GUBERNUR Hein Victor Worang (57), segera menyalami Laksamana
Sudomo dan Menpan Sumarlin, yang baru saja mendarat di lapangan
terbang Sam Ratulangi, Mapanget, Kamis minggu lalu. Dengan
sigapnya, gubernur yang belakangan ini sangat populer karena
tuduhan pungli cengkeh menggiring tim Opstib Pusat yang lebih
dari 30 orang itu ke ruang tamu penting -- salah satu hasil
'sumbangan' pedagang cengkeh di sana juga Belasan wartawan
Manado segera mengepung Sudomo. Yang dikepung, mendahului
ngomong: "Kami datang bukan untuk mencari-cari kesalahan. Tapi
untuk mendudukkan persoalan pada proporsi sebenarnya "
Kunjungan Sudomo dan Sumarlin ini bagaikan gong. Sebelumnya
sudah didatangkan seorang perwira Opstib sebagai pendahulu. Juga
adaorang-orang Minahasa yang dikirim ke sana secara diam-diam,
untuk mencari informasi bagi Sudomo. Kunjungan rombongan Opstib
terbesar ini - di dalamnya ada tiga Irjen dan dua Dirjen - sudah
tertunda dua kali.
Mula-mula diberitakan Opstibpus mau datang 5 Oktober, lalu 8
Oktober. Tapi jadinya baru 13 Oktober. Makanya seperti
dikemukakan tajuk Kompas Sehin lalu, unsur pendadakan hampir tak
terjadi. Komentar agak sinis Gustaf Mokalu, ketua Angkatan Muda
Sulawesi Utara (Amsut) di Jakarta pada TEMPO: "Skenario sudah
disiapkan. Peran sudah dibagi. Termasuk tugas DPRD Minahasa
mensahkan sumbangan pedagang cengkeh yang Rp 200/kg."
Kendati demikian, kunjungan hari pertarma di desa Rumoong Atas,
Kecamatan Tareran, sempat membuat bupati J.F. Lumentut kecele
menunggu rombongan di tempat lain. Anggota Dirsus Pemda Sulut
yang menunggu di empat lain, jadi kalang kabut karena Sudomo
tak disangka singgah di Tareran. Sayangnya, dialog antara petani
dan Sudomo di kantor Hukum tua (lurah) yang sempit, malam hari,
berlangsung agak tersendat-sendat. Tapi untunglah masih ada
petani yang buka suara di depan gubernur yang cukup besar
sawabnya bagi orang sana.
Seorang petani yang punya 500 pohon cengkeh, mengaku jadi korban
ijon karena pungli di BRI. Akibatnya, karena sudah diijon satu
dua tahun sebelum panen, cengkehnya hanya berharga Rp 1.250 per
kilo. Padahal menurut peraturan, harga terendah seharusnya Rp
3.500 sekilo.
Kumaat HS, pensiunan Letnan, termasuk paling berani dalam
kesempatan itu membuat Gubernur Worang agak naik pitam. Kata
petani itu, waktu menjual cengkehnya kepada BUUD sekitar bulan
Juli - Agustus lalu, cengkehnya yang dihargai Rp 3.700 sekilo
telah dipotong Rp 100 oleh petugas pembelian BUUD. Katanya, Rp
50 untuk kas BUUD dan Rp 50 untuk desa. Ucap Kumaat: "petugas
bilang potongan 100 rupiah itu camat yang suruh." Mambu,
Sekretaris BUUD Tareran ketika dikonfrontir dengan bekas
tentara menolak tuduhan itu. Sambil memandang Worang, kata
Mambu: "BUUD hanya memungut Rp 100 dari pedagang, bukan dari
petani. Itu sebagai marge (laba) BUUD, sesuai dengan petunjuk
bapak gubernur."
Worang kontan membela bawahannya. "Apa ngana (anda) baca surat
camat yang berisi pungutan itu?" Kumaat menggeleng: "Saya memang
tidak baca surat aslinya, tapi Hukum tua menuliskan perintah itu
di papan pengumuman." Namun pungutan itu tak berlangsung lama.
Ketika Kumaat menjual cengkehnya sehara Rp 4.000/kg Oktober
ini, pungutan tadi sudah hilang. Katanya: "Itu karena rakyat
terus memberi reaksi, termasuk saya. Sebagai TNI, keberanian
masih ada pada diri saya."
Jenderal Worang sudah tak sabar lagi "Mungkin ngana salah
mengerti, katanya menunjuk Khumaat dengan kelima jarinya yang
penuh cincin bermata besar. Sementara Sudomo dau Sumarlin diam
saja menyaksikan suasana seperti pengadilan itu, Worang menuduh
petani yang bekas perwira Kodam VIII/Brawijaya itu sebagai
"orang yang suka merongrong". Kumaat yang agak surut he
belakang, kecut juga dibuatnya. Tapi ia masih berani membantah.
"Terserah pak Gubernurlah saya mau dituduh begitu. Tapi saya
memang agak takut sekarang. Saya sudah pensiun sejak 1966, dan
sekarang saya tak punya senjata," sahut Kumaat, yang kabarnya
sudah lama menunggu kedatangan Sudomo di desanya. Tiba-tiba
Sudomo memotong percakapan antara si petani dan Worang, sang
hulubalang (Tonaas).
Cerita dari petani meman banyak. Sementara Sudomo terus
disanding Worang setiap gerak langkahnya. Makanya beberapa anak
buah Sudomo diam-diam menyebar ke kecamatan-kecamatan dengan
menyewa kendaraan umum, agar lebih bebas dengar pendapat dengan
kalangan bawah. Di desa Teep misalnya, pungutan 10 liter cengkeh
kepada setiap petani masih berlaku hingga saat itu. Di desa
Rerer, Kecamatan Kombi, gedung Hukumtua seharga Rp 5 juta (hanya
Rp 300 ribu bantuan desa dari Pusat) dibangun dengan
mengandalkan 'partisipasi' petani cengkeh. Camat Kombi sendiri
pernah menahan petani yang mau membawa cengkehnya keluar desa.
Si petani itu kemudian diberikan kwitansi sebesar Rp 50 ribu,
untuk ditukarkan di BUUD setempat. Juga sang camat pernah
membcli cengkeh mentah (basah) seharga Rp 600/kg (harga pasaran
waktu itu Rp 700 kg) langsung di kebun petani yang perlu uang
buat ongkos memetik cengkehnya.
Karena tak punya modal, BUUD di Tondano - pasaran cengkeh yang
paling ramai -- terpaksa menunjuk para petani cengkeh yang kaya
sebagai unit pembeliannya. Ketika Sudomo datang berkunjung,
harga pembelian cengkeh sudah mencapai Rp 4.250 per kilo. Karuan
saja petani dari kecamatan tetangganya berbondong ke sana
menjual bunga emasnya. Tak heran kalau satu CV yang bertugas
sebagai unit pembelian BUUD seharinya dapat rnembeli cengkeh
sampai 20 ton atau senilai Rp 85 juta. Apa rahasia perputaran
uang yang begitu cepat di Tondano?
"Manajer kami mungkin satu-satunya yang berani di Sulut ini,"
ujar Warouw, pemilik unit pembelian BUUD itu. Maksudnya, dia
hanya mau melayani pedagang cengkeh yang pasang harga pembelian
paling tinggi. Tak peduli punya surat kontrak dari Puskud di
Manado atau tidak. Bahkan pabrik kretek seperti Jarum dan Gudang
Garam yang menurut surat kontrak Puskud tak boleh beli cengkeh
di Manado dilayaninya juga. Begitu pula Kencana Tulus, yang
memakai nama Puskud Sulut dan sebenarnya hanya boleh beli
cengkeh di Manado, naik ke gunung untuk beli cengkeh.
MELIHAT contoh itu, banyak petani curiga bahwa BUUD mendapat
modalnya dari para cukong. Tapi ketika dikumpulkan Sudomo di
kantor gubernur, para pedagang lebih bersikap diam. Atau
memberikan angka pembelian cengkeh yang kurang masuk akal. Dan
ketika ditanyakan kerelaan mereka membayar sumbangan
partisipasi, keiklasan atau entah apa namanya yang Rp 200/kg
itu, bagai ekor semuanya menjawab: "Relaaa." Maka tim Opstib
Pusat pun, setelah berapat dengan Pemda Sulut Sabtu pagi 15
Oktober lalu, mengambil tiga keputusan. Pertama: di Sulut tidak
ada pungli. Kedua: sumbangan cengkeh yang Rp 200/kg itu boleh
jalan terus, tapi harus disetop langsung ke Pemda Sulut. bukan
ke Yayasan Manguni Rondor (lihat: Sang Burung Tergunting
Sayapnya?). Dan ketiga: pedagang boleh teken kontrak langsung
dengan BUUD di Kecamatan. Tak perlu lagi lewat Puskud di Manado.
Lantas apa kata Worang, ketika melepas rombongan dari Jakarta?
Selesai membacakan laporannya di depan Sudomo, Sumarlin, para
Irjen, Dirjen dan segenap Muspida Sulutteng, HV Worang yang
tampak puas dengan keputusan itu tak lupa kirim salam kepada
Menteri Perdagangan Radius Prawiro - yang pernah dengan tegas
menyatakan ada pungli cengkeh di Minahasa. Katanya: "Sampaikan
kepada Menteri Perdagangan yang tercinta, tidak ada apa-apa di
Pemda. Sekali lagi, salam kepada Menteri Perdagangan yang
tercina, eh, tercinta." Gerrr.
Kembali ke Jakarta, Sudomo mungkin sudah disibukkan dengan
masalah lain yang bakal menambah rambut putihnya. Sabtu sore itu
juga, Sinar Harapan sudah menyambut rombongan dari Manado dengan
tajuknya yang bertanya: "Sumbangan Sukarela" Tidak Termasuk
Pungli? Mengutip buku biru Sudomo sendiri, koran itu berpendapat
bahwa "sumbangan sukarela" termasuk perbuatan terlarang dan
dapat dikwalifikasikan sebagai "pungutan liar." Mengapa? Karena
sejalan dengan salah satu pengertian pungli, yakni'uang ikhlas
dan 3S (senang sama senang)." SH juga mengutip kembali Pidato
Presiden 16 Agustus lalu yang melarang para pejabat menerima
bingkisan Lebaran dan godaan materiil lain, apapun motif dan
alasannya.
Namun Sudomo, juga sudah siap dengan tangkisannya. Kepada
wartawan TEMPO yang mencegatnya di lapangan terbang Kemayoran,
dia bilang: "Ah, Sinar tak mengerti persoalan. Definisi pungli,
kan harus bersifat paksaan, tidak sah, dan untuk kepentingan
pribadi. Sedang sumbangan yang Rp 200/kg itu, dilindungi oleh UU
No. 5/1974, tentang Pemerintahan Di Daerah. Di situ disebut,
Pemda berhak menerima sumbangan dari fihak ketiga untuk
membiayai pembangunan daerah. Jadi Undang-Undang inilah yang
harus diperbaiki dulu . . . " Tapi yang masih menjadi
pertanyaan: Adakah keputusan DPRD Minahasa itu sudah disahkan
Menteri Dalam Negeri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini