Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muchdor melompat lincah dari dahan ke dahan pohon manggis setinggi hampir sembilan meter. Dengan galah yang ujungnya dipasangi kantong, dia meraih buah-buah manggis yang ranum. Beberapa masuk ke kantong kain, tapi tak sedikit yang lolos, lalu jatuh ke tanah. "Banyak semutnya," lelaki 50 tahun itu berteriak dari atas pohon. Pohon itu adalah pohon kesepuluh yang dipanjat Muchdor, Selasa pekan lalu. Dari pohon sebanyak itu, ia memanen sekitar 60 kilogram manggis.
Muchdor adalah juru petik manggis di lahan milik pemerintah Desa Pesucen, Kecamatan Kalipuro, seluas 2.500 meter. Total ada 15 pohon manggis yang telah hidup lebih dari 100 tahun di lahan belakang kantor desa itu. Selesai mengerjakan tugasnya, Muchdor memenuhi panggilan pemilik kebun manggis yang lain. Untuk jasanya, ia mendapat upah Rp 25 ribu per 6 jam panen.
Muchdor sibuk karena saat ini memang sedang musim panen manggis. Petani Pesucen sedang girang menyambut panen. Hampir setiap hari mereka mempekerjakan juru petik seperti Muchdor. Manggis yang telah dipetik dibawa ke gudang induk yang sudah lima tahun berdiri di Pesucen.
Di gudang induk, manggis disortir. Dipisahkan antara yang berkualitas Super I dan Super II. Super I berarti kulit manggis harus mulus, daun di tangkainya utuh berjumlah empat, dan berwarna hijau muda. Manggis yang kulitnya burik alias tak mulus masuk kategori Super II.
Manggis juga dipilah berdasarkan jenisnya, yakni AAA, AA, dan A. Jenis AAA berarti manggis yang berdiameter 10 sentimeter, AA berdiameter 8 sentimeter, dan A diameternya 5 sentimeter. Manggis A atau disebut manggis bayi disukai karena, semakin kecil manggis, rasanya lebih manis dan berkulit tipis. "Tidak berbiji," kata Ketua Kelompok Petani Manggis Desa Pesucen Abdul Rohim.
Manggis berkualitas Super I semuanya dikirim ke Cina, Singapura, dan Uni Emirat Arab melalui PT Alamanda Indonesia, yang berpusat di Bandung, Jawa Barat. Pasar di Cina dan Singapura lebih senang manggis jenis AAA dan AA. Sedangkan manggis A favorit penduduk Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Manggis dipanen pada April-Juni. Harga manggis Super I dari petani ke pengepul untuk ekspor Rp 20 ribu per kilogram. Di pasar Singapura, harga sebuah manggis sekitar Rp 25 ribu. Di Cina harganya sekitar Rp 30 ribu per buah.
Super II untuk pasar lokal dijual Rp 10 ribu per kilogram. Saat panen raya, harga di pasar lokal anjlok Rp 6.000-7.000 per kilogram. Tapi, jika manggis belum seberapa musim, harganya bisa meroket hingga Rp 20 ribu per kilogram di pasar lokal. Sedangkan di pasar swalayan khusus buah, harga manggis berukuran besar Rp 26 ribu per kilogram.
Banyuwangi adalah sentra manggis di Jawa Timur. Pada 2013, total produksi manggis 20.199 ton dari lahan seluas 1.590,5 hektare. Lahan manggis tersebar di Kecamatan Kalipuro, Glagah, Licin, Songgon, Sempu, dan Glenmore. Dari enam wilayah itu, 60 persen produksi manggis disumbang oleh Kecamatan Kalipuro. Sebesar 40 persen atau sekitar 9.000 ton dari total produk yang diekspor.
Di Kecamatan Kalipuro, ada tiga desa yang menjadi sentra manggis: Pesucen, Bulusari, dan Telemung. Ketiga desa ini terletak 10-15 kilometer arah barat Banyuwangi dengan ketinggian 400 meter dari permukaan laut. Letak geografis desa ini memang cocok untuk tanaman manggis, yang membutuhkan suhu sejuk.
Di Desa Pesucen terdapat 150-an petani manggis dengan total luas lahan sekitar 100 hektare. Rata-rata per tahun desa ini memproduksi 1.000 ton manggis. Sekitar 200 ton untuk memenuhi pasar ekspor, sisanya (800 ton) terserap untuk pasar lokal.
Rohim, 55 tahun, petani manggis, bercerita sebagian besar pohon manggis di Pesucen adalah warisan dari nenek moyang mereka lebih dari seabad yang lalu. Pohon manggis tua hampir setinggi pohon kelapa. Pohon-pohon manggis itu ditanam dengan sistem tumpang sari bersama pohon kelapa dan cengkeh. Pada 2008, kelompok petani mendapatkan 2.500 bibit manggis dari pemerintah pusat untuk pengembangan manggis.
Rohim sendiri memiliki 20 pohon manggis di lahan seluas 2.500 meter. Perawatannya mudah dengan biaya pupuk dan pestisida hanya Rp 3,75 juta per tahun. Saat panen, satu pohon bisa menghasilkan 125 kilogram manggis. Total Rohim mendapatkan 2,5 ton dengan omzet lebih dari Rp 25 juta per tahun.
Sedangkan Desa Bulusari memiliki 100 hektare lahan manggis. Tanamannya juga didapat turun-temurun. Riyanto, petani manggis di Desa Bulusari, bercerita dia memiliki 1 hektare lahan dengan 60 pohon manggis. "Kalau panen raya, harga bisa turun drastis," ujar Ketua Kelompok Petani Manggis Desa Bulusari itu. Meski begitu, penghasilannya dari manggis saja Rp 132 juta per tahun.
Manggis Banyuwangi baru tembus ke pasar dunia sekitar 2009. Menurut Rohim, setahun sebelumnya banyak utusan perusahaan datang melihat kualitas manggis. Perusahaan pertama yang bekerja sama dengan petani Banyuwangi adalah PT Manggis Elok, yang mengekspor ke Cina. Kerja sama itu hanya bertahan hingga 2011. Setelah itu, Cina menolak manggis Banyuwangi karena pestisidanya terlalu banyak, sehingga residu pada buah manggis dianggap terlalu tinggi. "Akhirnya manggis hanya terserap untuk pasar lokal," ucap Rohim.
Pada akhir 2011, pemerintah Banyuwangi memfasilitasi PT Alamanda datang ke Banyuwangi. Pemerintah dan perusahaan menggelar sekolah lapangan untuk memberikan bekal kepada petani mengurangi pemakaian pestisida. Buah manggis Banyuwangi akhirnya mendapatkan Sertifikasi Prima III dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang berisi jaminan aman konsumsi. Setelah sertifikat terbit, manggis kembali diekspor pada 2012.
Petani juga diuntungkan oleh besarnya minat pasar lokal. Sejak 2012, kata Riyanto, permintaan pasar lokal, seperti Surabaya dan Malang, cukup tinggi, sebanyak 5-8 kuintal per hari.
Selain untuk dikonsumsi sebagai buah, pamor manggis terdongkrak karena kulitnya bisa untuk jamu. Tingginya kandungan antioksidan pada manggis, menurut Rohim, dipercaya bisa menyembuhkan kanker. "Warga di desa ini mulai terbiasa membuat jus kulit manggis untuk mengobati kanker."
Kelompok Tani Desa Pesucen sedang bernegosiasi dengan salah satu produsen jamu. Bila negosiasi sukses, produsen akan mengambil kulit manggis dari Banyuwangi. Sedangkan isi buahnya akan dikemas dalam bentuk lain.
Pengepul manggis dari PT Alamanda, Yahya, menjelaskan, perusahaannya mengambil 3 ton manggis per hari dari Banyuwangi. Manggis-manggis itu dikirim ke Bandung dengan truk berpendingin.
Menurut Yahya, permintaan pasar dunia atas buah manggis sebenarnya cukup tinggi. Cuma, manggis tergolong buah langka karena produksinya di Indonesia masih terbatas. Hanya beberapa daerah yang menghasilkan manggis, antara lain Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali. "Asalkan kualitasnya bagus, berapa pun banyaknya manggis akan terserap semua ke luar negeri," ujar Yahya saat ditemui di gudang induk manggis di Desa Pesucen.
Selain produksinya kecil, sebagian besar manggis tak layak diekspor karena kualitasnya rendah. Konsumen luar negeri menilai manggis dari tampilan luarnya. Mereka menolak manggis berkulit burik alias tak mulus. Masalahnya, manggis Indonesia lebih banyak yang burik. "Meski sebenarnya burik atau tidak, manggis Banyuwangi tetap manis."
Manggis burik, kata Yahya, akibat pola tanam petani yang belum monokultur, perubahan cuaca, dan cara pemetikan yang salah. Kebanyakan manggis yang dipanen jatuh ke tanah sehingga kulit luarnya cacat.
Manggis Thailand adalah rival berat manggis Indonesia. Pola tanam dan perawatan yang lebih maju membuat manggis Thailand lebih berkualitas sehingga jauh lebih diminati. Karena itu, bila Thailand panen raya sekitar Mei, ekspor manggis Banyuwangi ke Cina langsung "tiarap". Ekspor akhirnya dialihkan ke Singapura.
Besarnya peluang pasar manggis membuat pemerintah Banyuwangi berupaya memperluas lahan. Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Hortikultura Syaifullah mengatakan lahan mulai diperluas sejak 2008 dengan pertambahan 10-50 hektare per tahun. "Petani mulai bergairah memperluas lahan manggis," ucap Riyanto. Pada 2015, lahan manggis ditargetkan mencapai 8.294,18 hektare dan produksi 23.761 ton.
"Kami mendapatkan bibit dari Kementerian Pertanian," kata Syaifullah. Kendalanya, sulitnya mengubah kebiasaan petani untuk bertanam manggis secara monokultur. Karena secara turun-temurun, petani menanam manggis bersama tanaman lain sehingga membuat kualitasnya sulit didongkrak.
Kesulitan lain: petani kurang berfokus pada perawatan. Mereka beranggapan manggis tetap bisa dipanen meski dengan perawatan ala kadarnya. Rohim pun beranggapan begitu. "Manggis itu kalau dibiarkan akan tetap tumbuh dan berbuah sendiri." Tapi Syaifullah optimistis kendala-kendala itu bisa diatasi dengan memperbanyak sekolah lapangan untuk meningkatkan pengetahuan petani.
Endri Kurniawati, Ika Ningtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo