Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggali Bukti Pelanggaran Etik

Komisi Yudisial meminta bantuan sejumlah lembaga untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik hakim PN Jakarta Pusat.

7 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata (kiri) didampingi anggota Komisi Yudisial/Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Joko Sasmito (kedua kiri) menerima jajaran Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, 6 Maret 2023. ANTARA/Aprillio Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda tahapan Pemilu 2024 dinilai kontroversial.

  • Komisi Yudisial akan menelusuri dugaan pelanggaran etik oleh majelis hakim.

  • Pemeriksaan hakim akan dilakukan setelah ditemukan bukti pelanggaran etik.

JAKARTA Komisi Yudisial (KY) menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda tahapan Pemilu 2024 kontroversial. Untuk itu, Komisi Yudisial akan menelusuri dugaan pelanggaran etik majelis hakim yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) itu.

Ketua Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan ada sejumlah metode penelusuran untuk membuktikan adanya dugaan pelanggaran etik tersebut. Di antaranya meminta bantuan sejumlah lembaga, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung (MA). “Kami mencari informasi adanya indikasi ke berbagai hal (pelanggaran etik),” kata Mukti di Jakarta, Senin, 6 Maret 2023.

Setelah mendapatkan bukti-bukti pelanggaran etik, Komisi Yudisial akan mengambil langkah berikutnya dengan memeriksa tiga hakim yang menyidangkan gugatan Partai Prima. Tiga hakim tersebut adalah Tengku Oyong selaku ketua serta dua anggota, yakni Bakri dan Dominggus Silaban.

Mukti menambahkan, Komisi Yudisial telah menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih ihwal dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim PN Jakarta Pusat. Laporan itu bakal ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan lembaganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kantor DPP Partai Prima, Jakarta, 3 Maret 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Mukti, Komisi Yudisial tidak berwenang memeriksa putusan hakim. Namun pihaknya akan terus mengawasi upaya hukum lanjutan, baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi. "Karena kami anggap hal ini menjadi persoalan besar secara konstitusional," ujarnya.

Partai Prima sebelumnya dinyatakan gagal menjadi peserta Pemilu 2024 karena tidak lolos tahap verifikasi administrasi partai politik yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena merasa dirugikan, pengurus partai itu melawan dengan mengadu ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Namun aduan ini tak memberikan hasil yang diinginkan. Mereka lantas melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 30 November 2022 dan 26 Desember 2022. Kedua gugatan itu ditolak.

Merasa tidak puas, Partai Prima kemudian menggugat KPU secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu didaftarkan pada 8 Desember 2022. Hasilnya, pada 2 Maret 2023, gugatan itu dikabulkan oleh majelis hakim. Hakim memerintahkan KPU melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Keputusan inilah yang belakangan dinilai kontroversial. Berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama para pegiat pemilu dan ahli hukum tata negara, mengkritik putusan majelis hakim itu. Mereka menganggap putusan itu cacat hukum dan mengacaukan sistem ketatanegaraan.

Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih melaporkan tiga hakim Pengadilan Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial. Koalisi ini terdiri atas berbagai organisasi sipil, seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Themis Indonesia Law Firm, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Andalas, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka curiga hakim Oyong, Bakri, dan Dominggus telah melanggar etik.

Pengacara publik LBH Jakarta, Saleh Alghifari, mengatakan majelis hakim telah memberikan putusan di luar kewenangan pengadilan negeri. Sebab, putusan itu dinilai menabrak Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kewajiban pelaksanaan pemilu setiap lima tahun sekali secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. “Seharusnya majelis hakim memeriksa petitum pada perkara ini,” katanya. “Pada saat putusan sela tentang kompetensi absolut, (perkara) itu seharusnya tidak dilanjutkan.”

Kompetensi absolut yang dimaksudkan Saleh adalah wewenang pengadilan dalam memeriksa jenis perkara yang secara mutlak tidak dapat diperiksa. Ketentuan ini merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. Pada Pasal 11 disebutkan bahwa pengadilan negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili atas gugatan pelanggaran hukum oleh badan atau pejabat pemerintahan.

Menurut Saleh, perkara ini semestinya menjadi yurisdiksi Bawaslu dan PTUN. Ketentuan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena itu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani gugatan Partai Prima dinilai telah melampaui kewenangan. Dengan demikian, Komisi Yudisial perlu memeriksa tiga hakim tersebut.

Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial, Joko Sasmito, menuturkan, sebelum muncul aduan dari Koalisi Masyarakat Sipil, pihaknya sudah memulai investigasi terhadap dugaan pelanggaran etik. Ia bersyukur investigasi ini mendapat dukungan publik dengan munculnya laporan resmi ke Komisi Yudisial. Dalam waktu dekat, Komisi Yudisial akan meregistrasi perkara, lalu meminta keterangan para hakim PN Jakarta Pusat.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Zulkifli Atjo, mengatakan lembaganya belum mendapat pemberitahuan resmi dari Komisi Yudisial ihwal rencana pemeriksaan terhadap ketiga hakimnya. “Kami belum menerima pemanggilan dari KY, jadi belum ada yang bisa dilakukan,” ujarnya.

AVIT HIDAYAT | TIKA AYU

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus