Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pakar hukum menganggap Presiden Jokowi tak memahami konsep uji formal undang-undang.
Pakar hukum berbeda pendapat mengenai penerapan UU Cipta Kerja setelah putusan uji formal MK.
Istana memastikan pernyataan Jokowi tetap sejalan dengan amar putusan MK tentang uji formal UU Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pakar hukum mengkritik pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan materi Undang-Undang Cipta Kerja tetap berlaku meski Mahkamah Konstitusi memutuskan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai Presiden Jokowi tidak memahami konsep uji formal undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang dia bicarakan konsep uji materi. Kalau uji materi memang bicara pasal-pasal. Tapi, kalau uji formal dinyatakan inkonstitusional, yang dibatalkan adalah satu paket undang-undang itu," kata Feri kepada Tempo, kemarin.
Feri mengatakan Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan memberi pemerintah waktu untuk memperbaikinya dalam kurun waktu dua tahun. Artinya, kata Feri, UU ini inkonstitusional sampai dipenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kamis pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji formal Undang-Undang Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi menyatakan omnibus law ini bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pemerintah wajib memperbaikinya paling lambat dua tahun terhitung sejak pembacaan putusan. Jika perbaikan tak tuntas dalam dua tahun, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Selanjutnya, semua undang-undang dan pasal yang dibatalkan oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak mengacu pada sistematika pembentukan undang-undang. Pembentukan omnibus law juga mengabaikan asas keterbukaan. Misalnya, para pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Publik juga kesulitan mengakses naskah akademis ataupun Rancangan UU Cipta Kerja.
Ketua majelis hakim konstitusi, Anwar Usman, memimpin sidang putusan gugatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 25 November 2021. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Presiden Jokowi lantas merespons putusan uji formal tersebut. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan satu pun pasal dalam UU Cipta Kerja. Undang-Undang Cipta Kerja dan seluruh aturan turunannya juga disebutnya masih berlaku.
"Seluruh materi dan substansi dalam UU Cipta Kerja dan aturan sepenuhnya tetap berlaku tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh MK," kata Jokowi.
Pernyataan Jokowi ini bermaksud menjamin keamanan dan kepastian investasi ataupun pengusaha dalam proses berinvestasi di Indonesia setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Pernyataan Jokowi itu diduga merujuk pada poin keempat putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan hingga tenggat yang ditetapkan.
Meski demikian, Feri Amsari berpendapat bahwa omnibus law ini tidak bisa diterapkan karena poin ketujuh putusan Mahkamah Konstitusi justru meminta pemerintah menangguhkan segala tindakan ataupun kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Pemerintah juga tidak boleh menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
“Berlaku tapi tidak bisa diterapkan berdasarkan poin ketujuh putusan itu," kata Feri.
Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, berpendapat berbeda. Ia mengatakan UU Cipta Kerja masih berlaku sampai dua tahun ke depan. Omnibus law ini tidak berlaku ketika dalam dua tahun tidak dilakukan perbaikan. Ia juga mengatakan undang-undang ini tetap bisa diterapkan meski ada perintah penangguhan. "Hanya tidak boleh lagi mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang baru dan tidak boleh mengambil kebijakan strategis," katanya.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengakui putusan MK tersebut berpotensi multitafsir. Karena itu, kata dia, MK semestinya membatalkan UU Cipta Kerja sehingga tak menimbulkan berbagai tafsir. Sebab, pembatalan omnibus law tak akan menimbulkan kekosongan hukum karena bisa kembali ke undang-undang lama begitu UU Cipta Kerja tidak berlaku. "Memang kekacauan ini karena putusan MK," kata Refly.
Menurut Refly, secara legal formal, UU Cipta Kerja memang masih berlaku. Namun undang-undang ini akan sulit diterapkan karena adanya perintah menangguhkan pembuatan aturan pelaksanaan baru serta penangguhan kebijakan strategis dan berdampak luas. "Yang repot justru pemerintah. Misalnya, ada investor mau berinvestasi ke Indonesia, tetap masih pakai UU ini. Di sisi lain, pemerintah enggak boleh buat kebijakan yang bersifat strategis dengan dasar UU ini," ujarnya.
Menurut Refly, dari sisi moralitas hukum, undang-undang yang sudah dinyatakan inkonstitusional tidak semestinya diberlakukan. Ia pun berharap pemerintah menggunakan kesempatan selama dua tahun untuk memperbaiki omnibus law tersebut. "Jangan dilihat ini kesempatan untuk menggunakan undang-undang selama dua tahun," kata dia.
Staf khusus Presiden Jokowi, Dini Shanti Purwono, mengatakan pernyataan Jokowi mengenai berlakunya UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan amar putusan MK. Ia menjelaskan, status UU Cipta Kerja saat ini bisa diartikan sebagai konstitusional terbatas. Artinya, undang-undang berlaku secara terbatas sampai perbaikan selesai dilakukan.
Dini mengatakan UU Cipta Kerja masih memiliki ruang yang dapat dioperasikan selama masa perbaikan, dengan memperhatikan batasan yang disebutkan dalam putusan MK. Undang-Undang Cipta Kerja masih dapat dilaksanakan sepanjang tidak menyentuh hal-hal strategis dan berdampak luas. Dia memastikan pemerintah akan menangguhkan sementara pembuatan kebijakan strategis dan berdampak luas demi prinsip kehati-hatian. “Jadi, cara pandangnya seperti itu, bukan dibalik,” kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo