Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perpres TNI Atasi Terorisme Dikritik

Rangkuman berita sepekan.

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menggeledah sebuah gudang di Jalan Kunti, Surabaya, Jawa Timur, 30 April 2020. ANTARA/Didik Suhartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Diskusi soal pemakzulan presiden batal setelah muncul tekanan terhadap pembicara dan panitia.

  • Saeful Bahri, penyuap anggota KPU, divonis 20 bulan.

  • Insentif tenaga medis yang menangani corona tersendat.

SEJUMLAH kalangan meminta Presiden Joko Widodo tak menandatangani draf Peraturan Presiden tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengatakan ada sejumlah pasal dalam draf tersebut yang rentan disalahgunakan. Misalnya TNI bakal diperbolehkan menggelar operasi intelijen dan operasi lain. “Ini bisa membuat penanganan terorisme keluar dari koridor hukum,” ujar Anam, Kamis, 28 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Anam, ketentuan tersebut juga melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang tak mengatur operasi intelijen oleh TNI. Ia khawatir aturan itu berpotensi mengembalikan TNI seperti pada masa Orde Baru dan menimbulkan kasus pelanggaran hak asasi. Komnas HAM akan mengirimkan surat peringatan kepada Presiden agar tak menandatangani draf tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Draf peraturan presiden itu diserahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 Mei lalu. Pemerintah meminta tanggapan DPR terhadap rancangan tersebut. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Agus Widjojo mengatakan draf tersebut berpotensi menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antarlembaga, yaitu TNI, kepolisian, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Adapun Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani mengatakan isi draf itu berpotensi merusak sistem peradilan umum. TNI yang selama ini tidak tunduk pada peradilan umum nanti bisa masuk ke peradilan pidana, yang memberikan kewenangan kepada kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman sebagai penegak hukum dalam tindak pidana terorisme.

Juru bicara Presiden bidang hukum, Dini Purwono, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo. Sebelumnya, ia mengatakan pemerintah pasti akan mempelajari kritik dari masyarakat.


Peran Rawan Pelanggaran

MILITER mendapat fungsi tambahan dalam rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Namun peran itu dikhawatirkan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pasal 2
Fungsi TNI dalam mengatasi terorisme meliputi penangkalan, penindakan, dan pemulihan.

Pasal 4
Ayat 1: Operasi intelijen dilaksanakan melalui penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan.
Ayat 2: Operasi teritorial dilaksanakan melalui pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/nonfisik, serta komunikasi sosial.
Ayat 3: Operasi informasi dilaksanakan melalui pengumpulan dan analisa informasi, komunikasi publik, dokumentasi, dan sistem informasi.

Pasal 8
Ayat 1: Penindakan dilaksanakan menggunakan kekuatan TNI.
Ayat 2: Penggunaan kekuatan TNI dilaksanakan oleh panglima berdasarkan perintah presiden.



Tambahan Dana Pilkada Rp 535 Miliar

KETUA Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman memperkirakan diperlukan dana tambahan Rp 535,9 miliar untuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada 9 Desember mendatang. Dana itu untuk membeli alat pelindung diri dan peralatan lain buat mengantisipasi penularan virus corona. “Kami harap dana tambahan dapat dicairkan pada Juni mendatang,” ujarnya, Rabu, 27 Mei lalu.

Menurut Arief, alat pelindung diri diperlukan oleh petugas di lebih dari 150 ribu tempat pemungutan suara yang akan melayani sekitar 105 juta pemilih. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berjanji membantu ketersediaan anggaran tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pilkada menilai pilkada sebaiknya tak dipaksakan digelar saat pandemi. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pemaksaan itu berisiko terhadap keselamatan penyelenggara dan pemilih.

 



Terdakwa pemberi suap Komisioner KPU, Saeful Bahri, meng­ikuti sidang pem­bacaan surat putusan virtual dari gedung KPK, Jakarta, 28 Mei 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Penyuap Anggota KPU Divonis 20 Bulan

PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Saeful Bahri 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subside 4 bulan kurungan. Hakim menyatakan bekas anggota staf Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto itu terbukti menyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, Rp 600 juta. “Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana bersama-sama,” ujar hakim ketua Panji Surono, Kamis, 28 Mei lalu.

Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wahyu Setiawan pada 8 Januari lalu karena menerima suap dari Saeful dan Harun Masiku, calon legislator PDIP. Suap itu bertujuan agar KPU menetapkan Harun sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui mekanisme pergantian antarwaktu. Hingga Jumat, 29 Mei lalu, Harun berstatus buron.

Putusan itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK, yakni 2 tahun 6 bulan penjara. Saeful Bahri menerima vonis tersebut. Sedangkan jaksa mempertimbangkan mengajukan permohonan banding.

 



Diskusi Pemakzulan Presiden Batal

DISKUSI bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada Jumat, 29 Mei lalu, dibatalkan setelah mendapat tekanan. “Dibatalkan dengan alasan keamanan,” kata Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto.

Sigit mengatakan sempat meminta acara tetap digelar karena bersifat ilmiah dan akademis. Belakangan, ia mendapat laporan telepon seluler guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Ni'matul Huda, pembicara diskusi, diretas.

Dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan panitia penyelenggara juga mendapat ancaman akan diperiksa polisi dan dibunuh. Kepala Humas Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Yulianto belum mengetahui detail persoalan tersebut. “Saya cek dulu,” ujar Yulianto.

 



Petugas memastikan Alat Pelindung Diri (APD) Dokter dan tenaga medis sedi Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet Jakarta, 15 Mei 2020. TEMPO/Nurdiansah

Insentif Tenaga Medis Tersendat

INSENTIF bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien corona terlambat dicairkan karena urusan administrasi. Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan pencairan membutuhkan persetujuan Kementerian Keuangan. “Jumat lalu persetujuan baru turun dan sudah dibayarkan untuk tenaga medis di Wisma Atlet dan Pulau Galang,” kata Abdul Kadir, Selasa, 26 Mei lalu.

Presiden Joko Widodo pada 23 Maret lalu menyampaikan tenaga medis akan mendapat insentif per bulan. Besarannya Rp 15 juta untuk dokter spesialis, Rp 10 juta bagi dokter umum dan gigi, serta Rp 7,5 juta untuk perawat dan bidan.

Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhilah mendapat informasi bahwa para perawat belum menerima insentif hingga Lebaran lalu. “Kami meminta DPR mendorong pemerintah mencairkan insentif tersebut,” ujar Harif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus