SAMPAI pertengahan Januari 1979 ini, timbang terima jabatan
Dewan Pimpinan Yayasan dan Universitas Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Nommensen, Tarutung, ternyata belum
dilaksanakan. Kabarnya, sampai Laks.lsda Sumatera Utara pun ikut
mengurusnya.
Ceritanya dimulai kira-kira dua bulan lalu. Dalam synode goiang
(muktamar agung) HKBP di Sipoholon, Tarutung, 28 Oktober sampai
dengan 4 Nopember 1978 lalu, salah satu keputusannya ialah
memberhentikan Ketua Yayasan HKBP M. L. Siagian dan Rektor
Universitas Nommensen, Prof. Dr. T. D. Pardede. Alasannya tidak
begitu dijelaskan. Hanya dalam muktamar itu memang terdengar
kecaman terhadap yang kemudian diberhentikan, karena melanggar
peraturan HKBP. Jelasnya, Anggaran Dasar 1970 yang menyangkut
yayasan dan universitas tersebut oleh Pardede dan Siagian
diganti dengan statuta baru. Dan menurut Pardede, statuta itu
telah disyahkan oleh Menteri P & K lewat SK 0111/U/1978,
tertanggal 31 Maret 1978. Tapi muktamar menolak statuta baru
itu.
Pasal lain yang dijadikan alasan ialah soal menjalin hubungan
baik antara HKBP dengan Gereja Kristen Protestan Indonesia
(GKPI). Semula Pardede sudah mendapat mandat dari HKBP untuk
membuka jalan hubungan baik itu. Tapi muktamar menarik mandat
itu kembali dan mengalihkan tugas tersebut kepada Ephorus Ds. G.
H. M. Siahaan.
Sampai 1983
Muktamar HKBP rupanya cukup keras. Mengikuti keputusan yang
telah disebutkan, adalah keputusan ini: bagi para pejabat dan
fungsionaris HKBP yang menolak dan menentang keputusan tersebut
tidak dibenarkan memegang pimpinan lagi dalam organisasi HKBP
--baik di pusat, distrik, dalanm Iembaga atau yayasan yang
mewakili HKBP di dalam maupun luar negeri. Dan wewenang
penindakan diserahkan kepada Ephorus Ds. Siahaan dan tim
pembantunya.
Pardede, rektor yang diberhentikan itu, sempat ditemui Zakaria
M. Passe dari TEMPO dua hari sebelum Pardede sekeluarga berlibur
ke Singapura. Ternyata dia tidak mau begitu saja menerima
keputusan muktamar. "Baik Dewan Pimpinan Yayasan ataupun saya
sebagai rektor, tetap menolak keputusan sepihak itu." Lalu
tarnbahnya "Mereka tidak tahu aturan permainan yang ada dalam
yayasan itu dan tidak berpedoman pada statuta yang telah
disahkan Menteri P & K." Dan Pardede tidak hanya menolak, ia
menyerahkan persoalannya kepada pengacara Haji Syarif Siregar SH
-- yang kebetulan Ketua Peradin cabang Medan -- untuk bertindak
atas nama DP Yayasan dan Rektor Universitas HKBP Nommensen.
Riwayat Pardede sendiri memang menarik. Di Medan dia dikenal
sebagai pengusaha hotel dan raja uang. Tapi di zaman Bung Karno
dia terkenal sebagai raja tekstil, lalu jadi Menteri. Mulai
terlibat dalam universitas ini sejak 1965. Waktu itu ada
penyingkiran rektor dan wakilnya -- Dr. M.L. Tobing dan drs
Opposunggu. Pardede -- yang gelar doktor dan profesornya
diperoleh dari Nommensen -- kemudian terpilih sebagai rektor
hingga tiga periode. Yang ketiga pemilihan 1978 kemarin, yang
mustinya jabatan itu dipangkunya sampai 1983 nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini