KAMIS lepas magrib, 11 Januari pekan lalu, Sala hujan lebat.
Tiga vrdng berjaket yang masuk lewat pintu llclakang rumah di
Jalan Minapadi 16, Sala, setelah dipersilakan masuk, bertanya
kepada seorang anak: "Ayah ada?" Ponky Joko Pramono, anak itu
segera memanggil ayahnya, Parmanto MA, Pembantu Rektor bidang
Akademis, Universitas Sebelas Maret (UNS) Sala. "Saudara dari
mana?" tanya Parmanto. Mengaku dari Jakarta, tamu yang ternyata
berjumlah empat orang dan berkcndaraan sepeda motor itu langsung
melepaskan serentetan tembakan dari senjata jenis pistol.
Nyonya Astuti Parmanto, yang segea memburu ke ruang tamu
menjerit kaet. Salah seorang dari penembak tak dikenal itu
masih sempat menembakkan sebutir peluru yang hampir mengenai
nyonya rumah itu. Mereka, dalam keadaan basah kuyup, segera
kabur. Ibu dari empat orang anak itu mendapatkan suaminya tewas
berlumuran darah. Diduga tujuh buah peluru yang ditembakkan pada
jarak kurang dari dua meter telah bersarang di beberapa. bagian
tubuhnya. Sampai hari Minggu kemarin, polisi yang dipimpin
langsung oleh teman almarhum ketika di Tentara Pelajar Brigade
17, Kadapol IX Jateng, Mayjen Pol Winarsi SH, belum
memberitahukan ciri para pembunuhnya.
"Saya kagct dan tak habis ngerti. Kalau kejadian itu dilakukan
orang yang kccewa oleh kebijaksanaan UNS, mustinya yang ditembak
itu saya. Bukan Pak Parmanto," kata Dr. Prakoso, Rektor UNS.
Rektor yang sebelumnya menjabat Kepala Kesehatan Angkatan Darat
itu membantah adanya mahasiswa yang ditahan. "Almarhum tidak ada
konflik dengan saya. Kerjanya cukup baik, lepas dari
kesalahannya yang tak prinsipil," kata Prakoso lagi. Dan rektor
juga tak mclihat ada konflik tajam antara almarhum dengan pihak
mahasiswa. "Kalau soal mahasiswa resah, itu kan biasa," tambah
Prakoso.
Ricuh
Pelaku pembunuhan yang mengejutkan itu memang belum ketahuan.
Tapi soal mahasiswa resah, bagi universitas negeri tcrmuda yang
peresmiannya dilakukan Presiden, 11 Maret 1976 lalu itu, bukan
barang baru. Almarhum, lulusan Universitas Bloomington, Indiana,
USA, bersama Brigjen GPH laryo Mataram Sll, rektor waktu itu,
sudah menghadapi kericuhan yang muncul dari fakultas
kedokterannya sejak awal lahirnya universitas itu.
FK UNS pada mulanya merupakan gabungan dua FK swasta dari
Universitas Islam Indonesia (Ull) dan Perguruan Tinggi
Pembangunan Nasional (PTPN Veteran). Tapi ketika masih tergabung
dalam Universitas Gabungan Surakarta. menjelang penegerian
menjadi UNS, mahasiswa kedokterannya tidak hanya datang dari
kedua FK swasta tersebut. Melainkan juga pindahan dari Trisakti
dan FK Yarsi dari Jakarta, dan Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU) dan Universitas Metodis Indonesia (UMI) dari Medan yang
jumlahnya mencapai 145 orang. Mahasiswa FK pindahan itu memang
berharap untuk menghindarkan ujian dari CMS (Konsursium
Ilmu-Ilmu Kedokteran) yang dikenakan pemerintah terhadap
mahasiswa FK swasta, bila sudah masuk ke FK yang bakal
dinegerikan itu. Ujian yang dianggap memberatkan FK swasta itu
sampai saat ini pun masih dipersoalkan mahasiswa kedokteran
swasta.
Dari situlah mula kericuhan itu. Di satu pihak mahasiswa
kedokteran UNS berpegang terhadap hasil brifing, 1 Juni 176
dengan Sjarif Thajeb, Menteri P & K waktu itu. Brifing itu
antara lain berisi pernyataan Menteri yang merlyebut mahasiswa
kedokteran UNS sekarang adalah mahasiswa negeri yang tidal
perlu lagi menjalani ujian CMS. "Ujian harus dilakukan oleh staf
pengajar sendiri. CMS adalah badan yang hanya memberi nasihat
pada menteri," katanya.
Pihak CMS rupanya punya pendapat lain. Maklum dokter
berhubungan dengan jiwa manusia, sehingga kelulusannya harus
diseleksi secara hati-hati. Karena itu kemudian tim yang
dibentuk untuk meneliti bekas FK swasta itu memberikan
alternatif: mahasiswa disesuaikan tingkatnya dengan tingkatnya
ketika masih di FK swasta, disesuaikan dengan hasil ujian CMS
dan atau berdasarkan test-penempatan. Haryo Mataram waktu itu
memilih cara yang terakhir. Tapi mahasiswa tetap menolak.
Mungkin itu sebabnya Haryo Mataram diganti, kemudian Parmanto
sempat menjadi pejabat rektor selama tiga bulan, sebelum rektor
Prakoso yang sekarang muncul.
Kehati-hatian CMS terhadap mutu FK UNS yang pernah swasta itu
sebenarnya dikuatkan dengan hasil penelitian tahun 1970.
Penelitian itu menunjukkan FK PTPN Veteran yang statusnya di
bawah asuhan Departemen Hankam berada pada keadaan "sangat
meragukan" perkembangannya. Sedang FK UII yang disokong
perusahaan batik Batari, kondisi staf pengajar dan yang lainnya
sangat mempersulit perkembangannya (TEMI'O, 21 Agustus 1976).
Namun sejak Prakoso jadi rektor, kericuhan itu sebenarnya agak
menurun Dokter lulusan FK UGM itu ketika ditunjuk menggantikan
Haryo Mataram nlemang dianggap cocok oleh semua pihak. Tapi
soalnya musibah itu memang belum tentu karena ulah mahasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini