KURIKULUM baru adalah kurikulum masa depan. Itu dikatakan sendiri oleh Harsya Bachtiar, ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, tentang Kurikulum 1994. Disebut demikian karena direncanakan baru dua tahun lagi kurikulum ini diberlakukan di seluruh Indonesia. "Orang Indonesia nanti di mana saja, di kota atau di desa, di bidang apa saja" kata Harsya, "akan dihadapkan pada masalah yang lebih kompleks daripada sekarang." Diramalkannya, perjanjian kerja nanti, umpamanya karena bertambah banyaknya masalah yang mesti dicantumkan, tak mudah dipahami hanya oleh ratarata lulusan sekolah dasar. Setidaknya, seorang lulusan SMP lebih punya bekal untuk bisa menangkap maksudnya. Maka itu, terkandung dalam Kurikulum 1994, wajib belajar yang kini hanya enam tahun SD, ditambah tiga tahun SMP. Tentu saja masa depan tak berhenti di SMP. Dan Kurikulum 1994 bukan sekadar menggabungkan sekolah dasar dan SMP menjadi pendidikan dasar sembilan tahun. Dalam kurikulum terkandung pula niat menciptakan pendidikan yang lebih berkualitas, pendidikan yang menjawab tantangan zaman. Masalahnya, apa itu tantangan zaman, dan bagaimana menjawabnya. Indonesia tentu saja tak bisa berjalan sendiri: terlepas dari arus internasional. Di zaman negaranegara menjalankan pasar bebas dan menuntut negara lain melakukan hal serupa, persaingan akan semakin kencang. Di bidang apa pun dituntut tenaga kerja yang piawai. Dengan kata lain, dunia industri misalnya, mesti bisa bersaing dengan industri luar negeri. Produk pabrik kita, kalau mau laku, ya, mesti bersaing kualitas dan harganya dengan barang impor, umpamanya. Untuk itu setidaknya diperlukan tenaga kerja berkualitas dan efisien. Dalam hal inilah lulusan SMP nanti diharapkan lebih siap untuk memilih satu dari dua jalur yang ada dibandingkan sekarang, apalagi dulu. Yakni jalur menuju pekerjaan, dan jalur menuju pendidikan lebih tinggi. Kendala pertama yang cepat terlihat adalah konsekuensi teknis pelaksanaan kurikulum. Betapapun baik konsepnya, kurikulum erat tergantung guru. Adakah ia guru yang aspiratif, yang memotivasi anak didiknya untuk ingin tahu dan berani mencari serta berpikir sendiri? Atau, guru yang indoktriner, yang hanya ingin mendengar jawaban muridnya pas seperti yang ia ajarkan? Akhirnya yang teknis ini pun akan punya dampak politis: bagaimana keterbukaan pendapat siswa ditanggapi. Kendala yang lebih politis sifatnya adalah soal beban mata pelajaran. Ini memang salah satu yang dijanjikan Kurikulum 1994. Tapi seberapa jauh pengurangan beban ini belum tampak. Di sekolah dasar, misalnya, pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan P4 bakal dimasukkan dalam pelajaran Pancasila. Tapi lalu dimasukkan Bahasa Inggris, hingga jumlah mata pelajaran praktis tetap. Bukan rahasia lagi, ada saja mata pelajaran titipan yang sesungguhnya tak relevan. Ada juga mata pelajaran yang mestinya bisa diperoleh di luar sekolah. Berkurangnya mata pelajaran membuat siswa lebih mungkin mendalami mata pelajaran pokok. Melangkah lebih jauh lagi, seberapa jauh kurikulum yang disebutsebut bersemangat desentralisasi ini dilaksanakan di lapangan. Bisakah sebuah lembaga swasta, umpamanya, mendirikan sebuah SD dan SMP mencontek kurikulum sekolah Malaysia? Akan halnya sinkronisasi antara pendidikan dan lapangan kerja, bila memang Indonesia berada di ambang industrialisasi, pendidikan sains dan teknologi layak menjadi fokus. Menurut Noeng Muhadjir, guru besar pendidikan IKIP Negeri Yogyakarta, ada kriteria negara yang memasuki industrialisasi sehubungan dengan pendidikan. Masyarakatnya mesti 100% tamat SD, 65% lulusan SMA, 35% berijazah perguruan tinggi. Dan 35% dari sarjana itu pun mestinya sebagian besar ilmuwan di bidang sains dan teknologi. "Tanpa itu mustahil bicara tentang masyarakat industri," katanya. Menurut catatan Noeng, yang aktif melakukan penelitian pendidikan itu, tahun lalu mahasiswa Indonesia yang mengambil jurusan teknologi dan sains cuma 18%. Padahal 15 tahun lalu angka itu masih sekitar 30%. Barangkali itu soalnya bila angka pengangguran tenaga terdidik, termasuk sarjana, pada tahun 1987 mencapai 1,8 juta. Agaknya sebagian besar sarjana yang menganggur itu adalah sarjana sosial, karena menjamurnya fakultas-fakultas sosial, terutama di perguruan tinggi swasta. Sebab lapangan kerja buat sarjana jenis ini tampaknya sudah jenuh. Seorang peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan, Wijaya Adi, dalam wawancaranya dengan majalah Prisma nomor 1 tahun 1990, sudah mengusulkan agar fakultas ilmu-ilmu sosial dibatasi. "Bukan dibatasi pengembangan ilmunya, tapi menjamurnya fakultas itu di berbagai lembaga pendidikan tinggi," katanya. Senada dengan Noeng Muhadjir, Wijaya menganggap prioritas mestinya diberikan kepada pendidikan sains dan teknologi. Ada saling ketergantungan antara tersedianya tenaga ahli sains dan teknologi, dan masyarakat industri: masyarakat industri membutuhkan tenaga sains dan teknologi, tenaga sains dan teknologi memerlukan lapangan kerja yang diciptakan oleh masyarakat industri. Ini kalau kita memang berniat menciptakan masyarakat industri. Agus Basri dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini