Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 500 pelajar SMTP dan SMTA, itu kecewa. Kamis pagi akhir Januari lalu, mereka bergerombol di halaman bioskop Mandala di Rangkasbitung, Lebak, siap nonton film Max Havelaar. Mendadak, pemutaran film itu dibatalkan. "Ada telepon dari Sekwilda, memerintahkan pemutaran film dibatalkan," kata Acung, wakil manajer Mandala. Acung sudah lama merencanakan memutar film yang menceritakan penderitaan rakyat Lebak di bawah pemerintahan Bupati Kartanatanegara di abad ke-18 itu. Ia telah mencetak 10.000 Iembar karcis a Rp 500,00, separuh dari harga biasa, yang dijual kepada murid SMTP dan SMTA melalui kepala sekolah masing-masing. Di Rangkasbitung ada 20 SMTP dan 13 SMTA negeri dan swasta. Tapi belum lagi film diputar, karcis ditarik. "Untung, baru beberapa sekolah yang dititipi karcis. Itu pun tidak semua murid membeli," kata Kodrat Soebagio, Kepala Sekolah SMA PGRI . Gara-gara titipan karcis itu, Dinas P dan K beserta Sekwilda Lebak menyelenggarakan rapat mendadak. Hasilnya: Bupati Lebak, Iman Sachroni, membatalkan pemutaran Max Havelaar. Menurut Empod Hardjadinata, Wakil Kepala Cabang Dinas P dan K Rangkasbitung, selain sekolah tidak boleh jual-beli karcis, larangan itu karena Max Havelaar "cenderung menjatuhkan nama baik bupati". Tapi Andi Azis, Kepala Humas Pemda Lebak, membantah. "Pembatalan itu bukan karena instruksi Bupati. Kami tidak melarang pemutaran film Max Havelaar yang sudah lolos sensor. Pembatalan itu karena Mandala tak mampu menyewa film, yang kabarnya sekitar Rp 18 juta," katanya. Anehnya, Acung, wakil manajer Mandala itu, menyatakan siap memutar film, "Tapi 'kami patuh pada perintah Pemda." Saling lempar alasan ini memang aneh. Sebab, bukankah di daerah ada Badan Pengawas Perfilman Daerah (Bapfida) yang berhak melarang pemutaran film yang dinilai "meresahkan" - meski sudah lolos sensor? Pembatalan pemutaran film itu agaknya gara-gara surat pernyataan 12 mahasiswa asal Lebak 20 Januari lalu, yang dikoordinasikan Akhmad Kusain, 25 tahun, alumnus FH UI. Beberapa kali nonton Max Havelaar, ia berpendapat film itu "cenderung menyudutkan bupati, menggambarkan watak dan pemerintahan Bupati Kartanatanegara yang kejam, sementara penjajah yang diwakili Asisten Residen Max Havelaar dilukiskan sebagai pembela rakyat. Dan film itu 'kan menyinggung perasaan keturunan Bupati Kartanatanagara." Mendengar film itu akan diputar di Rangkasbitung, ia mengumpulkan rekan-rekannya, lalu melayangkan surat kepada Bupati dan beberapa instansi, menyarankan agar Max Havelaar dilarang diputar. Kusaini lalu ke Rangkas membawa kaset video Max Havelaar berikut sejumlah kliping. Para pejabat pun lalu menontonnya. "Tapi bukan hanya karena surat itu film itu dilarang. Pihak Mandala ternyata tak mampu menyewa filmnya," ujar Kusaini. Berbeda dari Lebak, Max Havelaar ditonton Bupati Subang Sukanda Kartasasmita dan segenap aparatnya. Bioskop Chandra I dan II, yang berkapasitas 800 orang, 10 Februari lalu penuh oleh para pejabat - termasuk 242 kepala desa dan delapan lurah - beserta istri masing-masing. Hebatnya, tontonan itu atas undangan Bupati. Sebelumnya, Sukanda bahkan menyampaikan pengarahan, "agar para pejabat jangan salah tafsir" . "Tema kemanusiaan film ini menarik. Ternyata, bukan Belanda saja yang jelek, orang kita pun bisa bermental bobrok. Karena itu, saya menyuguhkan film ini kepada para pejabat, untuk mawas diri apakah kita sudah mengidentifikasi sebagai panutan dan pengayom masyarakat serta pendorong pembangunan," katanya. Sudah dua kali ia nonton Max Havelaar, pertama bersama keluarga, kedua dalam raker Pemda Ja-Bar bersama Gubernur Yogie S. Memed beberapa waktu lalu.... B.S.H., Priyono B. Sumbogo, Hedi Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo