MAHASISWA Akademi Pariwisata Trisakti bisa patah semangat.
Scseorang yang naik ke tingkat II tahun ini, harus membayar
uang kuliah Rp 565 ribu dan uang praktek Rp 200 ribu. Orang
tuanya, meski karyawan perusahaan swasta dengan gaji sekitar Rp
200 ribu, pasti angkat tangan. Keringanan dari pihak akademi tak
mungkin bisa diperoleh.
Betapa mahal uang kuliah (dan lain-lain) di perguruan tinggi
swasta (PTS) memang bukan rahasia lagi. Tapi itulah salah satu
dari tiga masalah pokok yang dihadapi PTS. Seperti disebut-sebut
pula dalam pelantikan Badan Kerja Sama Yayasan PTS dan Badan
Kerja Sama PTS bulan lalu, ketiganya ialah soal kelembagaan,
soal akademik, dan soal dana atau pembiayaan PTS.
Kalau pihak Yayasannya tidak tangkas mencari dana, semua
pengeluaran PTS itu harus ditanggung mahasiswa. Di Universitas
Trisakti (Jakarta) misalnya, mahasiswa baru Fak. Teknik harus
membayar uang kuliah tahun pertama Rp 540 ribu -- sedikit di
bawah Akademi Pariwisatanya tersebut. Repotnya mahasiswa baru
itu masih harus menyumbang dana yang besarnya bisa dirundingkan,
"tapi umumnya tidak kurang dari Rp 3 juta," kata sumber TEMPO.
Bahkan calon mahasiswa yang nilainya kurang, konon harus
membayar Rp 7,5 juta.
Menurut Endang Suradi, Kepala Urusan Intern Kampus universitas
tersebut, uang setinggi itu guna mempertahankan mutu akademis,
terutama untuk "membayar dosen secukupnya agar ia tidak lari."
Endang menyebut Rp 500 ribu gaji tetap dosen Trisakti.
Pun di daerah, PTS-nya membuat calon mahasiswa mundur teratur.
Universitas Islam Sultan Agung (Semarang), misalnya, menarik
uang kuliah (Fak. Kedokteran) tahun pertama Rp 300 ribu. Uang
kuliah di (Fak. Teknik) Universitas Tujuh Belas Agustus di kota
yang sama bisa mencapai Rp 200 ribu. Uang dana pembangunan PTS
(sumbangan wajib) ternyata di Semarang pun melangit, sekitar Rp
300 ribu.
Tapi uniknya, di universitas Islam tadi mahasiswa Fak. Syariah
bebas uang kuliah dan lain-lainnya. "Biasanya mahasiswanya
datang dari pelosok dan jumlahnya tidak banyak," tutur Prof.
Hapsoro, rektornya.
Dan di Medan, Universitas Islam Sumatera Utara menarik Rp 275
ribu uang kuliah untuk Fak. Kedokterannya. Meskipun uang kuliah
bisa diangsur delapan kali, sumbangan wajib yang Rp 250 ribu
harus dibayar kontan. "Uang kuliah sebesar itu untuk biaya
operasional fakultas," tutur dr. Nurmadi Saleh, Sekretaris
Fakultas. Biaya operasional itu, antara lain untuk honorarium
dosen, keperluan dministrasi, praktikum, dan beberapa hal lagi.
Sementara dana pembangunan untuk membeli peralatan praktek,
atau menambah ruang kuliah.
Universitas Darma Agung di Medan pula, kata Drs. Sofyan Arifin,
rektornya, "terpaksa mendatangkan beberapa dosen terbang dari
Jakarta. " Mereka yang hanya mengajar sekali sebulan itu menelan
biaya paling sedikit Rp 2 juta per bulan. Maka Fak. Teknik dan
Ekonomi di sana -- yang termahal biayanya -- menetapkan uang
kuliah lebih dari Rp 200 ribu per tahun.
Karena dana selalu menjadi persoalan PTS, kata D. Khumarga,
Rektor Universitas Tarumanegara (Jakarta), "terkadang cara
berhitungnya seperti dagang." Uang kuliah di PTS-nya ditetapkan
Rp 325 ribu per tahun, dan mahasiswa baru Fak. Teknik, dan Fak.
Kedokteran menyumbang minimal Rp 1 juta. Toh Fak. Kedokteran
di situ masih mengalami defisit jutaan rupiah.
Tapi cukup banyak mahasiswa yang ikhlas membayar mahal. Berkata
Rektor Universitas Parahyangan (Bandung) G. J. Geisie: "Semua
biaya itu akhirnya kembali kepada mahasiswa itu sendiri." Tony
Sumarjo, mahasiswa Fak. Teknik Unpar tingkat akhir, mengaku,
di luar ongkos praktikum, ia membayar uang kuliah minimal Rp
300 ribu per tahun.
Seorang mahasiswa Fak. Kedokteran Gigi Universitas Prof. Dr.
Moestopo, Jakarta, mengatakan ia harus membayar Rp 670 ribu
sewaktu masuk (1976), dan kemudian untuk tingkat selanjutnya ia
membayar rata-rata Rp 300 ribu per tahun. "Tapi saya bangga
dengan mutu pendidikan di sini," katanya. Pembayaran di situ
tahun ini konon jauh lebih tinggi.
Bila PTS bisa mencari dana, uang dari mahasiswa memang bisa
ditekan. Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, misalnya.
Tahun ini tiap mahasiswa baru di tujuh fakultas UII hanya harus
mengeluarkan uang Rp 370 ribu -- perinciannya: Rp 140 ribu uang
kuliah, Rp 135 ribu dana pembangunan, Rp 20 ribu dana kampus, Rp
75 ribu sumbangan sukarela. Praktis biaya ini hanya sekitar
separuh daripada yang harus dikeluarkan mahasiswa baru
Universitas Sultan Agung, Semarang, misalnya.
"Tapi itu karena UII mendapat dana dari berbagai pihak," ujar
Dahlan Thaib, Pembantu Rektor III. Yayasannya mempunyai usaha
percetakan dan Pusat Komputer yang mendatangkan keuntungan pula.
"Kami mempunyai prinsip membantu mahasiswa," kata GBPH
Prabuningrat, rektornya.
Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, meski ada usaha
yayasannya tetap tak bisa menekan uang kuliah. Di PTS ini uang
kuliah berkisar Rp 200 ribu, dan sumbangan wajib Rp 200 sampai
Rp 600 ribu. Dan menurut Ir. Hariwardjono, rektornya, "kami
masih defisit tahun ini Rp 3 juta. Dulu pernah defisit Rp 8
juta." Pihak yayasannya mencari uang dengan investasi di
berbagai perusahaan.
Apa boleh buat, pendidikan memang mahal. Perguruan tinggi negeri
pun memerlukan biaya tinggi. "Mahasiswa (PTN) hanya membayar
sekitar 10% dari biaya kuliah seluruhnya," kata Prof. Dr. Doddy
Tisna Amijaya, Dirjen Pendidikan Tinggi. Sisa 90% ditanggung
pemerintah, tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini