Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) ragu akan kualitas serta kredibilitas delapan hakim ad hoc yang terpilih untuk pengadilan hak asasi manusia (HAM). Sebab, tidak semua figur yang lolos seleksi itu memahami tiga kriteria hakim ad hoc pengadilan HAM, yakni pemahaman tentang pelanggaran HAM berat, pemahaman tentang pertanggungjawaban komando, dan pemahaman tentang hukum acara pengadilan HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Beberapa bahkan tidak bisa membedakan tindak pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat, tidak bisa membedakan barang bukti dengan alat bukti, atau tidak tahu eksepsi itu apa," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Tioria Pretty Stephanie, kemarin. "Hal-hal ini yang sangat mendasar dalam hukum acara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung (MA) menggelar seleksi hakim ad hoc pelanggaran HAM berat untuk pengadilan HAM tahun 2022. Seleksi ini dimulai pada Juni lalu dan diikuti 33 calon. Senin lalu, panitia seleksi telah mengumumkan delapan nama calon yang dinyatakan lolos seleksi. Mereka kemudian dibagi dalam dua kelompok, yang masing-masing ditugaskan di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Hakim yang ditempatkan di pengadilan tingkat pertama adalah Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahma Dewi, dan Anselmus Aldrin Rangga Masiku. Sedangkan hakim yang ditugaskan di pengadilan tingkat banding adalah Mochamad Mahin, Fennny Cahyani, Florentia Switi Andari, dan Hendrik Dengah.
Para hakim ad hoc tersebut bakal diberi tugas mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Insiden itu terjadi pada 8 Desember 2014, saat warga menggelar unjuk rasa di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai, untuk memprotes pengeroyokan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI terhadap pemuda setempat. Unjuk rasa memanas dan berakhir dengan bentrokan antara anggota TNI dan warga. Empat orang meninggal, sedangkan 21 lainnya mengalami luka-luka.
Sidang pelanggaran HAM di Paniai ini awalnya dijadwalkan pada 27 Juni 2022 di Pengadilan Negeri Makassar. Namun ketiadaan hakim ad hoc membuat sidang ditunda hingga Agustus 2022. Mahkamah Agung baru membuka pendaftaran calon hakim ad hoc untuk pengadilan HAM pada 20 Juni lalu.
Mahasiswa Papua berunjuk rasa terkait tewasnya warga sipil yang tertembak aparat keamanan di Paniai, di Bandung, Jawa Barat, 10 Desember 2014. ANTARA/ Agus Bebeng
Tioria Pretty menilai seleksi calon hakim ad hoc ini terlalu mepet. Praktis, panitia seleksi hanya memiliki waktu satu bulan untuk menjaring dan menyeleksi calon. "Padahal seharusnya MA sudah mempersiapkan (seleksi) sejak akhir tahun lalu, saat Jaksa Agung menyatakan akan menindaklanjuti berkas Komnas HAM ke tahap penyidikan," kata dia. "Akhirnya, seleksi harus dilakukan dalam waktu yang mepet dan terburu-buru."
Dengan waktu yang relatif singkat itu, kata Pretty, seleksi menjadi dipaksakan sehingga menimbulkan banyak kekurangan. Mahkamah bahkan sempat memperpanjang masa pendaftaran selama tiga hari, dari 27 menjadi 30 Juni. Tidak mengherankan belakangan MA terkesan membatasi laporan masyarakat atas rekam jejak para calon. Publik hanya diberi kesempatan sehari untuk memberi masukan. Itu pun diserahkan sebelum uji publik digelar.
Pada akhirnya, Mahkamah Agung juga hanya memilih delapan calon. Padahal kuota untuk hakim ad hoc pengadilan HAM adalah 12 orang. "MA tidak mau memaksakan diri merekrut calon untuk memenuhi jumlah kuota dengan mengorbankan kualitas," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA, Sobandi, kemarin. "Dengan komposisi sekarang, di tiap tingkatan akan tersedia empat hakim ad hoc."
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga memberikan catatan terhadap seleksi hakim ad hoc yang digelar Mahkamah Agung. Setidaknya, Amnesty menilai, ada dua hakim ad hoc terpilih yang memiliki potensi konflik kepentingan. "Salah satu hakim terpilih memiliki latar belakang sebagai instruktur di institusi TNI, sedangkan yang satu lagi memiliki hubungan keluarga dekat dengan seorang jaksa," kata Usman.
Sobandi menyatakan para hakim ad hoc pengadilan HAM yang terpilih itu sudah sesuai dengan kualifikasi. Para hakim tersebut akan tetap menjalani pembelajaran kembali secara daring dan luring hingga 8 Agustus mendatang. "Mereka dinilai memenuhi syarat dan standar yang telah ditetapkan oleh MA," katanya.
Menurut Sobandi, nama-nama calon hakim ad hoc pengadilan HAM yang lolos seleksi itu akan diajukan kepada Presiden untuk dikukuhkan melalui keputusan presiden (keppres). Ia berharap keppres bisa segera ditandatangani agar para hakim ad hoc bisa menjalankan tugas di pengadilan HAM.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo