Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Demokrasi untuk hukum ekonomi

Pranata hukum yang memberi arah bagi pembangunan diperlukan dalam kemajuan ekonomi. penyusunan uu dan hukum ekonomi perlu melibatkan semua sektor. untuk menjamin distribusi hasil pembangunan dan kepastian investasi.

22 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAFILAH pembangunan yang sudah menempuh perjalanan panjang tidak bisa lagi pindah jalur. Pembangunan jangka panjang tahap kedua akan tetap dilandasi perhitungan ekonomi dengan indikator keberhasilan pertumbuhan ekonomi. Sejumlah pengamat pembangunan sepakat, laju pertumbuhan ekonomi kita masih bisa dipacu, asal sistem hukum penunjangnya dibenahi. Perangkat hukum ekonomi ini, selain menjamin distribusi hasil pembangunan kepada masyarakat, juga penting untuk menjamin kepastian investasi di bidang ekonomi yang masih diharapkan tumbuh. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis tegas menyatakan, "Jika sistem hukum ekonomi tak segera dibenahi, akan muncul sejumlah konflik." Antara lain, negara versus modal, modal lawan buruh, industri dengan undang-undang lingkungan, bahkan modal bisa konflik dengan modal. Dalam pengembangan hukum kita, format hukum ekonomi selama ini justru paling "ketinggalan kereta". Apalagi bila dibandingkan dengan perkembangan ekonominya. Perangkat yang ada lumpuh menghadapi semua tantangan yang menerpa bertubi-tubi di sektor usaha: joint venture, merger, akuisisi, pasar modal, konglomerasi, bahkan monopoli. Tatkala kalangan bisnis memasuki era penyerapan dana dari masyarakat -- go public -- tak ada perangkat hukum yang melindungi kepentingan masyarakat. Di sebaliknya, ketika para pengusaha ingin mengembangkan sayap usahanya ke lingkaran internasional, tak ada pula dasar hukum yang bisa dibawa sebagai perisai pelindung. Para investor asing pun tak kalah bingung. Semakin besar investasi mereka, semakin sulit menghitung risiko. Tak ada perangkat hukum yang didasarkan undangundang yang bisa menjamin kepastian investasi mereka. Regulasi dan deregulasi yang susulmenyusul tidak konsisten dilihat dari "aturan main" dua pihak. Aturan pemerintah ini bisa dikeluarkan, dicabut, diganti setiap saat. Ahli hukum ekonomi Dr. Sumartono, anggota Tim Pengkajian Hukum Ekonomi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), mengakui bahwa hukum ekonomi kita memang masih lemah. "Untuk percaturan ekonomi kontemporer yang sangat ruwet sekarang ini," katanya, "kita hanya memiliki perangkat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang usianya satu setengah abad -- dibuat tahun 1848." Sementara itu, untuk mengatasi kekosongan ini, upaya yang dilakukan tampaknya juga tersendat. Isu penyusunan UU Antimonopoli, UU Pasar Modal, dan UU Perseroan Terbatas sudah beredar, tapi langkahnya tak pernah tuntas. Tantangan kita dalam menyusun perangkat hukum ekonomi, menurut Sumartono, memang berat. Sistem hukum Indonesia mengacu pada sistem hukum kontinental yang kaku. Bila dibandingkan, negara yang mengikuti sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law beruntung karena sistem ini luwes, bisa diubah-ubah sesuai dengan perkembangan di bidang ekonomi. Sumantoro, yang dikenal pula sebagai ahli masalah perusahaan multinasional dan alih teknologi, menyatakan perlu dicari modus bagaimana mengadaptasi sistem Common Law agar kita bisa mengikuti perubahan dari waktu ke waktu. Barangkali untuk menutupi kekakuan hukum itulah, Pemerintah -- untuk mengimbangi gerak perkembangan ekonomi -- membuat aturan-aturan instant yang antisipatif melalui regulasi dan deregulasi. Namun ini bukan upaya mendasar. Risikonya, aturan yang dikeluarkan jadinya bisa sekadar reaktif, bahkan cuma mengikuti tekanan dari luar. Penyusunan undang-undang sekarang ini sering ikutikutan reaktif. Bahkan cuma memgantisipasi tekanan dari luar. Misalnya, undang-undang yang menyangkut hak intelektual (termasuk hak paten dan merek) yang mengutungkan pengusaha multinasional. Sama dengan regulasi, undang-undang ini memberi keuntungan di satu sektor -- mengundang investasi -- tapi bisa menimbulkan kerugian lebih besar di sektor lain. Seberapa jauh undang-undang ini tidak merugikan kita? Bila terjadi sengketa, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, yang seharusnya menangani persengketaan perdata internasional, masih dipandang sebelah mata dalam pergaulan hukum internasional. "Untuk meratifikasi Badan Arbitrase ini kita masih harus meningkatkan mutu hakimnya agar sesuai dengan standar," ujar Sumartono. Penyusunan undang-undang dan hukum ekonomi tampaknya memerlukan sebuah upaya nasional yang melibatkan semua sektor dan kemauan politik. Tantangan yang dihadapi adalah penyusunan formatnya. Sejauh ini hanya Pemerintah -- sebagai pihak yang paling menguasai masalah -- yang memegang peran. Karena itu, para pengusaha dan investor berusaha membangun lobi di lembaga eksekutif ini, tidak di lembaga legislatif seperti yang terlihat di Amerika Serikat. Keadaan ini subur untuk menumbuhkan korupsi, yang pada waktunya akan menimbulkan kehancuran. Sebenarnya dengan membangun lobi di lembaga legislatif, para pengusaha bisa mengimbangi peran Pemerintah. Melalui cara ini, pengusaha bisa memperjuangkan kepastian investasi. Tidak melalui jalur korupsi, tapi melobi penyusun undang-undang. Produk perimbangan ini, peluasan horison sebuah undang-undang. Perhitungan ekonomi makro akan menampilkan pula aspeknya yang mikro. Perimbangan ini akan membangkitkan pula secara otomatis peran kontrol lembaga yudikatif -- yang independen -- sebagai pihak ketiga, seperti di AS. Pada akhirnya penyusunan undangundang ekonomi mau tak mau harus mengacu pada sistem demokrasi. Penyusunan undang-undang yang diharapkan berfungsi memang persoalan mendasar yang tak bisa lepas dari iklim demokrasi yang tercermin pada mobilitas lembaga-lembaga yang mendukungnya. Tanpa mekanisme ini, sebuah undangundang akan mengalami pemiskinan, tidak dipedulikan, dan bahkan menjadi jungkir balik. Contoh yang masih segar dalam ingatan kita adalah Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Masalah komunikasi antarkomisi sudah muncul ketika undangundang ini disusun di DPR. Dari menentukan denda pelanggaran, segera terlihat pula kontradiksi antara undang-undang ini dan peraturan daerah tentang Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP). Secara keseluruhan, undang-undang ini tidak peka pada aspirasi masyarakat yang diatur. Hasilnya, sudah pula kita ketahui. Undangundang itu justru membangkitkan rasa tidak aman. Citra aparat penegak hukum, lembaga yudikatif, malah membangkitkan rasa terancam. Lalu apa lagi artinya sebuah undang-undang dalam keadaan semacam ini? Hukum ekonomi tidak terkecuali dari ancaman seperti itu. Maka, masalahnya bukan hanya bagaimana menyusun undangundang, tapi bagaimana hukumnya, berfungsi dan ditaati. Perhitungan ekonomi, yang bisa diselesaikan di atas kertas, masih memerlukan kepekaan menentukan bagaimana perhitungan itu bisa diaplikasi. Pengembangan ekonomi pada pembangunan jangka panjang tahap kedua mau tak mau harus survive. Pada pembangunan ekonomi yang sudah menjadi sangat mahal ini, semakin banyak digantungkan harapan bangsa. Peluang untuk berpsekulasi dengan pandangan serba tunggal semakin sempit. Untuk ini diperlukan iklim politik yang egaliter. Profesionalisme di bidang ekonomi perlu dipacu di lembaga legislatif. Sementara lembaga yudikatif, kali ini, sunguh-sungguh memerlukan kebebasannya. Hanya dengan keadaan ini bisa diharapkan terbentuknya hukum ekonomi yang berfungsi dan berperan dalam rencana besar itu. Aries Margono, Andy Reza Rohadian, dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus