Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mahasiswa Gugat UU TNI ke MK, Zulhas: Semua Boleh

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan alias Zulhas mengatakan, UU TNI sebetulnya untuk kebaikan. Namun, dia mempersilakan UU TNI digugat.

24 Maret 2025 | 22.44 WIB

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan setelah acara bagi-bagi sembako bersama fraksi PAN DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, 15 Maret 2025. Tempo/Novali Panji
Perbesar
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan setelah acara bagi-bagi sembako bersama fraksi PAN DPR di Gedung DPR RI, Jakarta, 15 Maret 2025. Tempo/Novali Panji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Amanat Nasional atau PAN Zulkifli Hasan merespons langkah sejumlah mahasiswa yang menggugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut pria yang karib disapa Zulhas itu, UU TNI sebetulnya untuk kebaikan. Namun, dia mempersilakan UU TNI digugat. "Kalau ada yang gugat ya memang kita negara demokrasi. Haknya. Silakan saja," kata Zulhas di Kompleks Istana Kepresiden, Jakarta Pusat, Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga mempersilakan masyarakat yang tidak sepakat UU TNI menempuh judicial review di Mahkamah Konstitusi. Menurut Supratman, hal itu merupakan hak masyarakat.

"(Judicial review bagaimana?) semua boleh. Karena struktur ketatanegaraan baku," kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Januari 2025

Sebelumnya, tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan gugatan uji formil terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI atau UU TNI ke Mahkamah Konstitusi. Kuasa hukum pemohon Abu Rizal Biladina mengatakan gugatan uji formil UU TNI dilayangkan lantaran proses pembentukannya yang dinilai inskonstitusional.

"Proses pembentukannya sangat janggal dan tergesa-gesa," kata Abu Rizal di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 21 Maret 2025.

Kejanggalan itu, kata Abu Rizal, dapat dilihat pada bagaimana DPR mengabaikan tata cara pembentukan dan penyusunan aturan perundang-undangan.

Menurut dia, dalam proses pembentukan aturan perundang-undangan telah diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan atau P3 untuk mematuhi asas-asas yang berlaku. Asas tersebut adalah keterbukaan yang dalam hal ini tidak dilaksanakan oleh DPR dalam pembahasan RUU TNI. "DPR tidak memberikan atau mempublikasikan naskah akademis sebelum RUU ini disahkan, sehingga jelas ini adalah bentuk pelanggaran," kata Abu Rizal.

Adapun gugatan ini teregistrasi di situs resmi Mahkamah dengan Nomor Perkara 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.

Di tengah gelombang penolakan, rapat paripurna DPR ke-15 masa persidangan II Tahun 2024-2025 mengesahkan RUU TNI menjadi undang-undang.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pembahasan revisi UU TNI hanya berfokus pada tiga substansi, yaitu mengenai ketentuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) di Pasal 7; penempatan prajurit aktif di jabatan sipil pada Pasal 47; serta batas usia pensiun di Pasal 53.

Pada Pasal 7, kata Puan, terdapat penambahan tugas pokok dari semula 14 menjadi 16. Dua tambahan tugas itu meliputi perbantuan penanggulangan ancaman siber dan penyelamatan warga negara, serta kepentingan nasional di luar negeri. Sedangkan Pasal 47 juga dilakukan penambahan pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI aktif, dalam UU TNI lama, prajurit aktif hanya diperbolehkan menempati jabatan sipil di 10 kementerian atau lembaga.

Namun, dalam revisi UU TNI, DPR menyetujui usul pemerintah untuk menambahkan 4 pos jabatan baru. "Berdasarkan permintaan dan kebutuhan pimpinan kementerian dan lembaga," kata Puan dalam rapat paripurna.

Kemudian, Pasal 53 yang mengatur batas usia pensiun prajurit dari semula untuk golongan tantama dan bintara maksimal 53 tahun, serta perwira maksimal 58 tahun, diubah menjadi maksimal 55 tahun untuk tantama dan bintara, dan 62 tahun untuk perwira tinggi bintang 3. "Kami bersama pemerintah menegaskan perubahan UU TNI tetap berlandaskan nilai demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, dan ketentuan hukum nasional," ujar politikus PDIP itu.

Pembahasan revisi UU TNI telah menjadi kontroversi sejak era Presiden Joko Widodo. Ditambah, sejak dilanjutkan oleh DPR periode 2024-2029, sejumlah pasal dalam revisi UU TNI terus dihujani penolakan dari kalangan koalisi masyarakat sipil. Perubahan pasal dalam undang-undang tersebut dinilai dapat mengembalikan dwifungsi militer yang mengganggu demokrasi.

Andi Adam Fathurrahman berkonstribusi dalam tulisan ini 

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus