Nelayan yang kebanyakan buta huruf itu ditahan di Penang. Mereka mencari "negara ketiga" untuk tempat berlindung? KUALA Leuge memang gersang. Penduduknya mendiami rumah panggung kumuh beratap rumbia. Mereka terpaksa hemat air minum, karena satu jeriken harganya Rp 200. Desa yang sedikit hutan bakau di pesisir pantai Kecamatan Peureula, Kabupaten Aceh Timur, ini tanpa sawah, kecuali ditumbuhi beberapa pohon kelapa dan tambak udang yang tidak produktif. Kaum lelakinya kebanyakan nelayan. Biasanya mereka naik perahu memancing ikan agak lepas ke Selat Melaka. Hasil yang diperoleh tak seberapa. "Bahkan bila tidak musim paceklik pun pendapatan nelayan hanya Rp 2.000 sehari," kata Kari, Kepala Desa Kuala Leuge, kepada Affan Bey dan Munawar Chalil dari TEMPO. Kemudian, nelayan yang rata-rata buta huruf itu hengkang ke Pulau Pinang, Malaysia, sampai jadi berita internasional karena menyebut dirinya "pengungsi". Mereka berangkat dalam tiga gelombang: 15 Maret, 4 dan 7 April lalu. "Sebenarnya, ada yang merayu mereka supaya mencari kerja di seberang, karena katanya gampang dan gajinya besar," ujar Kari. Ia mencoba menghadang penduduk agar tak menelan bujukan itu. "Saya bilang pada mereka, bila menyeberang dengan cara melawan hukum, pasti sulit dapat kerja di sana," katanya. Diam-diam, mereka menyeberang juga dengan perahu motor. Kari tidak tahu si perayu itu. Tapi menurut sumber TEMPO, mereka bukan dirayu, sebaliknya dihasut Ridwan dan kawan-kawan yang ikut Gerakan Aceh Merdeka. Sampai Senin pekan ini sekitar 112 orang yang hendak mencari perlindungan melalui UNHCR (komisi tinggi PBB urusan pengungsi) itu ditahan di Pusat Karantina Imigrasi Penang. Sten Bronee, Kepala Kantor UNHCR di Kuala Lumpur, minta kepada pemerintah Malaysia agar memperlakukan orang-orang Aceh itu secara manusiawi dan menyediakan kebutuhan hariannya. "Ternyata mereka memang diperlakukan baik-baik," katanya pada Ekram H. Attamimi dari TEMPO. Menurut Bronee, Malaysia tak akah mendeportasikan mereka tanpa lebih dulu berbicara dengan UNHCR. Apalagi kabarnya penyeberang itu meminta kepada UNHCR supaya mencari "negara ketiga" untuk tempat mengungsi. "Meskipun tak semudah itu, karena banyak pengungsi lain di dunia yang juga sedang mencari tempat perlindungan yang sama," tambahnya. Ternyata, Wakil Menlu Malaysia, Dr. Abdullah Fadzil Che Wan, menyebut mereka bukan pengungsi, namun sebagai pendatang tanpa izin. Kini mereka hanya menunggu waktu untuk dideportasi. Ini dibenarkan oleh Sutedja, Direktur Penerangan Luar Negeri Deplu Indonesia. Sikap negara tetangga itu jelas setelah berunding dengan Menlu Ali Alatas, yang sejak awal menyebut penyeberang itu sebagai "pendatang haram". Kasus ini bukan baru. "Dulu pun mereka sering menyeberang ke Penang," katanya. Bupati Aceh Timur, M. Noeh A.R., juga mengakui sudah lama penduduknya suka merantau ke Malaysia. Selain adanya hubungan historis, mereka tergoda mendengar adanya upah kerja yang besar di sana. Sementara itu, kalau nanti dipulangkan, menurut Mayor Jenderal H.R. Pramono, mereka diperlakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Sebagai pelintas batas tanpa izin, ulah mereka ini menjadi urusan polisi. "Jadi keliru besar kalau mereka disebut sebagai pengungsi politik," kata Pangdam I/Bukit Barisan itu. Dan baginya yang penting terciptanya rasa aman di masyarakat. Makanya, pada 11 April lalu ia memasyarakatkan 83 orang yang terlibat, yang oleh aparat disebut GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan) di Langsa, Aceh Timur. Ini bukanlah gara-gara kasus "penyeberang haram", karena acara serupa, 28 September tahun lalu, sudah dilakukan terhadap 140 orang di Lhokseumawe. Mereka dilepas, menurut Pramono, karena kadar keterlibatannya kecil. Ada yang diancam, hingga ia terpaksa ikut GPK. Ada yang hanya memberi nasi kepada GPK. Dan lebih dari itu, ada yang menyesal ikut Gerakan Aceh Merdeka, kemudian mereka menyatakan ikrar "setia kepada RI dan Pancasila". Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini