Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bangkitnya sebuah alternatif

Lsm (lembaga swadaya masyarakat) lahir untuk membantu rakyat yang tak tersentuh pembangunan dan yg dirugikan oleh pembangunan. banyak lsm yang masih tergantung pada dana asing,menyebabkan persaingan.

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa sebagian besar LSM di Indonesia lahir dalam sepuluh tahun terakhir? Karena pelaksanaan pembangunan yang terlalu sentralistis? TAMPAKNYA bukan untuk bersilaturahmi Lebaran bila di bulan Syawal ini sejumlah tokoh LSM (lembaga swadaya masyarakat) Indonesia beramai-ramai berkumpul di Amerika Serikat. Apalagi yang hadir para pentolan seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara (Direktur Lembaga Bantuan Hukum/LBH), Zumrotin (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/YLKI), dan Kartono Mohamad (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI). Ada juga Aswab Mahasin (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES), A. Rahman Gaffar (Sekjen NU yang juga memimpin Yayasan Swagiri Tuban), dan Agus Purnomo (Wahana Lingkungan Hidup/Walhi). Juga hadir sejumlah intelektual seperti Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan Mochtar Mas'oed, dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kehadiran mereka ternyata untuk membahas soal-soal pembangunan di Indonesia dalam sejumlah forum yang berlangsung hampir berurutan. Kamis dan Jumat pekan silam, di Gedung Asia Society yang terletak di Park Avenue, Manhattan, New York, ada konperensi yang disponsori oleh Asia Society. Di sana, dibahas antara lain kasus Tanah Rarahan di Cimacan, dan rencana pembangunan pabrik kertas Scott di Irian Jaya. Esoknya, di basement Hotel Barbizon, New York, giliran Friedrich Niumann Stiftung (FNS) menjadi sponsor pertemuan, yang antara lain membahas masalah advocacy and new development of paradigm dan democratization di Indonesia. Puncak serentetan pertemuan para pakar dan pengamat masalah sosial serta tokoh LSM asal Indonesia itu terjadi Senin lalu di Kimball Center, di markas National Wild Life Federation, Washington, D.C., tatkala berlangsung pembukaan konperensi ke-7 International NGO (Non-Government Organization) Forum on Indonesia (INGI). Konperensi tahunan ini merupakan forum pertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO asal Indonesia dengan sejumlah LSM mancanegara guna membahas berbagai masalah tentang pembangunan di Indonesia yang mendapat bantuan dari IGGI. Delegasi asal Indonesia berjumlah sekitar 40 orang. Sedangkan, puluhan delegasi lainnya ialah para wakil LSM dari 20 negara donor yang selama ini membantu Indonesia lewat IGGI, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Kanada, Belgia, dan Inggris. Inilah forum yang di tahun 1989 silam -- ketika itu diselenggarakan di Nieuwpoort, Belgia -- pernah bikin panas kuping para pejabat tinggi Indonesia karena isinya banyak mengkritik beleid pemerintah RI. Seperti dalam kasus pembangunan Waduk Kedungombo yang tak beres penanganan ganti ruginya, serta pemaksaan terhadap penduduk agar meninggalkan lahan pertaniannya. Kesimpulan konperensi ini kemudian diteruskan secara resmi lewat surat kepada Bank Dunia dan IGGI -- dua instansi yang dianggap ikut bertanggung jawab karena bantuan keuangan atas pembangunan waduk itu. Dalam konperensi ke-7 INGI ini tampil bintang tamu: Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda merangkap Ketua IGGI J.P. Pronk, yang juga sekaligus membuka dengan resmi konperensi itu. Selain Pronk, juga tampak Atila Karaosmanoglu Wakil Presiden Bank Dunia untuk Wilayah Asia. Hadirnya dua tokoh itu tentu mengundang tanya: keputusan apa yang akan diambil kali ini? Adakah peristiwa dua tahun yang silam itu, yang kemudian dikenal dengan "Insiden Brussel", akan terulang? Apalagi tema yang dipilih dalam konperensi kali ini adalah "Demokratisasi dan Pembangunan". Menurut Lori Udall, salah seorang anggota panitia pengarah INGI non-Indonesia, INGI kali ini berupaya mendesak kepada IGGI dan Bank Dunia agar mengaitkan pinjaman pembangunannya dengan upaya demokratisasi. Sebab, kata tokoh dari lembaga Environmental Defense Fund ini, tanpa demokratisasi sangatlah sulit menjamin bahwa bantuan itu akan sampai ke masyarakat luas. Dan, mungkin, malah hanya akan menguntungkan sekelompok warga saja. Apa pun hasil konperensi ke-7 INGI nanti, orang di sini pasti tak sabar menunggu. Soalnya, kehadiran Pronk dan Karaosmanoglu itu menunjukkan betapa pentingnya forum INGI itu kini. Dalam forum inilah kedua pejabat yang mengatur keran dana bantuan untuk Indonesia itu mendapatkan banyak masukan tentang pelaksanaan pembangunan di negeri ini -- yang mungkin agak berbeda dengan versi pemerintah RI. Semua ini menunjukkan, betapa peran LSM di Indonesia kini semakin penting. Ruang gerak LSM di tingkat grass root itu dianggap dekat dan tahu dengan masalah sehari-hari yang dihadapi rakyat kebanyakan. Mereka umumnya tak mengusik anggaran pemerintah, bahkan mampu membuat program pembangunan sendiri yang berskala kecil. Alhasil, birokrasi pemerintah kini tak lagi dominan sebagai operator pembangunan. LSM, kata Menteri KLH Emil Salim, memang lahir untuk membantu rakyat miskin, yang tak tersentuh "tangan" pembangunan dan yang dirugikan oleh pembangunan. "Kan tak semua rakyat bisa mengidentifikasikan persoalannya," kata Emil, yang dikenal dekat dengan orang-orang LSM. Secara definisi, menurut Direktur LBH Abdul Hakim Garuda Nusantara, LSM memang sulit dirumuskan. Namun, secara sederhana, barangkali bisa diartikan sebagai "gerakan" yang tumbuh berdasarkan nilai-nilai kerakyatan. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran dan kemandirian masyarakat, yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ciri LSM pada umumnya kecil, tidak birokratis, dan independen. "Dengan kelebihan ini LSM lebih mampu, lebih cepat dan lebih kongkret dalam memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Mereka lebih kritis," kata Adi Sasono, Ketua SEAFDA (South-East Asia Forum for Development Alternatives), sebuah LSM yang banyak bergerak dalam bidang seminar dan penelitian. Tak heran jika terkadang kehadiran LSM dipandang seperti "ganjalan" bagi sejumlah pejabat pemerintah. Misalnya saja, yang belakangan ini sedang ramai, soal 15 LSM yang melakukan kampanye pemboikotan terhadap produk-produk dari sejumlah pabrik yang diduga telah mencemari Kali Tapak di Semarang. Selain pemilik pabrik yang waswas, tak urung Gubernur Jawa Tengah Ismail dan Wali Kota Semarang Sutrisno Suharto ikut menyesalkan aksi boikot itu. Dalih mereka, ada ribuan buruh yang harus bergantung hidupnya pada pabrik itu. Tapi yang menarik, aksi 15 LSM ini memperoleh dukungan dari Menteri KLH Emil Salim. Gebrakan baru LSM yang lain adalah tuntutan dari 3 LSM, SKEPHI, Walhi, dan SPWS (The Society for Peace and War Studies), yang meminta agar operasi HPH di Aceh dihentikan karena tingkat kerusakan hutan di kawasan itu sudah melewati ambang batas. Beberapa gebrakan itu menunjukkan, sebagai pressure group LSM belakangan semakin menunjukkan gigi. Setidaknya, LSM berhasil "membelokkan" sejumlah beleid pemerintah. Misalnya saja soal penarikan obat mencret immodium berkat imbauan Yayasan Lembaga Konsumen, atau penyelesaian Kedungombo. Berbagai kegiatan LSM, terutama dalam kasus tanah, yang secara terbuka ikut "menggerakkan" masyarakat mengadu ke Jakarta, sampai-sampai menimbulkan kesan bahwa LSM bersikap sebagai oposan terhadap pemerintah. Malah Wakil Ketua DPR Saiful Sulun pernah mengingatkan agar mahasiswa (yang tergabung dalam sebuah LSM dan mengantar warga Kedungombo mengadu ke DPR bulan silam) jangan bertindak sebagai "agitator". Munculnya LSM memang merupakan fenomena menarik dalam dua dekade belakangan ini. Jumlahnya yang kini tercatat di kantor Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri mencapai hampir 4.000. Anggotanya mungkin bisa mencapai puluhan ribu. Namun, tidak jelas apakah semua LSM yang terdaftar itu masih aktif atau tidak. Penelitian yang dilakukan Fachry Ali pada 1988 menyebutkan, sekitar 57% LSM lahir dalam sepuluh tahun belakangan ini. Sedang sekitar 29,2% berdiri dalam 11 sampai 20 tahun terakhir. Ada yang melihat boom LSM ini sebagai reaksi logis dan positif atas pelaksanaan pembangunan yang dirasakan terlalu sentralistis dan nonpartisipatif. Karena itu, LSM dinilai klop sebagai alternatif. Apalagi keterlibatan sebagian besar anak muda sebagai aktivis dalam organisasi itu bisa dijadikan oase dalam kegersangan lapangan kerja di negeri ini. "Kehadiran LSM sangat strategis. Dalam soal hak-hak asasi manusia, siapa yang berani memperjuangkan kalau bukan LSM," kata Abdurrahman Wahid, Ketua PB NU, yang juga belakangan ini dikenal sebagai tokoh pemrakarsa Forum Demokrasi. Ribuan LSM yang menjamur itu ada yang menjulang, ada yang hanya merambat. Boleh dikatakan hanya ada 13 LSM yang masuk dalam kategori kakap. Di antaranya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Yayasan Bina Desa, Lembaga Studi Pembangunan (LSP), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka inilah yang oleh kalangan LSM gurem disebut sebagai Bingo (Big NGOs atau LSM besar) karena relatif punya akses lebih baik dalam soal informasi dan jaringan dengan organisasi lainnya termasuk organisasi pemerintah maupun organisasi asing. Ambil contoh Walhi yang punya anggaran sampai Rp 1 milyar per tahun. Atau LBH yang khusus untuk biaya overheadnya saja menghabiskan dana sekitar Rp 700 juta per tahun. Setingkat lebih rendah adalah LSM seperti SKEPHI (Jaringan Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia) yang anggaran setahunnya kurang dari Rp 200 juta, dan dikategorikan Mingo (Middle NGOs) alias LSM kelas menengah. Sedangkan LSM yang anggarannya setahun kurang dari sepuluh juta boleh dianggap sebagai Lingo (Little NGOs) atau LSM teri -- dalam hal keuangan. "Persaingan" antar-LSM ternyata ada dan cukup sengit. Sampai-sampai pernah muncul "surat terbuka" dari sejumlah LSM kecil (yang menyebut diri sebagai LSM pinggiran) yang mengecam Bingo karena bersikap tak demokratis dan selalu mengatasnamakan LSM-LSM kecil untuk menangguk dana luar negeri. Ada juga organisasi yang oleh kalangan LSM dijuluki "LSM pelat merah" atau Gongo (Government NGOs). Misalnya NGO/UN Cooperation Forum, sebuah wahana yang terdiri dari unsur LSM, pemerintah, dan United Nations Development Programme (UNDP). Pimpinannya, Ny. Soepardjo Rustam, dan sebagian besar dananya berasal dari kocek UNDP dan fasilitas pemerintah. Sikap sinis terhadap "LSM pelat merah" itu disayangkan Ny. Soepardjo. Selama ini, katanya, belum pernah dilakukan suatu diskusi terbuka antara LSM dan pemerintah, tanpa rasa curiga. Untuk itulah organisasi ini menyediakan diri sebagai forum yang bisa menjalin pemahaman pemerintah atas LSM, atau sebaliknya. Masalah yang dianggap paling mengganjal bagi LSM adalah sumber dana, yang sebagian besar datang dari lembaga asing. Sebut saja, misalnya, USAID dari Amerika Serikat yang pada tahun anggaran 1991/1992 menawarkan US$ 3 juta untuk berbagai kegiatan LSM di Indonesia. Banyak yang melihat ketergantungan LSM pada dana asing ini sebagai kelemahan. "Kalau ekonominya tergantung, bagaimana LSM bisa mandiri secara politis," ujar Adi Sasono. Ini, kata bekas pendiri Lembaga Studi Pembangunan itu, sama dengan memelihara superioritas kultural bangsa asing. Jadi, "Bagaimana bisa mengkritik ketergantungan pemerintah pada bantuan modal asing untuk membangun, kalau LSM sendiri tak mandiri." Adi mengaku, ketika masih memimpin LSP, pada awalnya ia banyak menerima sumbangan pihak asing. "Ketika saya tinggalkan LSP dua tahun yang lalu, porsi dana bantuan luar negeri tinggal 30%. Mungkin, sekarang sudah semakin berkurang," katanya. Dana yang disediakan donor asing itu sebagian besar jatuh pada 13 LSM yang dianggap kelas kakap tadi. Sedangkan ribuan LSM teri lainnya hanya berharap dapat kecipratan proyek dari LSM kakap, sebagai "subkontraktor". Untuk mengatasi kesulitan itu ada LSM yang kemudian mengusahakan proyek sendiri yang menghasilkan uang. Seperti kegiatan penerbitan buku atau mendirikan industri kecil yang menguntungkan secara ekonomis. Namun, ini pun tak lepas dari kritik, yang akhirnya menggiring LSM itu sendiri menjadi "komersial". Bagaimanapun, memang naif kalau mengira bantuan asing itu diberikan tanpa pamrih. "Para donor itu kan juga memiliki kerangka kebijaksanaan untuk alokasi dana yang mereka berikan," kata Adi Sasono. Makanya, ia pun mengingatkan LSM Indonesia perlu berhati-hati mengeluarkan pernyataan dalam forum internasional seperti di konperensi INGI itu. Maka, bisa dimengerti kalau timbul kecurigaan terhadap sejumlah LSM Indonesia yang menjadi "kaki tangan" organisasi donor. Malah ada yang berani mengkritik LSM seperti itu tak ubahnya seperti penjual "kemiskinan" dan mengklaim "atas nama rakyat". Malah, kata A. Rahman Tolleng, LSM yang menentang pendekatan top down yang selama ini dilakukan pemerintah justru melakukan hal yang sama. "Lihat saja cara kerjanya, mereka tak melibatkan target group. Mereka membuat proposal sendiri, meminta persetujuan penyandang dana, lalu membawa proyek itu diterapkan pada masyarakat," ujar Rahman. Setelah proyek usai, LSM tadi hanya mempertanggungjawabkan hasilnya kepada donor. Tak pernah mereka mempertanggungjawabkan proyek tadi kepada masyarakat. Akhirnya, tak dapat dimungkiri kalau kini, "Kebanyakan LSM terjebak menjadi kantor, dan bukan sebagai movement," kata Rahman. Barangkali, inilah yang disebut oleh Emil Salim sebagai "LSM hura-hura". Di kalangan pejabat pun kecurigaan terhadap LSM masih saja menggumpal. Menko Polkam Sudomo, pekan lalu di Jakarta, menjelang konperensi INGI, lagi-lagi mengingatkan bahwa LSM "Jangan jadi perpanjangan tangan subversi". Isyarat ini jelas menunjukkan bahwa ia mensinyalir masih ada LSM yang tak profesional, semrawut kegiatannya, dan tipis kadar nasionalismenya. Betulkah ada LSM yang kadar nasionalisme tipis? Penelitian tentang itu memang tak ada, tetapi Zulkarnaen, Direktur Eksekutif Walhi, menjamin bahwa sebagian besar LSM Indonesia yang sudah berkiprah di dunia internasional masih punya semangat nasionalisme yang tebal. Ia mengungkapkan contoh: sejak dua tahun yang silam, LSM Indonesia diminta membahas masalah tahanan politik dan Timor Timur dalam forum INGI. Namun, ajakan para LSM asing itu ditolak mentah-mentah karena masalah tapol dan Tim-Tim dianggap soal politis yang tak berhubungan langsung dengan proses pembangunan yang ada. Sebenarnya, munculnya LSM tak perlu terlalu dikhawatirkan. Di mana-mana ekses selalu ada. Apalagi itu bukan sesuatu yang baru dalam masyarakat kita. Menurut Emil Salim, masyarakat kita sudah mengenalnya lewat subak di Bali, atau ili-ili di Jawa, atau kewang di Maluku. "Inilah LSM tradisional," katanya. Bahkan, kata Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam arti luas organisasi seperti NU atau Muhammadiyah pun bisa disebut sebagai LSM. Emil atau Abdul Hakim terheran-heran kalau ada orang memusuhi LSM. "Saya tak mengerti jika ada yang memandang LSM sebagai oposan. Self reliance community itu sudah menjadi bagian dari karakter bangsa," kata Emil. Ahmed Soeriawidjaja, Bambang Sujatmoko, Nunik Iswardhani (Jakarta) dan Bambang Harymurti (Washington D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus