Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Firmansyah terkesiap. Seumur-umur, ia belum pernah menemukan sandal imut dan lucu seperti yang ditawarkan seorang ibu yang menjadi teman perjalanan dari Surabaya ke Jakarta. Ada yang berbentuk kura-kura, stroberi, dan lumba-lumba. Malam itu, September 2009, keduanya tengah berada di dalam kereta Sembrani yang "berlari kencang" dari Stasiun Pasar Turi, Surabaya, menuju Stasiun Gambir, Jakarta.
Begitu Firmansyah melihat bentuk sandal yang tak biasa itu, cling, langsung tebersit dalam benak dia menjadi distributor besarnya. Pangsa yang hendak diraih adalah konsumen di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek). Gara-gara melihat sandal itu, niat Firmansyah "memprospek" si ibu agar membeli chip isi ulang pulsa telepon seluler dagangannya langsung luruh.
"Mindset saya langsung berubah," kata pria kelahiran Surabaya, 11 Oktober 1983, itu saat ditemui di rumah sekaligus kantornya di kawasan Ciracas, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Walhasil, tak jadi menawarkan produk chip isi ulang yang dijual dengan sistem multilevel marketing, Firmansyah mengganti topik pembicaraan ihwal bagaimana cara menjadi distributor sandal imut dan lucu. Nomor kontak pembuat sandal di Wedoro, Sidoarjo, kawasan yang sudah lama dikenal sebagai sentra pembuatan sandal spons, pun di tangan.
Namun, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Harapannya untuk menjadi distributor besar kandas. Perajin sandal tak bisa menerima permintaan Firmansyah karena produknya sudah dimiliki pengusaha dengan merek tertentu. Ia disarankan menghubungi pengusaha yang memiliki merek itu. Ternyata tak gampang mengontak si pengusaha. Akhirnya, atas dorongan istrinya, Nurmelia Ardiani, Firmansyah nekat menjadi produsen sendiri. Ia meminta ayahnya, Fidris A.R., yang tinggal di Rewwin Waru, Sidoarjo, mencarikan perajin sandal di Wedoro dan Kepuh Kiriman.
Akhirnya, pada November 2009, dengan melibatkan dua perajin di Kepuh Kiriman, lahirlah empat model sandal lucu alias sancu, yang kemudian menjadi trade mark-nya. Modelnya berbentuk kura-kura, lumba-lumba, serta ikan Nemo merah dan oranye. Dengan modal awal Rp 15 juta, terciptalah 800 pasang sancu dengan empat model itu. Untuk pemasaran, alumnus D-3 Jurusan Elektro Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya itu menggaet sejumlah teman serta saudara di Cepu, Surabaya, dan Semarang.
Tak disangka-sangka, sambutan pasar luar biasa. Sebanyak 800 pasang sancu langsung habis dalam sepekan. Produksi ditambah menjadi 1.300, 1.800, 2.100, dan 5.000-an pasang, eh, tetap habis juga dalam sepekan. "Prinsipnya, ada laba, saya jadikan modal untuk menambah produksi," ujar ayah satu anak itu. "Ternyata habis terus." Semula model pemasarannya offline, tapi tak lama kemudian Firmansyah memanfaatkan Internet untuk menjual secara online.
Sepasang sancu dilepas ke konsumen dengan harga Rp 20-35 ribu, tergantung ukurannya. Untung reseller atau si penjual lumayan. Sebab, dengan membeli minimal 12 pasang sancu, ia cukup merogoh kocek Rp 15-20 ribu sepasang. Adapun agen, yakni mereka yang membeli minimal 200 pasang sancu, mendapat harga beli Rp 12-16 ribu sepasang.
Kini, setelah lima tahun berjalan, modelnya ada 20-an, antara lain Doraemon, Shinchan, Shaun the Sheep, Mickey-Minnie, Koko-Memey, Spider-Man, SpongeBob, dan Gatotkaca-Srikandi. Ukuran sandalnya 21-42 alias dari bocah baru bisa jalan hingga orang dewasa. Pokoknya komplet. Untuk menjaga agar konsumen tak bosan, Firmansyah selalu menciptakan satu-dua karakter baru saban tiga bulan.
Dengan permintaan yang terus meningkat, pekerja dan perajin di Kepuh Kiriman yang terlibat kian membengkak, dari dua orang menjadi sekitar 500 orang. Kini produksi sancumencapai 320-400 ribu pasang sebulan. Rata-rata penjualan adalah 240 ribu pasang sebulan. Jika harga sepasang sancu Rp 14 ribuan, diambil nilai tengah harga agen, omzet sebulan mencapai lebih dari Rp 4 miliar. Dengan 130-an agen dan ribuan reseller, produk merek Sancu yang sudah dipatenkan itu kian tersebar luas. Tak hanya di Indonesia, sancu sudah merambah pasar Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, Hong Kong, dan Taiwan.
"Modelnya lucu dan bahannya kuat," kata Maulani, salah satu pengguna sancu. Warga Depok Timur, Jawa Barat, ini memakai sancu dengan karakter Minion alias Finger Boy sejak setengah tahun lalu dan masih awet sampai sekarang. Setahun lalu, ia membelikan empat anaknya sancu dengan motif berbeda, antara lain karakter monyet George dan Nemo, dan hingga kini masih bagus. "Sponsnya tidak cepat legok atau kempis," kata pria 50 tahun ini, yang membeli dari reseller di Jakarta Timur.
Sancu yang diproduksi di bawah payung Sancu Creative Indonesia ini terdiri atas dua macam, yakni sablon dan puzzle atau tempel. Meski ongkos produksi jenis sablon lebih mahal, antara lain karena menggunakan cat khusus, harganya dibuat sama dengan produk puzzle. Sedangkan dari sisi produksi, model puzzle lebih rumit dan njlimet.
Produksi sancu sablon, antara lain, digarap tiga bersaudara Muhtadin, M. Arifin, dan Syarif, mitra Firmansyah di Kepuh Kiriman. Saat Tempo ke lokasi produksinya, Selasa pekan lalu, sebanyak 25 karyawan tengah membuat aneka rupa karakter sancu bermotif kartun. Di antaranya Red Birds mirip Angry Birds, Spidi si Spiderman, Fish yang mirip dengan ikan Nemo, Tom and Jerry, SpongeBob, Mario Brothers, dan yang terbaru Fuleco, maskot Piala Dunia 2014.
Muhtadin adalah perajin sandal pertama yang bekerja sama dengan Firmansyah membuat sancu, yakni sejak 2009. Proses produksi dibagi dalam empat tahap: menempelkan lembaran spons berwarna hitam dengan material sintetis, menyablon gambar, memotong sesuai dengan ukuran, dan mengecek kualitas. Di sini pesanan tak pernah sepi. Saban hari ribuan pasang sancu disetor.
Menurut Arifin, kerja sama membuat sancu dengan Firmansyah lebih aman dan menenangkan. Sebab, kualitas sancu selalu dijaga. Dengan begitu, produksinya tak mudah "ditembak" atau ditiru. Walhasil, harganya selalu stabil. Maklum, di tengah kawasan sentra sandal, meniru model sandal apa pun adalah hal yang mudah bagi para pesaing. Mereka bisa menjual dengan harga lebih murah tanpa mempertahankan kualitas. Akibatnya, produksi sandal yang berbasis industri rumahan di kawasan Kepuh Kiriman, Wedoro, dan sekitarnya banyak yang tak bertahan lama. "Bekerja sama dengan Firmansyah, mutu enggak sembarangan, tidak mudah ditembak," ujar pria asli Wedoro itu.
Masih di Kepuh Kiriman, terdapat juga tempat produksi sancu puzzle. Berbeda dengan produk sablon, proses di tempat ini lebih banyak manual. Spons dipotong dan disusun seperti puzzle sehingga membentuk karakter kartun. Ada beberapa karakter, seperti Shinchan, Shaun the Sheep, Monkey, dan Finger Boy atau Minion. Di sini terdapat 13 karyawan yang bekerja dari menyusun-menempel gambar, menempel gambar ke spons dan sol, memotong, memasang sol karet, hingga memasang kap tali dan memeriksa kualitas.
Kepala Bagian Produksi Danny Cahyono menyatakan selembar spons berukuran sekitar 10 meter persegi bisa untuk membuat 40 pasang sandal berukuran kecil atau 20-22 pasang berukuran besar.Meski begitu, tak semua produksi sancu tempel ini mulus. Cacat produksi pasti ada. Misalnya sol mengelupas. Produk yang tak lolos kontrol bisa diperbaiki atau dibuang dan dimusnahkanjika memang tak bisa diperbaiki.
"Sancu tempel biasanya butuh dua hari untuk 500 pasang," kata Kepala Bagian Pengemasan Beny Sudibyo. "Kalau sancu sablon, sehari bisa 3.000 pasang." Berkecimpung di dunia produksi sancu juga membuat Beny merangkap menjadi agen. Di rumahnya di Jalan Margodadi, Surabaya, ia menjual sancu secara online. "Omzetnya lumayanlah," ujarnya.
Dwi Wiyana, Agita S. Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo