. Tapi sementara. Sebab seorang
dari anak gadis kelas I itu merasa belum plong.Ia menilai sang
cowok, si Zainal (bukan nama sebenarnya), bersikap tak adil
dalam menilai perselisihan di atas. Bahkan kabarnya cewek itu
pernah diancam oleh Zainal, yang duduk di kelas III itu.
Sang cewek kebetulan punya seorang abang, belajar di STM
Dwikora. Kabar buruk itu sampai padanya. Iapun sering mengantar
saudaranya itu ke sekolahnya. Demi keselamatan adik, katanya.
Meskipun sebaliknya ada pula cerita, bahwa si abang - kita
namakan Basuki - sebenarnya ingin mengintai si Zainal.
Pada suatu hari Basuki merasa lemas badan. Habis, darahnya baru
saja disedot di Kecamatan Cempaka Putih. Ini untuk memenuhi
seruan pimpinan sekolah agar mereka mau jadi dermawan darah.
Pulang ke rumahnya, Basuki harus ke Banteng dulu. Sampai di
terminal bis pusat ini, ia tak sengaja bertemu dengan Zainal.
Walau bertemu cuma sekali, tak jadi halangan bagi mereka untuk
baku hantam. Menurut Basuki, Zainal yang mulai menyarangkan
pukulan ke tuhuhnya yang lagi lesu darah itu. Ini tanggal 15
April, tengah hari bolong.
Sorenya, ketika di sekolah, Basuki tak tahan untuk tidak
menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya. Biasa. Mungkin
dimaksudkannya atau tidak, tahu-tahu solidaritas spontan
tumbuh. Tigapuluh delapan orang segera berkumpul. Dengan bis
mereka menuju SMA yang terletak di Jakarta Kota itu. "Heran
saya. Kalau ada kasak-kusuk biasanya terdengar oleh kita. Tapi
kali ini kok tidak", ujar Direktur STM swasta itu, Sunarno
Wiratmodjo kepada TEMPO .
Target operasi adalah Zainal. Kalau ada. Bila tidak, ini
celakanya, siapapun jadilah. Memang. begitu. Toyib, yang tak
tahu ABC-nya kejadian, jadi korban. Untung hanya luka. Bahkan
juga seorang guru olahraga, yang lagi bersama anak asuhnya. Guru
memang tak masuk daftar sasaran. Cuma si guru ini, yang tak
melawan atas serangan terhadap dirinya kecuali lari pontang
panting, tampak sebaya dengan murid-muridnya. Mungkin karena ia
olahragawan.
Kasus di atas selesai lewat perdamaian. Tapi ada peristiwa lain:
Anak-anak STM III dan SMEA VI minggu lalu harus berhadapan
dengan Hakim Muhidin Abidin SH dari Pengadilan Jakarta
Utara-Timur. Perkelahian juga, dengan api penyulut yang sama:
cewek. Tapi kali ini bukan dalam hubungan adik abang. Pada suatu
hari di bulan Maret yang lalu, dua murid pria SMEA VI lagi asyik
ngobrol dekat pagar sekolah. Datang Ns, 17 tahun, menginterupsi.
Salah seorang murid pria tersebut,entah karena lagi
serius-seriusan atau karena lagi angin tak baik, merasa amat
terganggu oleh Ns. Ucapan: "Badak lu", tak dapat disimpan lagi
oleh murid lelaki itu, terhadap Ns. Si siswi tentu tak terima.
Pas saat itu lewat dua anak STM III. Merasa ada kenalan di
sekolah yang terletak di Jatinegara itu, Ns menyampaikan pesan
bahwa dia dihina. J, teman s tersebut segera mengumpulkan 5
kawannya, anak STM. Ag. dikeroyok. Pada seri kedua, Ag
pula--yang setelah berhasil menghimpun sekitar 5
orang-mendatangi J yang dianggap lancang tadi. Sementara baku
pukul itu, sebuah truk yang berisi pelajar-pelajar STM III
sampai ke gedung SMEA yang terletak di Cililitan itu. Tanpa tahu
sebabnya, pengrusakan dilakukan terhadap gedung sekolah lanjutan
ekonomi tersebut.
Himpit berhimpit kejadian ini terjadi di ibukota selama kwartal
pertama tahun ini. Ciri-ciri kejadian itu mudah dikenal: dimulai
oleh senggolan kata biasa, kemudian jadi api besar. Dan
serombongan orang menyerbu bagaikan menyerang musuh bebuyutan
layaknya.
Telah diberitakan peristiwa STM Yamnor vs SMA XXIV (TEMPO, 20
Maret). TaPi tidak hanya STM -- yang dinilai memegang peranan
aktif dalam kcjadian-kejadian itu -- kontra nonSTM. Sebab ada
juga antara sesama sekolah tersebut, seperti STM I Budiutomo
dengan STM III (TEMPO, 27 Maret). Sekolah teknik yang di
Budiutomo itupun nyaris beradu tenaga dengan STM Starada ketika
bulan April lalu mereka sama-sama berkemah di Sukabumi. Kali ini
soal tempat, yang menurut STM I sudah diberikan izin kepada
mereka. Menurut mereka, tahu-tahu STM yang swasta itu sudah
menduduki kawasan itu. Nyaris terjadi pergumulan, karena sudah
mulai ada yang menantang. Untung bisa didamaikan guru.
KORBAN jiwa juga ada,walaupun tak dapat dikatakan akibat
langsung dari perkelahian-perkelahian itu. Demikianlah maka
arwah Marlon Van Broekhuizen, siswa STM Teladan telah
mendahului teman-temannya, ketika ia tergilas truk Pada 9 April
itu siswa sekolah tersebut baru saja bergembira memenangkan
pertandingan olahraga melawan STM Poncol. Begitu keluar dari
Gelanggang Remaja Jakarta Timur, begitu mereka mendapat serangan
dari anak seusia mereka juga. Marlon dan rekan-rekan segera
berusaha menyelamatkan diri. Sebuah truk berhasil dicegat.
Marlon menyelamatkan kawan-kawannya lebih dahulu. Ia sendiri
cuma berjalan kaki mendahului truk tersebut, baru kemudian ia
berusaha melompat ke sebuah bis. Tahu-tahu truk tadi telah
mendekat padanya. Teman-temannya berteriak supaya Marlon
melompati saja truk itu supaya tidak terlindas. Marlon menurut.
Tapi lompatannya kurang begitu tinggi untuk mencapai bumper
depan. Sementara itu jalanan yang agak menurun tak membantu
supir memberhentikan kendaraannya. Lengan kanan dan sebagian
dadanya terlindas kendaraan besar itu. Sang pengemudi
cepat-cepat lari meninggalkan kendaraannya.
Karena kejadian-kejadian itu bertolak dari Jakarta,
pemberitaanpun besar. Perhatian banyak pula dicurahkan. Presiden
Soeharto pekan lalu menyatakan kesetujuannya untuk mengambil
tindakan tegas pelaku beberapa perkelahian antar anak sekolah
tersebut. Sebelum itu Kepala Bakin sudah mengingatkan bahwa
kenakalan remaja "tak dapat ditolerir lagi".
Yang menarik, adalah statemen Menteri P&K Sjarif Thajeb yang
menduga kejadian tersebut ''ada yang mengaturnya". Dengan
definisi lain ada penunggangnya. "Rupanya ada unsur-unsur yang
ingin mengacaukan keadaan", ucap Menteri selesai menghadap
Presiden. Tanpa menjelaskan duduk kejadian, ia memberikan contoh
perkelahian antara STM Cijantung kontra SMP Bogor. "Ini bukan
anak-anak yang mengaturnya. mesti ada orang lain yang mengatur.
Persoalan ini akhirnya masuk juga ke bidang badut-badut TVRI,
yang sudah 5 x dalam beberapa waktu terakhir menampilkan masalah
itu, bicara sekali lagi: Acara Kamera Ria TVRI, 28 April malam
telah melukiskan itu dalam lawakan Reog BKAK dan Tan Ceng Bok.
Mang Dudung, sebagai biasa memberi wanti-wanti agar anak
sekolah jangan sampai ditunggangi, terutama pada zaman sekarang
ini. Anak-anak sekolah yang dimainkan oleh Mang Diman dkk waktu
itu bermaksud menghajar Mang Udi sebagai anak Tan. Mendengar
kata "ditunggangi", ada yang kontan nyeletuk: "Siapa yang
menunggangi ya?" Jawab yang lain: "Tahu". Dalam suatu zaman
ketika tuduhan ' ditunggangi'sering diobral. Lelucon itu segar
juga sedikit.
Dalam keributan massal, penunggangan memang mudah terjadi.
Idris, Direktur STM Penerbangan (STM Negeri II) pagi-pagi
mengakui: "Saya sebagai Kepala Sekolah akan susah menangani bila
ada perkara yang dicampuri unsur non-pelajar". Dari kasus
beberapa kejadian di atas nampak bahwa yang jadi gara-gara hanya
soal kecil Apakah karena anak-anak STM cepat panas? "Sekolah
kita ini rawan, mudah dipengaruhi dari luar'', Suatmadji, Wakil
Direktur STM I menyimpulkan situasi sekolahnya pada TEMPO.
Karena itu? "yang kami cegah adalah isyu-isyu dari luar
jangan-jangan sampai masuk", lanjutnya. Barangkali inilah usaha
nyata untuk menghindarkan kemungkinan masuknya anasir orang
luar, yang bisa memancing. yang pada gilirannya akan menaiki dan
memacu kejadian itu.
Di samping pernyataan Menteri di atas perlu lebih diperterang,
hal itu haruslah ditangani fihak petugas kedaulatan? yang
meneruskannya kesalu pemeriksaan pengadilan - seperti yang
terjadi pada kasus STM III dan SMEA VI di atas. Di situ baik
penuntut umum maupun hakim tidak menilai adanya hal lain, selain
sekedar kenakalan anak-anak muda yang bersekolah. Tigabelas
pelajar STM' III dan dua dari SMEA VI (termasuk Ns, si cewek)
kena 3 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun, plus 2
syarat. Pertama, mereka diwajibkan melapor selama dalam masa
percobaan ke kejaksaan. Kedua, mewajibkan para terhukum
memperbaiki kerusakan gedung SMEA Vi akibat penyerangan itu.
Jaksa yang sementara itu menyatakan ,naik banding terhadap
putusan hakim tunggal itu, rupanya ingin sungguh-sungguh dalam
memberikan hukuman fisik terhadap anak-anak yang "keterlaluan"
nakalnya itu.
PARA pendidik dan umum, tidak banyak beda pendapat tentang
terapi yang harus dikenakan pada para pengkelahi Kalau sudah
demikian rupa, apa boleh buat. Penghuhumanpun harus sesuai
dengan azas pemasyarakatan yang secara praktis di trapkan
pemerintah. Si anak tidak dimusnahkan dari kemungkinan
kembalinya ke masyarakat kelak.
Tak boleh dilupakan adalah faktor-faktor yang bisa dinilai
sebagai penyebab tindakan-tindakan brandalan itu sendiri. AJ
Soesetyo, yang sebagai Kepala Kantor Wilayah P & K Jakarta
menjadi sibuk oleh situasi tersebut, menyatakan kepada TEMPO
bahwa kejadian-kejadian itu bukan tidak diduga sebelumnya.
Beberapa hal dikatakan sebagai penyebabnya. Soesetyo melihat
dari fasilitas pendidikan yang belum memadai. Kepadatan murid di
kelas rata-rata tak kurang 58 orang. Kepadatan ini katanya bisa
menimbulkan friksi.
Faktor ini berbaur dengan kurangnya tenaga guru. Akibatnya
banyak jam pelajaran yang menjadi kosong. Ada lagi perkara
penataran guru, yang banyak mengambil waktu jam-jam belajar.
Selama dua bulan belakangan ini. setiap minggu STM I terpaksa
harus ditinggalkan 12 gurunya yang ditatar. Dan untuk menghadapi
Technical Training Centre di Bandung, sekolah itu akan mengirim
15 guru (dari 78 tenaga yang ada) selama 10 bulan. Pimpinan STM.
akan mengusahakan adanya guru pengganti. Di Dwikora, Sunarno
juga membenarkan adanya jam kosong sebagai faktor yang memberi
peluang untuk terjadi ramai-ramai. Umumnya karena ada penataran.
Sekarang mulai diatur agar acara peningkatan mutu itu diadakan
waktu pagi sehingga sekolah yang sore itu tidak akan merugikan
muridnya.
Soesetyo menunjuk STM V, yang kebetulan bebas dari pemberitaan
perkelahian akhir-akhir ini. Dari 20 guru tetap, 11 mengikuti
penataran selama sebulan. "Kami tak punya pilihan lain, walaupun
tahu risikonya", kata Soesetyo lagi. Soalnya, karena biaya yang
didrop punya batas waktu penggunaan menurut tahun anggaran. Mau
tak mau harus dipakai, ketimbang hangus.
Pejabat ini juga menunjuk beberapa faktor lain. Kekurangan guru
dihubungkan dengan pembukaan sekolah-sekolah baru, dan
pengawasan di luar sekolah. Tentang yang terakhir ini, para
guru juga sependapat. Murid-murid, menurut mereka, hanya
beberapa jam di tangan mereka. Pengawasan orangtua, kegiatan
penyaluran bakat, bimbingan RT/RW, bahkan kegiatan yang
dilakukan oleh polisi (lihat box) termasuk dalam dunia di luar
jangkauan guru.
Tapi bagaimana selama di sekolah? Katanya guru kurang berwibawa.
Apa betul? "Guru-guru masih disegani", tagkis Suatmadji, STM I.
"Tidak pernah ada siswa yang mengancam, walau tidak naik kelas".
Diingatkannya akan kejadian antara sekolahnya dengan STM III.
Waktu anak-anaknya sampai di Banten,sebagian mereka bisa diajak
kembali karena mereka melihat ada Wakil Direkturnya. Campur
tangan pimpinan terpaksa dilakukan karena OSIS merasa kewalahan.
Sunarno, STM Dwikora juga membantah dakwaan merosotnya
kewibawaan guru. "Kalau merosot, hanya terbatas dalam sekolah".
Maksudnya guru adakalanya tidak digubris pada waktu mengajar.
Hanya sebatas itu.
Tapi Husein Toyib, guru STM III yang jadi saksi dalam sidang
pengadilan di atas, ada mengakui bahwa pelajar tak sulit
ditertibkan asalkan guru dapat bertindak tegas. Di sekolahnya,
diakui sering teradi perkelahian antar murid baik sesama mereka
sesekolah, maupundengan pelajar dari luar. Sementara itu baik
juga didengar pcndapat ahli-ahli ilmu jiwa dan pandangan Prof
Dr. Winarno Soerachmad, Rektor IKIP Jakarta - perguruan tinggi
yang mencetak tenaga-tenaga guru sekolah lanjutan atas tersebut
(lihat box).
Dari beberapa musibah metropolitan di atas, unsur pengeroyokan
dibarengi oleh unsur STM. Setidaknya Sekolah Teknik, untuk
memasukkan beberapa kejadian khusus. "Solidaritas yang tinggi
yang menyebabkan anak-anak STM berkelahi dengan siswa-siswa
sekolah lainnya", kata Suatmadji menyandarkan pada pengalaman
di sekolahnya. Itu bedanya dengan dulu: waktu itu anak-anak
berkelahi satu lawan satu. Pada hematnya anak-anak STM secara
perorangan bukanlah orang yang jago berkelahi. Buktinya, sedikit
dimarahi guru bila ada kesalahan, terus menangis. ' Kalau
jagoan kan tidak begitu", katanya lagi. Gejala merasa jago kalau
berkelomlok dinilainya mulai tampak setelah 1966 - menyusul
masa yang padat dengan demonstrasi massal.
Beberapa faktor lain dicoba disorot. Misalnya soal jenis kelamin
murid. Beberapa tahun terakhir, beberapa STM mulai menerima
murid Kartini. Jumlah ini masih sedemikian kecilnya, sehingga
sepintas hilang saja dari permukaan. Di STM Penerbangan dari 560
pelajar ada 15 siswi. Sedang di STM Dwikora ada kelas-kelas
yang memiliki beberapa siswi. Kebalikan dari merubah watak
teman-teman prianya, ada siswi yang malah terlarut oleh watak
kolega cowok dalam bertingkah, termasuk suka bolos. Begitulah
yang diterangkan Sunarno. Di STM I juga ada beberapa, tapi tak
sampai berperangai seperti yang di Dwikora
Suatmadji kemudian menyimpulkan:'Rasa jantan anak-anak STM
lebih besar daripada SMA". Jantan yang dimaksudkan pimpinan
sekolah ini, mungkin bermakna lain. Jantan toh tidak mewariskan
sifat suka main keroyok. Yang dimaksudkan barangkali sikap yang
suka mengoboi, ngawur-ngawuran. Pokoknya lainlah dengan sikap
kaum Kartini, yang umumnya cermat, patuh dan lain-lain sifat
mulus. Seperti dilukiskan Idris anak-anak STM yang mayoritas
Adam itu tak terlalu memikirkan akibat-akibat yang bisa terjadi
pada kawan puteri mereka. Demikianlah tentang sifat Adam dan
Hawa.
BAGAIMANA dengan penyebab lain? Suatmadji mungkin benar dalam
menarik kesimpulan tentang kurang dekatnya hubungan antara STM
dan yang non STM, khususnya SMA. "Masing-masing ingin
menonjolkan jenis sekolahnya", sebutnya. Ini dapat dimengerti.
Murid STM mungkin merasa sekolahnya unggul, karena sekolah ini
lebih menjamin masa depan. Atas kenyataan tak semua tamatan SMA
akan melanjutkan ke tingkat lebih atas - karena berbagai hal --
syarat-syarat yang dibutuhkan untuk sesuatu lapangan pekerjaan
mengharuskan seseorang memiliki ketrampilan yang konkrit. Dan
STM salah satu akomodasinya.
Sebaliknya ada juga orang yang mengupas kelainan sifat kedua
sekolah di atas dari sudut sosial ekonomis, yang lalu menjadi
peka dan eksplosif. Walaupun mungkin benar, tapi agaknya tak
perlu menonjolkan bahwa SMA adalah sekolah anak mampu dan STM
yang tidak mampu. Bukankah banyak juga anak orang kaya yang
dididik di SMA yang tak bisa masuk perguruan tinggi karena
ketakmampuan otaknya? Sementara tak sedikit lulusan STM, yang
setelah sekian tahun, dengan usaha sendiri (dapat pula menjadi
insinyur. Cuma soalnya bagaimana mendekatkan hubungan kedua
jenis sekolah tersebut.
Gubernur Ali Sadikin dalam mengecam perkelahian beberapa
peristiwa tersebut mempersoalkan peranan Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS). Sudah waktunya pula, kata Gubernur dua pekan
lalu, bila diadakan pula pertemuan antara OSIS. Mungkin orang
banyak juga perlu tahu: apa OSIS itu sebenarnya. Dalam beberapa
kejadian OSIS bukan tak mengupayakan tindakan pencegahan
maksimal. Hanya seperti di STM I, mereka kewalahan. Sedangkan di
Dwikora, "saya menyesal, tidak ada yang memberitahu lebih
dahulu", kata Yan Irianqo, Ketua OSIS di situ. Tapi ia sekarang
sudah punya resep. Bagaimana? Baiknya dirahasiakan saja dulu.
Catatan menunjukkan bahwa keributan banyak dimulai dari sekolah
yang lingkungannya padat, seperti halnya dengan STM I. Di
sebelah kantor Pusat Kimia Farma, sekolah itu terletak di
pinggir jalan yng ramai.Di depannya Mahkamah Agung, kantor
kejaksaan dan pajak. Lapangan Banteng yang sibuk itu dekat:
cukup ditempuh dengan berjalan laki. Halaman sekolah sendiri
tak begitu luas untuk lingkungan yang besar. Lebih dari itu di
muka sekolah banyak orang berjualan, pedagang kaki lima.
Suatmadji kini berterimakasih pada Walikota Jakarta Pusat yang
sudah membersihkan pedagang-pedagang tersebut. Kepadatan
lingkungan itu kurang membantu "suasana bersekolah".
Idris yang memimpin sekolah yang terletak di Kebayoran juga
mengingatkan pentingnya peranan lingkungan sekolah dalam
pembentukan watak pelajar. Ia menganggap wajar bila para siswa
STM yang terletak di tempat ramai berwatak keras, mudah
marah.''Untuk membangun gedung sekolah harus dipikirkan keadaan
lingkungan", kata Idris. Tapi Mangari yang mengepalai SMA XVIII
tak setuju dengan ini. Sebab, katanya di sekolah siswa hanya
berada sekitar 6 hingga 7 jam. Ia memulangkan persoalannya pada
lingkungan luar sekolah. Pengaruh keluarga, film dan lingkungan
luar. Tentang anak sekolah ia mengandalkan semata-mata pada
bagaimana guru mengaturnya.
Banyak kepingan tercukil dari beberapa kejadian yang menyangkut
perkelahian remaja sekolahan ini. Perkara wibawa guru,
penataran yang takut kehangusan biaya, kekhasan STM,
pengeroyokan atas gara-gara yang sepele.cara penindakan, peranan
OSIS, lokasi sekolah, dan - yang lebih hebat kemungkinan
penunggangan. Unsur-unslr itu tampaknya bersifat
sokong-menyokong. Saling mengisi. Tapi banyak orang mungkin
cenderung untuk menyebut peranan guru sebagai faktor yang
dominan .
Namun siapa menyangkal, masalah guru punya kaitan yang luas.
Seperti juga resep yang dikatakan Dr. Ny. Sadli, (lihat box)
tentang kenyataan bahwa hukum tidak ditrapkan seperti mestinya.
Suasana ini tidak mengajak anak pelajar. dan remaja umumnya
untuk memberikan respek terhadap adanya peraturan yang berlaku.
Ini terjadi juga di bidang-bidang lain. Singkatnya, percekcokan
an tar anak sekolah itu mungkin satu penceminan masyarakat
sekitarnya juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini