Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK berkepanjangan, gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam, ternyata masih membawa berkah. Bukan untuk warga Aceh, tentu. Melainkan giliran Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI Endang Suwarya, yang kecipratan rezeki. Rabu pekan lalu ia dipromosikan mengisi kursi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Daerah yang kosong sejak hampir dua bulan lalu.
Surat keputusan mutasi itu ditandatangani Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, pada 30 Maret lalu. "Pak Endang dimutasi bersamaan dengan 22 perwira tinggi lainnya," kata Kepala Dinas Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI, Kolonel Ahmad Yani Basuki. Sebagai satu-satunya perwira yang dipromosikan ke bintang tiga, panglima darurat militer Aceh itu menjadi kepala gerbong mutasi kali ini.
Sebagai pengganti Endang, ditunjuk Pangdam IX/Udayana, Mayjen Supiadin Yusuf A.S. Posisi Supiadin digantikan Pangdam VI/Tanjungpura, Mayjen Herri Tjahyana. Bintang dua lainnya yang dimutasi dari TNI Angkatan Udara, salah satunya, Panglima Komando Operasi II Marsda I Gusti Made Oka S.T. Ia mengisi kursi Asisten Operasi KSAU yang kosong, setelah Marsdya Djoko Suyanto diangkat menjadi KSAU.
Dua ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut dalam rangkaian mutasi kali ini, yakni Mayjen Erwin Sudjono dan Brigjen Pramono Edhie Wibowo. Erwin, yang semula Panglima Divisi II/Kostrad, diangkat menjadi Panglima Kodam VI/Tanjungpura. Pramono akan kembali ke kesatuannya. "Putra mantan Komandan RPKAD Letjen Sarwo Edhie Wibowo itu diangkat menjadi Wakil Komandan Jenderal Kopassus," kata Yani.
Penunjukan Endang Suwarya sebagai Wakil KSAD sebenarnya cukup mengejutkan. Selain namanya hampir tak pernah beredar di bursa calon, selama ini kursi nomor dua di Markas Besar TNI-AD itu biasa diisi seorang perwira bintang tiga. Kalaupun diisi mayor jenderal, perwira itu sudah dianggap senior karena beberapa kali menduduki posisi bintang dua.
Dari jajaran bintang tiga muncul nama Komandan Komando Pendidikan dan Latihan TNI-AD (Kodiklatad) Letjen Cornel Simbolon dan Panglima Kostrad Letjen Hadi Waluyo. Kandidat lain adalah Panglima Kodam Jaya Mayjen Agustadi Sasongko Purnomo. Maklumlah, lulusan terbaik dan peraih Pedang Adhi Makayasa Akabri 1974 itu sudah beberapa kali berada di pos bintang dua.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, justru paling santer disebut dalam bursa calon Wakil KSAD. Maklumlah, Panglima Kodam termuda di akhir pemerintahan Presiden Soeharto itu sudah hampir delapan tahun "dipendam" di posisi bintang dua. Padahal ia pernah dikenal sebagai bintang perwira yang menjadi idola warga Ibu Kota sebelum peristiwa kerusuhan Mei 1998. Tapi, ia selalu mengelak ketika ditanya perihal kemungkinan mutasi itu.
Namun bekas pengawal pribadi Presiden Soeharto itu akan menduduki posisi bintang tiga lainnya. "Dia diplot menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan," kata satu sumber Tempo. Sjafrie akan menggantikan Marsekal Madya Suprihadi, yang akan pensiun. Tapi, ketika hendak dikonfirmasi, Sjafrie selalu menghindar. "Bapak sedang rapat," kata ajudannya, menjawab telepon Tempo berkali-kali.
Jika dilihat dari penugasan yang pernah diembannya, Endang baru sekali menduduki pos bintang dua. Ia baru diangkat menjadi Pangdam Iskandar Muda pada 2003. Beberapa perwira senior maupun kawan seangkatannya bahkan menilai Endang telah mengalami lompatan luar biasa. "Anda harus ingat, tahun 2002 dia masih kolonel," kata seorang kawannya.
Namun, menurut pandangan mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Letjen Purn. Agus Widjojo, dalam posisi perwira tinggi, seseorang bisa naik pangkat kapan pun. Sebab, posisi profesional hanya terbatas sampai ke tingkat kolonel. Untuk tingkat perwira tinggi, pertimbangannya adalah faktor kepercayaan dan politis. "Tapi, dalam keadaan yang relatif stabil, sebaiknya TNI tidak memunculkan kejutan-kejutan mutasi yang terlalu tajam," ujarnya.
Di Aceh, Endang tentu bukan orang baru. Dari 2001 sampai 2002, ia menjadi Komandan Korem 012/Teuku Umar di Banda Aceh. Ia juga mengemban tugas sebagai Komandan Pelaksana Operasi TNI Sektor B di Aceh. Pria kelahiran Bandung ini sempat menjadi Komandan Satuan Tugas Penerangan Pengamanan Wilayah Aceh, sebelum ditarik ke Jakarta.
Ketika kembali ke Aceh dalam posisi Kepala Staf Kodam Iskandar Muda, ia hanya memerlukan dua bulan sebelum meraih bintang duanya sebagai Pangdam, menggantikan Mayjen Purn. Djali Yusuf. Saat menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, Endang merangkap sebagai penguasa darurat militer daerah (PDMD) pada saat keadaan darurat militer diterapkan di Bumi Serambi Mekah itu. Ia pun masih tetap mem-back-up Pemerintah Daerah Aceh ketika darurat sipil mulai diberlakukan.
Seraya Aceh dilanda bencana tsunami, dia pula yang mengkoordinasi organisasi pemerintah daerah yang porak-poranda. Prestasi lainnya adalah membongkar keterlibatan Gubernur Abdullah Puteh dalam kasus korupsi. "Tampaknya penugasan selama darurat militer, darurat sipil, dan penanggulangan musibah itu yang dinilai sebagai prestasinya," kata mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen (Purn.) Haryoto P.S.
Selain karena faktor darurat militer, sumber Tempo menjelaskan penunjukan Endang terutama karena faktor senioritas. Maklumlah, KSAD Letjen Djoko Santoso adalah lulusan Akabri 1975, sementara banyak perwira senior dari angkatan 1972 hingga 1974 yang masih beredar di Mabes TNI-AD. "Beliau lebih sebagai penyeimbang," kata perwira intelijen itu.
Sampai akhir pekan lalu, Endang belum bisa dimintai komentar. Telepon seluler yang selama ini dipegangnya selalu dibawa ajudan. "Maaf, Bapak sedang dalam kunjungan ke Takengon, silakan menghubungi Penerangan Kodam dulu agar bisa diatur waktu wawancaranya," kata ajudannya. Setelah itu, telepon tak bisa dihubungi lagi.
Bagi warga Aceh, nama Endang Suwarya sudah tak asing, terutama karena langkah-langkahnya menumpas Gerakan Aceh Merdeka, termasuk kebijakannya menerbitkan KTP merah putih di Aceh. "Begitu mendengar nama Endang Suwarya, saya ingat waktu antre membuat KTP merah putih," kata Sabirin, seorang penarik becak di Banda Aceh, kepada Adi Warsidi dari Tempo.
Asnawi, pengungsi di Kamp TVRI Mata Ie, mengaku merasakan perubahan sejak Endang menjadi panglima. "Beberapa bulan setelah darurat militer, saya berani pulang kampung di Juli, Bireuen," ujarnya. Rufriadi dari LBH Banda Aceh pun mengakui, perubahan keamanan ke arah yang lebih baik mulai terjadi selama Endang menjabat. "Tapi itu semua karena operasi militer," ujarnya.
Namun, menurut anggota DPR dari Aceh, Ahmad Farhan Hamid, prestasi Endang tidak terlalu luar biasa. Ia malah menduga, faktor "kawan seangkatan Presiden" bisa menjadi alasan kuat bagi promosinya. Selain teman seangkatan Presiden Yudhoyono di Akabri angkatan 1973, sebagai panglima darurat militer daerah ia pun langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Farhan malah menduga, melejitnya Endang Suwarya lebih karena adanya persaingan antarjenderal di internal TNI-AD, sehingga dipilih perwira yang relatif netral. Promosi ini lalu menjadi semacam hadiah bagi Endang, yang lama bertugas di daerah konflik. Tapi ia mengingatkan agar TNI tidak mencoba melestarikan konflik Aceh. "Jangan sampai di masa mendatang Bumi Serambi Mekah terus menjadi lahan mencari bintang dan kursi," ujarnya.
Hanibal W.Y. Wijayanta
Karier Mayjen Endang Suwarya
1973
1974
1993
1995
1997
2000
2002
2003
2005
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo