Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Masih enggan berbahasa Indonesia

Selama ini ada anggapan bahwa sekolah pembauran telah berhasil, ternyata di pontianak dan banda aceh siswa-siswa sekolah pembauran masih bercakap dengan bahasa cina. (pdk)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH pembauran tiba-tiba dipertanyakan, dan disinggung pula dalam satu seminar. Selama ini ada anggapan bahwa sekolah pembauran telah berhasil karena rata-rata komposisi murid "pri" lebih separuh dibanding dengan yang "nonpri". Namun di kota-kota tertentu, seperti Pontianak dan Banda Aceh, siswa "nonpri" tetap saja mengelompok dan ngomong bahasa Cina. Hal itu terungkap dalam diskusi bebas di lobby Hotel Kapuas Permai, Pontianak, tempat suatu seminar pers berlangsung (18-20 November). Menurut Ny. Zainidal Tasnin, Kepala SMAN I Pontianak, memang siswa "nonpri" yang hanya sekitar 30% dari keseluruhan 928 di sekolahnya secara berangsur telah membaur. Walaupun bahasa Cina masih terdengar di Pontianak, dengan penduduk "pri" dan "nonpri" kira-kira satu banding satu, hal yang diutarakan Ny. Tasnin itu boleh disebut menggembirakan. Sebab dulu, kata Drs. Soenarpo, Kepala SMAN V Pontianak, "sebelum tahun 1979 siswa 'nonpri' suka menyelenggarakan pesta perpisahan sendiri." Tapi kini antara siswa "pri" dan "nonpri" konon sudah pula terjadi pacaran. Dalam soal bahasa itu Pontianak tidak sendiri. Di Banda Aceh, di sekolah milik Yayasan Perguruan Setia, percakapan bahasa Cina sewaktu jam istirahat sudah biasa terdengar. Apa boleh buat, masih 80% lebih siswa SD-nya adalah "nonpri". Dan pelajaran bahasa Indonesia di situ memang berjalan seret. Keluarga mereka di rumah pun tetap berbahasa Cina. Tapi sekolah bisa mengarahkan agar siswa di luar kelas pun berbahasa Indonesia--seperti yang terjadi di Perguruan Husni Thamrin, Medan -- bila jumlah siswa "pri" dan "nonpri" memang berimbang. Di Perguruan Husni Thamrin siswa "nonpri" di SMA-nya hanya 40%, sedang di SMP-nya lebih banyak, 60%. Dengan perbandingan seperti itu Iryanto, koordinator perguruan tersebut, bisa menerapkan kebijaksanaan satu bangku diduduki bersama oleh siswa "pri" dan "nonpri". Selain itu semangat pembauran digalakkan dengan kegiatan belajar bersama dan hobi bersama. Perguruan inilah yang mempopulerkan hobi sepatu roda di Medan. Dan ternyata lewat sepatu roda itu "jarak" mereka agak bisa dijembatani. Di luar Pontianak (dan Kalimantan Barat umumnya) dan Banda Aceh, sekolah pembauran boleh dibilang berjalan. Di Jakarta, beberapa SMA yang kini berstatus negeri adalah bekas sekolah Cina, yang dianggap berhasil menjalankan misi pembauran. Misalnya SMAN XVII, dan SMAN XIX, kata Ending Karnadi, Humas Kan-Wil Dep. P&K DKI. Di Bandung, SMA Kristen Dago di tahun 50-an mempunyai siswa "pri' kurang dari 10%, tapi kini 60%. Suasana di sekolah ini pun biasa saja. "Di waktu istirahat kami bisa berbicara tentang pelajaran dan apa saja dengan semua teman tanpa merasakan perbedaan 'pri' dan 'nonpri'," kata Embang Simanjuntak, Ketua OSIS SMA Kristen tersebut. Dan di SMA Bhineka Tunggal Ika, Yogyakarta -- yang di tahun 50-an masih bernama SMA Penyaluran dan hingga awal 70-an siswanya masih 90% lebih "nonpri" -- berbagai cara dilakukan untuk menjembatani pembauran. Ada keharusan, yang dikontrol ketat, untuk pak.aian seragam. Ada pula larangan bagi siswa menggunakan alat tulis-menulis dan kendaraan yang mewah di sekolah. Dan para guru di situ, menurut Drs. M. Agung Kresna, 43 tahun, pemimpin sekolah ini, dianjurkan mendekati orang tua murid, terutama yang "nonpri" untuk tidak memperuncing masalah keturunan. Di Solo, kota yang mengalami huruhara rasialisme dua tahun lalu, hal pembauran di sekolah agaknya bukan masalah lagi. SMA Warga, yang sebelum 1961 adalah sekolah Cina, kini punya siswa "pri" 30%. Dan di sekolah ini tak terdengar lagi percakapan bahasa Cina. Toh, kasus kecil masih muncul. Misalnya, tutur Teguh Yuwono, 41 tahun, Kepala Sekolah di sini, perkelahian bisa timbul hanya karena ejek-mengejek warna kulit, atau hanya karena soal pinjam buku. "Kalau sudah begitu, kami para pengasuh langsung menanganinya dan memberikan penyuluhan tentang pembauran," katanya. Hanya seorang siswa 'pri" diketahui tidak kerasan di SMA Warga. Ia harus pindah ke SMA negeri dan kembali duduk di kelas I, meski dia di SMA Warga bisa melanjutkan di kelas II. Komposisi jumlah siswa "pri" dan "nonpri" belum menjamin sekolah pembauran akan berhasil. Bila itu ukurannya, maka di Jakarta bisa menjadi soal besar. Jakarta Kota -- sebagian besar penduduknya keturunan Cina--punya sejumlah sekolah swasta dengan mayoritas siswanya "nonpri". Juga begitu di sebagian wilayah Jakarta Barat. Yayasan Pendidikan Ricci di Jalan Kemenangan, misalnya, siswa TK, SD dan SMP-nya hanya 5-8% yang "pri". Bahkan di SMA-nya hanya seorang siswa yang bukan keturunan Cina, tapi keturunan Arab. Juga di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Yayasan Cahaya Sakti memiliki TK sampai SMA dan SMEA, dengan hanya 7% siswa "pri". Mungkin ini terjadi karena ada ketentuan rayonisasi di DKI Hingga anak-anak perlu memilih sekolah yang terdekat jaraknya dari tempat tinggal. Jadi? "Jangan menilai sekolah pembauran dari segi fisiknya," kata Ending Karnadi dari Humas Kan-Wil Dep. P&K DKI Jakarta. "Yang penting segi mentalitasnya. Misalnya, apakah di sekolah itu terasa suasana Indonesia atau suasana Hongkong? "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus