Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalah Suara di Jagat Maya

Pembelaan untuk Luhut Pandjaitan dan Erick Thohir bermunculan di media sosial beberapa hari setelah majalah Tempo menulis bahwa mereka terafiliasi dengan perusahaan penyedia tes PCR Covid-19. Pembelaan tersebut tenggelam oleh suara netizen yang mengkritik Luhut dan Erick.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tenaga medis melakukan tes usap PCR di Surakarta, Jawa Tengah, 12 Agustus 2021. TEMPO/Bram Selo Agung Mardika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Luhut Pandjaitan dan Erick Thohir di majalah Tempo ditulis terafiliasi dengan perusahaan penyedia tes PCR Covid-19.

  • Pembelaan untuk Luhut dan Erick bermunculan di media sosial beberapa hari berikutnya.

  • Pembelaan tersebut langsung tenggelam oleh gelombang kritik netizen kepada Luhut dan Erick.

JAKARTA – Sejumlah akun di jagat maya berupaya membela Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir, yang terbelit isu bisnis tes PCR Covid-19. Para netizen itu membuat narasi yang mempertanyakan kesalahan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi serta Menteri Badan Usaha Milik Negara tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Analis Media Sosial Drone Emprit, Abdi Halim Munggaran, menyampaikan sejumlah narasi yang memojokkan media Tempo muncul di Twitter. Majalah Tempo merupakan media pertama yang mengungkap afiliasi Luhut dan Erick dalam bisnis tes PCR. "Narasinya cenderung menyerang Tempo," kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abdi mengatakan akun penyebar narasi-narasi yang mendiskreditkan Tempo itu bukan akun bot. Namun ia tak bisa memastikan keaslian akun-akun itu. "Identitasnya belum tahu," ujar dia.

Meski ada narasi yang menyerang Tempo, Abdi melanjutkan, jumlahnya kalah jauh dibanding netizen yang mengkritik Luhut dan Erick. Narasi lain, yang membela Luhut dan Erick dengan menyebutkan bahwa pemberitaan itu tendensius, cenderung tenggelam oleh gelombang kritik tersebut. Menurut Abdi, narasi yang membela Luhut dan Erick pun tak sistematis dan masif. "Hanya satu-dua dari sekian twit," kata Abdi.

Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, 27 September 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Para pembela Luhut dan Erick bermunculan di media sosial untuk menepis kritik keterlibatan kedua menteri itu dalam bisnis PCR. Majalah Tempo edisi 30 Oktober 2021 menulis bahwa Luhut dan Erick terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia yang menjalankan bisnis PCR. Sebanyak 242 lembar saham Genomik, atau setara dengan Rp 242 juta, dipegang oleh dua perusahaan yang terafiliasi dengan Luhut, yaitu PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi.

Pemilik lainnya adalah Yayasan Adaro Bangun Energi, yang tercatat memiliki 485 lembar saham. Yayasan ini merupakan organisasi nirlaba di bawah PT Adaro Energy Tbk. Sebanyak 6,18 persen saham Adaro dimiliki oleh Garibaldi Thohir—kakak Menteri BUMN Erick Thohir—yang duduk sebagai presiden direktur. 

Afiliasi Luhut dan Erick dalam perusahaan yang menjalankan bisnis PCR menuai polemik. Sejumlah kalangan menilai ada ancaman konflik kepentingan pada Luhut, koordinator pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali; serta Erick, Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).

Beberapa waktu lalu, misalnya, pemerintah mewajibkan tes PCR diberlakukan untuk semua pelaku perjalanan udara. Pemerintah bahkan juga sempat menerapkan kewajiban tes PCR bagi pelaku perjalanan darat sejauh 250 kilometer.

Melalui WhatsApp, Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, menyebar pesan berisi pembelaan terhadap Erick kepada banyak wartawan pada 2 November lalu. Dalam pesan itu, Arya mengatakan pemberitaan Tempo sangat tendensius. Alasannya, jumlah tes PCR yang dilakukan PT GSI hanya 2,5 persen dari seluruh tes PCR di Indonesia. Arya juga menyebutkan Erick tak lagi aktif di Yayasan Adaro sejak menjabat Menteri BUMN, dua tahun lalu.

Berselang beberapa hari, Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, melakukan hal yang sama. Ia menyatakan kehadiran Luhut di GSI lantaran ajakan koleganya yang memiliki saham. Dalam perjalanannya, Luhut tak memiliki kontrol atas PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi karena kepemilikan sahamnya di dua perusahaan tersebut tersisa kurang dari 10 persen. "Tapi memang kondisi pada saat GSI didirikan itu membutuhkan keputusan yang cepat perihal peningkatan kapasitas tes PCR ini," kata Seto.

Erick Thohir di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, 16 Juli 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Dari penelusuran Tempo di Twitter, sejumlah akun mempertanyakan motif Tempo memilih nama Luhut dan Erick yang menjadi bahan pemberitaan. Padahal ada nama-nama lain yang ikut bermain bisnis tes PCR dengan jumlah yang lebih besar. Contohnya Erwin Aksa, keponakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Giliran ada berita seputar majikannya, Tempo langsung mingkem. Erwin Aksa, yang keponakan JK, memiliki 33 lab untuk test PCR, tetapi yang dibidik dan jadi pemberitaan Tempo ini justru nama LBP dan Erick Thohir. Kira-kira apa motifnya melakukan hal tersebut?" demikian ditulis pemilik akun @Rizmaya_. Narasi yang sama dicuitkan pemilik akun @ruhulmaani.

Akun-akun itu juga memberikan pembelaan kepada Luhut, di antaranya dengan menyebutkan bahwa Luhut adalah orang baik, dermawan, dan memiliki jiwa sosial tinggi. Mengenai bisnis PCR yang terafiliasi dengan Luhut, para pembelanya menyebutkan ia berkontribusi lewat pemberian tes swab gratis kepada masyarakat tidak mampu dan tenaga kesehatan. "Mulia sekali Bapak Menteri kita ini membantu meringankan beban APBN dalam masa pandemi," ujar akun @rikiramses.

Meski demikian, jumlah akun yang mengunggah cuitan bernada negatif atas afiliasi Luhut dan Erick jauh lebih banyak. Netizen juga menyatakan ketidakpercayaan atas omongan Luhut yang mengaku tak ambil untung dari bisnis PCR di GSI. "Baru kali ini dalam sejarah ada pedagang yang gak ambil keuntungan sedikit pun dari dagangannya! Benar-benar revolusi mental!," kata akun @AngrySipelebegu.

Direktur Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan kemunculan para pembela di tengah gelombang kritik kepada pemerintah menjadi fenomena reguler. "Makanya, ada fenomena buzzer bayaran. Afiliasinya enggak jelas, tidak ada patokan main politik, yang main hanya uang," kata dia.

Pratama menyatakan serangan balik para pembela pejabat atau tokoh yang dikritik biasanya terorganisasi. Selain menggunakan akun asli, mereka lebih banyak menggunakan akun robot yang bisa dikontrol. "Sehingga memang monitoring dan tracking-nya agak susah. Apalagi kalau yang mengendalikan agak pinter dan mengerti cara kerja Internet," ujar dia.

Menurut Pratama, target para akun penepis kritik itu biasanya hanya memberi bantahan dan membuat gaduh. Tujuannya, membuat publik bingung soal pendapat mana yang benar. "Tambahannya, mereka melakukan doxing terhadap pembuat konten," katanya.

Pernyataan tersebut selaras hasil riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES). Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, pernah meriset fenomena pembelaan atas kritik kepada pemerintah. Dari enam kasus yang ia teliti, terlihat adanya upaya pembungkaman terhadap kritik, seperti yang terlihat pada kasus pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemilihan presiden, kebijakan new normal, omnibus law, pemilihan kepala daerah, serta kongres luar biasa Partai Demokrat.

"Yang dilakukan adalah membungkam kritik. Tidak mendengarkan, tapi justru membungkam," kata Wijayanto. Satu pola yang dilakukan para pembendung kritik itu, dia melanjutkan, adalah membuat suara yang lebih besar. Ibaratnya, ada orang yang berteriak lalu dibalas dengan megafon sehingga teriakan orang tersebut tak terdengar.

Di media sosial, pembungkaman terjadi dengan menggerakkan orang-orang secara masif untuk menggiring opini publik, termasuk soal isu tes PCR. Pergerakan itu, kata Wijayanto, juga sangat intens. Dalam sehari, bisa ada ratusan ribu percakapan yang mendukung kebijakan pemerintah. "Itu cara lain untuk membatasi kebebasan berpendapat," ujar dia. "Suara kritis jadi tidak terdengar."

MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus