Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan cekatan Miswandi memanjat pohon kelapa di pekarangan rumahnya di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, Selasa pekan lalu. Tiga tabung bambu bergelantungan yang diikatkan di pinggang tak menghambat gerak lelaki 58 tahun ini. Sesampai di puncak pohon yang tingginya sekitar 15 meter itu, Miswandi mengambil tabung bambu yang telah berisi nira sadapan dan menukarnya dengan tabung bambu kosong yang dibawanya.
Air nira yang diambil Miswandi saban pagi dan sore itu adalah bahan baku gula semut dan gula kelapa. Para tetangga Miswandi mengerjakan hal yang sama. Kebonagung adalah salah satu sentra gula kelapa di Pacitan yang tersebar di enam kecamatan. Penghasil gula semut lainnya adalah Kecamatan Donorojo, Punung, Pringkuku, Tulakan, dan Ngadirojo. Sekitar 9.000 orang di kawasan itu memproduksi gula kelapa.
Penduduk memproses gula kelapa dengan cara tradisional. Nira yang ditampung di tabung bambu dituang ke dalam wajan di atas api dari tungku kayu bakar. Selama dimasak, nira harus selalu diaduk. Kira-kira tiga jam kemudian, nira mengental dan menjadi gula.
Gula kelapa itu bisa dijadikan dua komoditas. Gula kelapa yang dicetak dengan batok dan gula semut yang diproses lebih lanjut dengan cara manual. Untuk membuat gula semut, gula kelapa yang telah dingin dihaluskan dengan batok kelapa lalu disaring hingga menjadi butiran-butiran lembut. Serbuk gula berwarna kecokelatan itu dijemur di bawah terik sinar matahari selama beberapa menit.
Menurut Miswandi, hanya nira yang berkualitas yang bisa diolah menjadi gula. "Kalau nira terlalu asam, tidak bisa jadi gula," ujarnya. Miswandi tak tahu berapa kadar keasaman nira yang ideal. Tapi, "Dari baunya sudah bisa diketahui."
Untuk mendapatkan nira berkualitas, perajin gula kelapa memiliki kiat tersendiri. Tabung bambu penampung nira dituangi sedikit campuran air, batu kapur, getah buah manggis, dan dahan pohon nangka. Larutan itu dituangkan secukupnya ke dalam tabung sebelum dipasang untuk menampung nira. Cara ini terbukti ampuh. Hampir seluruh nira yang dipanen dapat diolah menjadi gula, baik gula semut maupun gula kelapa.
Hasil produksi mereka dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal, seperti Yogyakarta, Wonogiri, Jawa Tengah, Ponorogo, Tulungagung, Trenggalek, Madiun, dan Pacitan sendiri. "Kebanyakan dikirim ke pabrik untuk campuran kecap," ujar Khoirul Huda, 38 tahun, Ketua Kelompok Manggar Sari, kelompok perajin gula semut di Mantren, Selasa pekan lalu.
Sejak 2011, gula semut Pacitan masuk ke pasar dunia. Empat eksportir gula semut dari Bogor dan Yogyakarta bergantian memasok gula semut Pacitan ini ke Amerika Serikat dan Eropa. Sebelum dipasok ke eksportir, gula semut dari petani ditampung oleh Kelompok Manggar Sari. Order datang secara bertahap.
Awalnya, perusahaan di Bogor memesan 500 kilogram per bulan. Produk dikemas masing-masing 10 kilogram, dikirimkan hingga beberapa kali. Namun waktu demi waktu kerja sama antara eksportir dan kelompok petani kandas. Permintaan perusahaan ke pengepul tersendat-sendat. Begitupun pembayarannya. Akibatnya, pembayaran pengepul, Kelompok Manggar Sari, ke perajin juga tak lancar. Padahal perajin gula meminta dibayar tunai begitu menyerahkan produk.
Produksi perajin bisa lumayan jumlahnya. Tiap perajin mampu menghasilkan 5-7 kilogram per hari. Harga dari perajin ke pengepul sekitar Rp 13 ribu per kilogram. Artinya, tiap petani meminta imbalan Rp 65 ribu hingga Rp 91 ribu per hari. Karena modalnya cekak, Khoirul tak sanggup menalangi. Hubungan bisnis pun dihentikan.
Persoalan yang sama terjadi ketika hubungan bisnis dijalin dengan sebuah perusahaan eksportir di Bogor. Berikutnya, ganti sebuah perusahaan pengekspor dari Yogyakarta yang datang. Seperti hubungan dengan Bogor, urusan jadi seret lalu berhenti. Tapi order untuk luar negeri datang lagi. Tiga perusahaan lain dari Yogyakarta datang untuk menjalin kerja sama serupa. Permintaannya jauh lebih besar, yakni tiga ton per bulan. Lagi-lagi permintaan dan pembayaran tak mulus.
Khoirul pernah harus menanggung pembayaran untuk perajin hingga ratusan juta rupiah. Ia mengaku mendapat keuntungan dari memasok gula kepada eksportir. Dari petani, ia mendapat harga Rp 13 ribu per kilogram. Setelah gula dikeringkan dengan cara dioven, Khoirul menjualnya Rp 14-17 ribu per kilogram kepada eksportir. Tapi, dengan permintaan dan pembayaran yang tak rutin dari eksportir, Khoirul lempar handuk. "Saya tidak bisa menampung gula yang disetor petani yang meminta pembelian cash." Distribusi ke perusahaan eksportir berhenti pada Maret 2013.
Toh, Manggar Sari tak patah semangat mencari pasar di luar pasar lokal. "Kami terus mencari terobosan. Saat ini ada perusahaan dari Jakarta yang meminta sampel 500 kilogram. Saya sudah menyampaikannya kepada perajin," kata Khoirul.
Peminat lain adalah CV Menoreh Politan dari Kulon Progo, Yogyakarta. Direktur CV Menoreh Politan Suparyono menyatakan minatnya kepada Manggar Sari karena produknya organik sebagaimana permintaan pasar Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. Gula semut dijadikan pengganti gula putih yang dinilai anorganik. "Kami mencari lahan kelapa yang minim zat kimia. Di PaÂcitan kami cocok karena letaknya jauh dari sawah," kata Suparyono, Selasa pekan lalu.
Hingga pekan lalu, proses pendekatan antara perusahaan dan kelompok petani kelapa Manggar Sari masih berjalan. Menoreh berencana membentuk tim pengontrol kualitas lahan dan kelapa di Desa Mantren dan Gembuk, Kecamatan Kebonagung. Petugas pengontrol yang ditunjuk adalah penduduk setempat yang mendapatkan pelatihan dari perusahaan. Diharapkan gula semut yang nantinya diekspor benar-benar terjaga kualitasnya. "Untuk tahap awal, gula semut yang akan kami ambil dari Mantren 25 ton per bulan dari 429 petani," kata  Suparyono.
Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan mencatat jumlah produksi gula kelapa 31.379 ton per tahun. Produksi itu ditunjang lahan tanaman kelapa milik penduduk. Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan, luas lahan tanaman kelapa mencapai 24.700 hektare pada 2013. Lahan itu berada di 12 wilayah kecamatan di Pacitan, yaitu Donorojo, Punung, Pringkuku, Pacitan, Kebonagung, Arjosari, Nawangan, Bandar, Tegalombo, Tulakan, Ngadirojo, dan Sudimoro.
Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Pacitan Lan Naria Hutagalung mengatakan pohon kelapa merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan perekonomian warga. Namun produk yang dihasilkan belum memiliki pangsa pasar yang bagus. "Masih perlu dikembangkan," katanya.
Pemerintah daerah dan pemerintah pusat, menurut Lan, memberikan pembinaan kepada petani dan perajin gula untuk peningkatan mutu produk dan pengemasan. Di antaranya bantuan peralatan dan modal.
Upaya membuka pasar ditempuh dengan mengikuti pameran tingkat regional dan nasional. Lan mengakui bahwa langkah itu belum membuahkan hasil maksimal. "Tetap akan dikembangkan lagi, misalnya sharing dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan perbankan untuk membantu permodalan," ujarnya.
Langkah itu diharapkan semakin membuka dan memperjelas pangsa pasar gula kelapa. Pihak Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan tak akan menutup akses perusahaan eksportir yang ingin berhubungan langsung dengan kelompok perajin komoditas gula kelapa serbuk. "Jika dulu ekspor tidak melalui pemerintah daerah, ya, enggak apa-apa. Tapi kami juga berupaya agar bisa diekspor sendiri," kata Lan. Dengan mengekspor gula semut sendiri, pemerintah berharap bisa mendongkrak nama Pacitan di dunia internasional.
Endri Kurniawati, Nofika Dian Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo