Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Laduni, Lalu Was-Wes-Wos

Tak sembarang ulama mampu mengamalkan Ilmu Laduni. Menyesatkan dan membodohi umat.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Sukiarno, 38 tahun, asal Pekanbaru, Riau. Seperti kebanyakan orang Indonesia, ia juga ingin belajar bahasa Inggris. Tapi ia ingin belajar secepat kilat, murah lagi. Maka pergilah ia ke Probolinggo, Jawa Timur. Lingkungan tempat kerjanya di perusahaan tambang di Tanzania, Afrika, mendorongnya untuk segera mampu menguasai bahasa asing. "Karena kontraknya sudah habis, saya langsung ke sini," katanya.

Atas petunjuk seorang teman, pergilah ia ke Pondok Pesantren Nurur Riyadhah, di Desa Alas Tengah Timur, Kecamatan Poiton, Probolinggo, Jawa Timur, yang diasuh oleh K.H. Khusnadi Soleh alias Gus Sholeh, 41 tahun, yang konon dapat membantunya menguasai bahasa asing lewat ilmu laduni.

Senin pekan lalu, sejumlah santri bergerombol di bawah pohon mangga yang rindang dan teduh di pelataran pesantren. Dua santri bergegas menyambut Sukirno sembari tersenyum. "Mas, langsung saja ikut wiridan di dalam ruangan itu," kata Rahmat Bakhtiar, salah seorang santri.

Di ruang tamu, Rahmat menyerahkan dua keping CD (compact disc) berisi contoh dasar pelafalan 12 bahasa dengan "mahar" Rp 20 ribu. Sebagai santri lepas alias tidak mondok, Sukiarno juga mendapat selembar kertas yang memuat doa dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Ia lalu diajak melakukan wirid selama dua jam.

Wirid diawali dengan tawasul (doa berangkai melalui beberapa tokoh wali dan ulama) dengan membaca basmallah dan surah Al-Fatihah tujuh kali, dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Nabi Khidlir, Nabi Ilyas, Nabi Sulaiman, Syekh Abdul Qadir Jailani, dan Gus Sholeh. Ia juga mendapat dua botol air mineral yang sudah didoai secara khusus oleh Gus Sholeh.

Menurut Rachmat, ada dua paket program penguasaan bahasa asing: paket biasa dengan "mahar" Rp 350 ribu, dan paket eksklusif senilai Rp 1,5 juta. Tapi ritual kedua paket itu tak banyak berbeda. Dalam paket biasa, prosesi wiridnya dua jam, sedangkan wirid paket eksklusif maksimal 45 menit. Usai wirid, santri lepas dimandikan, atau mandi sendiri dengan membaca doa tertentu, untuk menyempurnakan pembukaan hijab (tirai penutup) batin.

"Paket biasa dapat diselesaikan selama dua bulan, paket eksklusif dalam dua minggu," kata Andik Priyo Kunarbowo, salah seorang santri senior. Sukiarno tertarik. Ia pun memilih paket eksklusif dan segera menemui Gus Sholeh. "Kalau begitu, sampeyan juga bisa ikut tahap penarikan," kata Gus Sholeh. Yang disebut "penarikan" ialah lanjutan ritual penguasaan bahasa asing dengan cara "menarik" bibit bahasa yang diyakini sudah tersimpan dalam hati setiap orang.

Caranya, setelah minum air yang sudah didoai, Sukiarno masuk ke sebuah kamar untuk mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya. Ia dipandu oleh seorang santri senior, Zainullah, pembantu khusus Gus Sholeh. Sembari dibisiki sesuatu oleh Zainullah, entah bagaimana Sukiarno langsung bisa mengucapkan beberapa kata yang terdengar asing dan aneh: "Wes-wes, bahat-bahat, sukriya, haiya...." Tapi tidak ada kata-kata, "bablas angine...."

Meski berkeringat, setelah melakukan ritual "penarikan", ia mengaku pernapasannya jadi longgar. "Sebelumnya rasanya ada ganjalan, tapi sekarang dada saya jadi plong," katanya. Setelah "penarikan" itu, ia dimandikan oleh Gus Sholeh, kemudian mengamalkan "doa pemisah" dengan membaca basmallah 21 kali lalu minum air yang sudah didoai. Wirid-wirid itu harus dibaca berulang kali menurut petunjuk Gus Sholeh.

"Banyak yang pulang dari pesantren ini yang kemudian bisa lancar berbahasa Inggris," ujar Gus Sholeh. Ia juga mengaku apa yang ia ajarkan adalah ilmu laduni murni, yang konon ia terima ijazahnya langsung dari Nabi Khidlir. Kala itu Gus Sholeh, yang baru berusia 12 tahun, melakukan riyadhah alias tirakat atawa bertapa, di sebuah pantai selama beberapa hari. Menjelang hari terakhir, demikian pengakuannya, ia bertemu dengan Nabi Khidlir yang diyakini menguasai ilmu laduni, yang "mampu membuka batin manusia".

Sejak itu, ia dikenal sebagai "orang pinter" yang kabarnya mampu menyembuhkan berbagai penyakit dan mencarikan jodoh yang cocok. Ia lalu mendirikan Pondok Pesantren Nurur Riyadlah pada 1994, yang kini dihuni tak kurang dari 150 santri, sebagian besar anak-anak. "Tapi memang ada saja orang yang tidak suka, bahkan ada pula yang menuduh macam-macam," ujarnya. Di pesantren itu ada dua unit kegiatan. Unit pendidikan mencakup pendalaman kitab kuning dan pengajaran ilmu umum, sedangkan unit kebatinan berupa pelatihan pencak silat Trisakti dan pengamalan ilmu laduni.

"Ilmu laduni membantu santri menemukan kembali bibit bahasa yang dimilikinya. Sejak berusia empat bulan, setiap orang sudah menguasai semua bahasa. Hanya, kemampuan berbahasa itu tidak muncul karena tidak dibiasakan. Dengan ilmu laduni, pintu batin seseorang bisa dibuka dan otomatis gampang menguasai bahasa asing," kata Gus Sholeh.

Anehnya, ia tidak mengajarkan metode penguasaan bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf serta perlengkapan paramasastra Arab lainnya seperti balaghah, ma'ani, bayan, mantiq. "Pengajaran bahasa Arab sengaja saya kesampingkan dulu, karena bahasa Arab itu kan induk segala bahasa. Jadi, yang dipelajari anak-cucunya bahasa Arab. Kalau penguasaan bahasa Arab didahulukan, bahasa lainnya tidak akan keluar dari batin santri," ujarnya enteng.

Ternyata banyak juga peminat ilmu laduni ala Gus Sholeh. Rata-rata mereka ingin menguasai bahasa Inggris dan Mandarin. Ajaran Gus Sholeh agaknya berlaku juga. Terbukti, selain menerima santri lepas—yang tentu saja harus membayar "mahar"—ia juga sering ke luar kota mengajarkan ilmu laduni, seperti ke Palembang, Medan, Pekanbaru.

Benarkah ajaran Gus Sholeh bisa disebut ilmu laduni? KH Hamid Hasbullah geleng-geleng kepala. "Saya kok yakin itu bukan ilmu laduni," jawabnya. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Desa Muktisari, Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur itu, apa yang diajarkan Gus Sholeh semata-mata sejenis ilmu gaib—yang pengamalannya menggunakan jasa khaddam, sejenis "pembantu" yang lazimnya berupa jin.

Menurut Kiai Hamid, ilmu laduni ialah pengetahuan yang datangnya min ladunni alias langsung "dari Aku"—maksudnya dari Allah. Hanya orang tertentu, ulama besar, wali atau sufi, yang memiliki karamah (kelebihan dari Allah) yang mampu mengamalkannya. Itu pun harus disertai dengan kualitas keimanan dan ketakwaan yang tinggi, disertai pengamalan riyadlah tertentu, seperti puasa dan bermacam-macam wirid, sehingga Allah SWT berkenan menganugerahkan kebersihan kalbu.

"Dalam Al-Quran dijelaskan, bertakwalah kepada Allah maka Allah akan mengajarmu," kata Kiai Hamid. "Tapi pemahaman dan pemaknaan ilmu laduni di Nurur Riyadlah itu salah kaprah," tambahnya. Menurut dia, proses pengajaran ilmu pengetahuan seperti penguasaan bahasa asing itu sebenarnya termasuk ilmu ihktiari, yaitu ilmu yang hanya bisa diperoleh dengan ikhtiar, usaha.

"Tapi di sana ilmu ikhtiari kok diladunikan. Apalagi hal itu ternyata juga dibisniskan. Praktek seperti itu kan bisa berpotensi menyesatkan dan membodohi umat," katanya prihatin.

Zed Abidien (Surabaya), Abdi Purmono (Probolinggo), Mahbub Junaidi (Jember)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus