Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Buah

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang perempuan hitam menyanyi, "Buah yang ganjil bergantungan, di pepohonan daerah Selatan." Suaranya seperti terembus dari buluh perindu yang retak dibanting.

Ia Billie Holiday. Ia jazz dalam puisi:

Darah pada daun Darah pada akar Jasad hitam yang terayun-ayun Buah ganjil yang tergantung di pohon poplar

Sejarah mencatat, Columbia Records menolak merekam lagu yang digubah pada pertengahan tahun 1930-an itu. Baru pada 1939 sebuah perusahaan lain, Commodore Records, bersedia membuatnya jadi piringan hitam.

Billie memang berbisik, atau berkisah, atau mengeluh, tentang apa yang terjadi di daerah selatan Amerika Serikat: pohon-pohon jadi tempat orang putih ramai-ramai menggantung orang hitam, yang tak berdaya, yang ditangkap dan dibunuh dengan leher dijirat. Lynching yang buas itu terekam sejak 1880, dan berlangsung terus, dan lagu itu bercerita, di pohon-pohon poplar, "buah-buah yang ganjil" itu

dipatuk gagak, dikuyupkan hujan, diisap angin, dibusukkan surya, dijatuhkan dahan.

Buah, jasad, mayat—ada selapis ironi di lagu ini, mungkin sarkasme yang tertahan, sayup-sayup, sebab puisi yang baik adalah puisi yang tulus dan tahu diri. Di satu baris disebutnya "daerah pedalaman Selatan yang penuh dengan sejarah yang gagah", di baris berikutnya digambarkan wajah kesakitan orang-orang yang tercekik tali tambang: mata mereka terpelotot, mulut mereka mencong. Di satu baris disebut "Harum segar manis kembang magnolia", di baris berikutnya "bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba"—"the scent of magnolia sweet and fresh", "the sudden smell of burning flesh".

Strange Fruits kemudian jadi sebuah lagu terkenal, juga nama Billie Holiday—salah satu kontradiksi yang menarik dalam kapitalisme, ketika sebuah suara yang mengganggu perasaan, yang seperti sembilu yang lentur, halus, tajam, dipasarkan. Ia menjangkau khalayak ramai, tanpa jadi sumbang. Mungkin itu tanda bahwa tak ada masyarakat yang tak berubah, tak ada masyarakat yang utuh, dan pada suatu saat puisi itu, ucapan pedih yang tak berteriak itu, mampu mempertemukan beragam orang, meskipun tak semua, di satu ruas jalan, pada saat mereka bersua dengan yang kejam dan tak adil.

Pada tahun 2002, sebuah film dokumenter dibuat Joel Katz. Dari sini kita tahu, Strange Fruits bukan hanya buah tangan orang hitam di Selatan. "Lewis Allan", penulis syairnya, sebenarnya Abel Meeropol, seorang guru dari Bronx, imigran Yahudi yang mengadopsi anak Joel dan Ethel Rosenberg yang dihukum mati pemerintah AS pada tahun 1953 karena dituduh memberikan rahasia senjata atom kepada Uni Soviet.

Tapi pertautan seperti itu, dan gema di pasar itu, tak selamanya menggetarkan para penjaga kekuasaan. Lagu itu pernah dinyanyikan di Bukit Kapitol, sebagai protes yang sia-sia karena Senat, salah satu lembaga perwakilan rakyat, terus-menerus menolak memberlakukan undang-undang federal yang mengharamkan lynching. Hampir 200 rancangan undang-undang seperti itu sudah diajukan. Antara tahun 1880 dan 1960, hanya tiga yang lolos oleh DPR, dan tak sekalipun Senat mengesahkannya.

Baru dua pekan yang lalu, 14 Juni 2005, satu seperempat abad kemudian, Senat meminta maaf, mungkin kepada umat manusia, karena kesewenang-wenangan yang berkepanjangan itu, setelah selama 86 tahun sejak 1882, sudah sekitar 4.700 orang mati digantung di pohon-pohon.

Keadilan memang bisa berjalan seperti siput yang luka. Kelak mungkin orang akan mendengarnya dari Guantanamo, tapi sementara ini, ada cerita di sudut Amerika yang lain, Mississippi.

Pada suatu hari 41 tahun yang lalu, tiga orang pemuda tiba-tiba hilang di Neshoba County. Lebih dari sebulan kemudian tubuh mereka ditemukan ditimbun di dekat bendungan. Mereka telah dibunuh.

Mereka, para aktivis hak asasi, datang ke daerah itu untuk menggerakkan orang hitam menggunakan hak pilih, tapi mendapatkan sebuah gereja orang hitam dibakar habis oleh serikat Ku Klux Klan. Di tengah jalan mereka disetop wakil sheriff. Mereka dituduh mengendarai mobil terlalu cepat. Mereka dikurung. Dari sel mereka dikirim ke kematian. Wakil sheriff itu anggota rahasia Klan.

Purbasangka si putih, kebencian dan kekejaman mereka, juga ketakutan si hitam, bersengkarut di Mississippi. Maka tak mudah menyidik pembunuhan ini, juga setelah pemerintah federal mengirim satu tim FBI untuk membongkarnya— sebuah proses yang dengan dramatik dihidupkan kembali dalam film Mississippi Burning. Baru tiga tahun setelah kejahatan terjadi, 18 laki-laki yang dituduh terlibat diadili. Hasilnya: tujuh orang dihukum, tapi tak ada yang lebih lama ketimbang tujuh tahun. Orang yang terpenting, Edgar Ray Killen, bebas.

Killen seorang pendeta Gereja Baptist. Ia, tokoh Klan, mengibarkan kulit yang putih, dengan jubah dan salib putih—tak peduli apa pun yang dikatakan Yesus. Dari peradilan, diketahui dialah yang merencanakan pembantaian itu. Tapi mahkamah itu tak dapat menyimpulkan ia bersalah. Salah seorang juri mengatakan, ia tak dapat menghukum seorang pengkhotbah.

Tapi masyarakat berubah, juga di Selatan masyarakat tak pernah satu. Pekan lalu pengadilan dibuka kembali. Killen diadili kembali. Pendeta itu kini sudah berumur 80. Di gedung mahkamah ia datang dengan dibantu kursi roda. Hati hakim tak tergerak: ia menghukumnya 60 tahun.

Orang dapat bersyukur, dapat pula bertanya, apa artinya keadilan yang datang telat. Tak ada jawaban yang siap. Yang kita tahu, demokrasi adalah sebuah tata kekuasaan yang terbuka mengakui kekhilafannya—dan itu sering sama artinya dengan kesabaran. Mungkin karena demokrasi juga membuka suara-suara yang menakutkan, yang penuh benci, yang aniaya—sebagai bagian dari pengakuan kita bahwa ada mala yang dekat dalam hidup, dan sebab itu harus ada yang menggugat biarpun dari liang suling yang hangus. Itulah sebabnya kita ingat 70 tahun yang lalu Billie Holiday menyanyi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus