Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lsm

Masyarakat yang mempunyai kepedulian sama terhadap keprihatinan masa depan bangsa, negara dan bumi, bergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (lsm).

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH mereka tidak jelas, mungkin ribuan, mungkin juga puluhan ribu. Mereka ada di mana-mana, di desa-desa yang kumuh dan miskin, juga di kota-kota besar -- termasuk di kantor-kantor yang dingin ber-AC. Yang jelas, mereka -- - sebagian besar orang muda -- punya kepedulian yang sama: keprihatinan terhadap masa depan bangsa, negara, dan bumi ini. Kepedulian itulah yang membuat mereka membentuk, atau bergabung dalam, LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebuah nama yang belakangan ini makin sering bergema di sini. Memang, banyak di antara mereka yang hanya "berhura-hura". Namun, kehadiran "kelompok hura-hura" atau "pura-pura" ("Mereka hanya memanfaatkan dana luar negeri dan menjual kemiskinan di Indonesia", bunyi sebuah tuduhan) ini tidak mengurangi arti pent ing LSM, yang tampaknya merupakan fenomena baru yang perlu diamati di negara ini. Ini sebenarnya sebuah gejala global. Di seluruh dunia, dalam dua-tiga puluhan tahun terakhir makin banyak bermunculan organisasi sukarela (nongovernmental organization). Mereka prihatin terhadap masalah-masalah seperti kemelaratan, ledakan penduduk, penekanan hak-hak asasi, dan perusakan lingkungan. Mereka percaya, dunia yang kita diami ini perlu dikelola lebih baik agar generasi yang akan datang masih bisa ikut menikmati, agar kualitas hidup manusia bisa lebih baik. Mereka membentuk barisan, melangkah, dan mengibarkan bendera "Selamatkan Planet Bumi". Begitu gawatkah keadaan? Lester R. Brown, yang oleh koran Washington Post pernah disebut sebagai "salah satu pemikir dunia yang paling berpengaruh", memberikan sebuah gambaran yang layak diperhatikan. Di antaranya: selama 20 tahun terakhir, bumi kita telah kehilangan sekitar 200 juta hektare hutan, sementara gurun pasir meluas dengan 120 juta hektare. Ribuan spesies tanaman dan binatang yang dua dasawarsa lalu masih ada di tengah kita kini telah musnah. Jumlah karbon dioksida di atmosfer kita meningkat 0,4% tiap tahun karena pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Di mana-mana, udara dan air makin tercemar. Data ( berdasarkan pemantauan satelit yang dilakukan sejak 1970) menunjukkan bahwa 1990 tercatat sebagai tahun terpanas. Sementara itu, dalam 20 tahun terakhir, dunia tambah disesaki oleh kelahiran 1,6 milyar orang -- jumlah yang lebih banyak daripada penduduk bumi pada 1900. Padahal, kemajuan yang kita capai sebetulnya bukan main. Dengan output total US$ 20 trilyun, ekonomi dunia saat ini dalam 17 hari bisa menghasilkan apa yang pada 1900 harus dicapai selama setahun. Namun, sementara ekonomi dunia meningkat lima kali lipat sejak 1950, saat ini ada 1,2 milyar manusia -- rekor terbanyak selama ini -- yang masih hidup dalam kemiskinan mutlak. Apa yang akan terjadi bila kebijaksanaan, sikap, dan perilaku yang berlaku selama ini diteruskan? Banyak yang percaya, tak banyak yang akan tersisa untuk anak cucu kita. Lester R. Brown menyerukan penghentian perusakan lingkungan bumi. "Semua orang berkepentingan untuk menjaga sistem penunjang hidup bumi karena kita semua punya kepentingan agar bumi tetap dapat ditinggali," tulis Brown dalam State of the World 1991. Sumber daya, dana, dan sarana yang ada di dunia ini memang terbatas, dan diperebutkan oleh semakin banyak manusia. Banyak pakar yang meramalkan bahwa perang di masa depan bukan lagi karena ideologi, tapi karena usaha memperebutkan sumber daya. Dan perang itu hanya bisa dihindarkan dengan suatu tata dunia baru, yang mengarah pada pembentukan suatu masyarakat yang berkelanjutan (sustainable society). Untuk itu, kita semua harus berperang untuk menyelamatkan bumi. Perang itu melibatkan semua orang karena menyangkut perubahan sikap dan tingkah laku. Kita, misalnya, harus membatasi kelahiran. Harus mengurangi pemakaian air tanah bahan bakar fosil, mengurangi tercemarnya bumi, dan seribu satu upaya lain. "Kita," kata David C. Korten, penulis buku Getting to the 21st Century, "hidup dalam sebuah wahana angkasa yang tak punya sekoci penolong. Kita makmur bersama, atau musnah bersama." Mungkin tak semua dari puluhan ribu orang muda kita yang dengan sukarela melibatkan diri dalam LSM punya visi besar seperti itu. Namun, idealisme mereka, kepedulian mereka yang mulia, mestinya tak hanya disyukuri (apalagi dicurigai), tapi juga didukung dan disebarkan. Kita memang hidup dalam kereta yang sama. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus