Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto, kini bisa melangkah ringan. Setelah beberapa pekan tak ada kejelasan soal dana pembangunan Acehkawasan bekas tsunami yang pembangunannya kini menjadi tanggung jawabnyadua pekan lalu DPR mengetukkan palu yang menyetujui pencairan dana itu. Dari proyeksi uang untuk Aceh sebesar Rp 46,1 triliun, parlemen menyetujui pencairan Rp 38,2 triliun. Uang itu hampir Rp 4 triliun berasal dari moratorium utang, Rp 500 miliar dari pinjaman lunak, dan sisanya hibah dari sejumlah negara. Ini bujet untuk tahun 2005 saja. "Bulan depan BRR akan bertemu dengan parlemen lagi untuk membahas anggaran 2006," kata Sudirman Said, Deputi Komunikasi dan Informasi BRR Aceh-Nias.
Untuk sementara, BRR boleh bernapas lega. Menggenggam amanat bekerja selama empat tahun, badan ini tengah berlomba dengan waktu. Mereka harus bekerja ekstracepat jika tidak ingin dituduh berleha-leha. Harap maklum, setelah hampir enam bulan bencana berlalu, pembangunan fisik memang belum tampak di pesisir pantai yang diterjang air bah 26 Desember lalu itu. Di Ulee Lheu, kawasan paling parah dihantam gelombang, tak ada pembangunan berarti kecuali sampah yang sudah diangkut.
Selain soal pengaturan hak pemilikan tanah, persoalan mendasar adalah soal dana. Bantuan dari berbagai lembaga swasta selama ini baru tersalur untuk masa tanggap daruratmisalnya untuk pengobatan, pembangunan barak darurat, dan sumbangan makanan (lihat Sumbangan di Tangan Partikelir). Selebihnya mereka menunggu cetak biru pemerintah soal pembangunan kembali Tanah Rencong. BRR sendiri, seperti pernah dikatakan Kuntoro, tak menganggap blue print itu sebagai barang mati. "Cetak biru harus dicocokkan dengan keinginan masyarakat. Jika tidak sesuai, kita sesuaikan lagi termasuk soal tenaga, dana, dan waktu yang tersedia," katanya.
Nah, hingga empat pekan bekerja terhitung sejak Mei lalu, tim Kuntoro belum mendapat titik terang soal duit. Itulah sebabnya, persetujuan DPRyang dicapai melalui diskusi yang alot dengan tim Badan Rehabilitasimengakhiri ketidakpastian soal dana rekonstruksi Aceh. Sebelumnya bahkan tim tak punya uang untuk menjalankan roda organisasi. Keadaan menjadi lebih baik setelah pemerintah mencairkan dana awal Rp 30 miliar untuk operasional BRR.
Kuntoro praktis memulainya dari nol, meski sebetulnya dana Aceh sudah tersedia sebelum BRR Aceh-Nias terbentuk. Saat itu, misalnya, tersedia tiga pos pendanaan. Pertama, dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp 1,2 triliun. Dana ini disiapkan untuk membayar utang pemerintah kepada para kontraktor yang telah membangun barak atau fasilitas darurat lainnya. Kedua, dana sekitar Rp 800 miliar yang dikumpulkan elemen pemerintahdepartemen atau dinasselama masa darurat berlangsung. Ketiga, dana dari badan lain di luar pemerintah yang juga dikumpulkan tiga bulan pertama tsunami.
Dana yang pertama disebut-sebut tidak mengalir lancar akibat problem koordinasi pusat dan daerah. Saat berkunjung ke Banda Aceh tiga pekan lalu, Tim Pengawas DPR RI sempat terkejut mendengar cerita pemerintah daerah Aceh harus menalangi jatah hidup pengungsi karena dana itu belum cair dari pusat. Jatah hidup adalah bantuan pemerintah kepada pengungsi sebesar Rp 3.000 per orang per hari selama mereka menjadi pengungsi. Biaya barak juga belum dibayarkan kepada para kontraktor. Padahal, kata salah seorang anggota tim, A.S. Hikam, DPR merasa sudah menyetujui pencairan dana Rp 1,2 triliun itu.
Sebagian dana itu kabarnya sudah mengucur ke Aceh. Menurut Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, Mulia Nasution, pemakaian dana itu dilakukan oleh lima departemen. Yang terbesar adalah Departemen Pekerjaan Umum (Rp 992 miliar). Selain itu, Departemen Sosial (Rp 86 miliar), Departemen Kesehatan (Rp 96 miliar), Departemen Pendidikan Nasional (Rp 70 miliar), dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Rp 8,5 miliar). Dana di empat departemen itu juga belum semuanya cair. "Harus hati-hati karena rawan dugaan penyelewengan," kata Mulia.
Saat ini, kata Mulia, sisa dana yang berasal dari APBN masih di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, yang saat itu memimpin proyek tanggap darurat di Aceh. Dijelaskannya, setelah ada Badan Pelaksana Rekonsiliasi dan Rekonstruksi, dana tanggap darurat itu masih disimpan. "Masa tanggap darurat sudah selesai," kata dia. Jika nanti ada sisa dana, akan dimasukkan ke kas negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun sudah turun tangan. Audit dana bantuan bencana itu dilakukan untuk menyelamatkan saldo yang saat ini masih ada. Menurut Kepala Auditor Utama Keuangan Negara, Handjari, ada saldo sekitar Rp 803 miliar dari duit Rp 1,2 triliun itu. Berdasarkan laporan pemerintah, penerimaan dana tsunami sebesar Rp 1,21 triliun, dengan pengeluaran Rp 406 miliar dan sisa Rp 803 miliar. Namun, saldo itu hingga saat ini tidak jelas keberadaannya.
Memang, belum muncul tudingan korupsi. Dana itu masih simpang-siur karena audit belum selesai. Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, audit macet karena laporan keuangan pemerintah belum lengkap. Laporan itu baru sekadar inventarisasi bantuan. Anwar mendesak pemerintah, laporan keuangan harus rampung paling lambat 18 Juli 2005. "Laporan jangan lagi diundur-undur," kata Anwar. Soalnya, kalau laporan dan audit itu terbengkalai, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias pun terancam macet.
Lalu, akankah duit yang sudah disepakati DPR masih akan tersendat-sendat? Menurut Sudirman Said, secara teoretis mestinya tidak. Asalkan jelas peruntukan dan prosedurnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menahan dana rekonstruksi itu.
Saat ini yang bakal jadi persoalan adalah batas waktu 53 haridari mulai tender sampai pencairan danabagi BRR untuk menggunakan uang sebuah proyek rekonstruksi. Berdasarkan pengalaman birokrasi selama ini, ada kecenderungan sebuah proyek dipaksakan dalam waktu yang mepetdengan tender asal-asalanhanya agar dana segera turun. BRR kini sedang bernegosiasi dengan parlemen dan Badan Pemeriksa Keuangan agar, jika batas waktu itu terlampaui, dana bisa dialihkan ke tahun anggaran berikutnya tanpa kewajiban meminta persetujuan ulang. Belum ada kata setuju dari kedua lembaga itu, meski tampaknya tak terdengar nada keberatan.
Jika soal ini mulus, mestinya tak ada alasan bagi BRR untuk tidak bekerja cepat. Waktu memang berlari bagi Kuntoro dan kawan-kawan. Baru saja mereka melompati sebuah sandungan batu besar.
Arif Zulkifli, Nezar Patria, Adi Warsidi, Agriceli, Suryani Ika Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo