PELAKSANAAN test diagnostik yang bocor di beberapa tempat sempat
heboh. Pertengahan Desember lalu Prof. Dardji Darmodihardjo,
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), nampaknya kesal
juga. "Orang-orang itu kurang kerjaan, kenapa tes itu musti
diributkan," katanya. "Kalau yang bocor itu ujian EBTA wajar
diributkan. Karena berpengaruh terhadap lulus atau tidaknya
seorang murid kelas terakhir." Tes yang diselenggarakan pada
semua kelas dan bertujuan untuk mengetahui daya serap murid
terhadap kurikulum 1975 yang berlaku itu, menurut Dardji lagi,
tidak berpengaruh baik terhadap ujian maupun kenaikan kelas.
Tapi yang membuat panik terutama para guru bukan cuma karena
terjadi kebocoran itu. Melainkan juga karena 23 Desember adalah
batas waktu untuk menyerahkan hasil dan analisa tes diagnostik
itu, agar program perpanjangan tahun ajaran sudah bisa dimulai
awal Januari ini. Batasan ini dianggap terlalu sempit. Baik Sinu
Nawy, Kepala SMA Arena Siswa II, Jakarta, maupun Ibu Mamah,
salah seorang guru di Ja-Bar, dalam surat pembaca di Kompas.
mengeluh. Hasil tes itu, kata Sinu Nawy, "tidak akan sempurna."
Namun Dirjen PDM membantah pernah memberikan batas waktu itu.
"Kalau saya pernah mengatakan itu, namanya Dirjennya yang gila,"
katanya. Hanya laporan dari daerah memang diperlukan. Tapi itu
pun ditunggu pertengahan Pebruari nanti. Menurut Dardji laporan
dari daerah sampai kini sudah 60% yang masuk. Dari laporan yang
masuk itu hasil tes diagnostik itu menunjukkan rata-rata daya
serap murid sekitar 60%.
Tapi banyak juga yang di bawah 50%. Jadwal yang sudah
direncanakan Departemen P & K agar program perpanjangan tahun
ajaran sudah dimulai Januari ini, nampaknya di beberapa daerah
belum bisa dilaksanakan. Jawa Barat misalnya, menurut Kumpul
Murtaji, Kakanwil P & K, hasil tes diagnostik sampai saat ini
masih dalam taraf evaluasi. "Diakui terlambat karena tesnya
bocor," katanya. Bahkan Jakarta sendiri, tes tersebut masih
diolah masing-masing sekolah. "Baru Maret nanti kita mengetahui
hasilnya," kata Minaryo, Kakanwil P & K Jakarta.
Teori
Memang tidak mudah untuk menjejalkan empat aspek (peningkatan
mutu, pendidikan moral pancasila, pembinaan generasi muda dan
keterampilan) dalam program perpanjangan tahun ajaran yang hanya
enam bulan itu. Lebih-lebih tentu bagi daerah yang belum
mengeta hui hasil tes diagnostiknya. Itu sebabnya, Kalimantan
Selatan misalnya, tidak berambisi terlalu tinggi. Hasil tes
diagnostiknya menunjukkan 50% sedang, 50% lagi kurang. Maka
sesuai dengan petunjuk yang sudah diberikan Departemen P & K,
sekolah-sekolah di Kal-Sel akan lebih banyak diberikan program
perbaikan dari pada pengayaan. Itupun, kata Broto Moeljono,
Kakanwil P & K Kal-Sel, target perbaikan mutu bagi kelompok yang
daya serapnya sedang selama program perpanangan yang sudah
dimulai Januari ini hanya sampai 80% dan bagi yang daya
serapnya kurang 75%.
Acara tes diagnostik ini memang barang baru. Di negara maju,
kata Daoed Joesoef, Menteri P & K, tes ini diselenggarakan
setiap hari. Dan kalau sekarang ada tes itu, bukan dimaksudkan
untuk memperbanyak jumlah lulusan. "Tapi untuk meningkatkan
mutu," katanya. Lagi pula perpanjangan masa belajar selama enam
bulan ini, sambung Dardji Darmodihardjo, nilainya sangat mahal.
Baik biaya maupun tenaga. "Itu sebabnya harus digunakan
seefektif mungkin," kata Dardji lagi. Itu pula sebabnya ada tes
diagnostik ini, agar guru tahu persis daya serap muridnya.
Dengan begitu diketahui dengan agak persis pula target mutu yang
hendak dicapai. Begitulah teorinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini