KABUPATEN Nias jangan dikira hanya terdiri dari Gunung Sitoli.
Kota Gunung Sitoli hanya ibukota Kabupaten Nias, salah satu
daerah tingkat II di Sumatera Utara. Kabupaten ini terdiri dari
13 kecamatan, 12 di antaranya berada di Pulau Nias. Selebihnya
berupa himpunan dari Pulau-pulau Batu yang terdiri tak kurang
dari 131 buah pulau kecil.
Sejak Menteri Perhubungan (ketika itu Emil Salim) meresmikan
lapangan terbang perintis Binaka di Gunung Sitoli April 1976,
tiba-tiba saja jarak anara Medan-Gunung Sitoli menjadi dekat.
Sebelumnya jarak terdekat ke ibukota Kabupaten Nias ini dari
daratan Sumatera melalui Sibolga dengan kapal. Bila cuaca sedang
baik, artinya ombak dan badai Samudera Indonesia sedang jinak,
jarak yang hanya 80 mil itu akan menelan waktu tempuh 12 hingga
15 jam. Sekarang dengan pesawat Merpati 3 kali seminggu,
Medan-Gunung Sitoli dapat ditempuh dalam waktu 1 jam.
Kesulitan perhubungan antar pulau-pulau itu satu gambaran dari
wajah Kabupaten Nias secara keseluruhan. Tapi lebih dari itu,
adalah sarana perhubungan di Pulau Nias sendiri. Jika
akhir-akhir ini petani Nias mulai beralih ke tanaman nilam, tak
salah lagi, ini erat hubungannya dengan keadaan jalan di sana.
"Mereka merasa lebih untung bertanam nilam," kata Bupati Nias,
Dalimend, kepada Amran Nasution dari TEMPO.
Sebab dengan menanam padi, berarti mereka membuat penderitaan
besar. Untuk memasarkan satu karung padi, sama artinya dengan
harus memikulnya berpuluh-puluh kilometer, dengan hasil uang tak
seberapa. Sedangkan dengan menjinjing 3 kg minyak nilam saja ke
kota terdekat, penduduk pedalaman sudah mendapat hasil lumayan.
Di Gunung Sitoli sekarang, tiap kg minyak nilam berharga Rp
8.000.
Rp 450 Per Jumba
Tapi beralihnya penduduk Nias ke tanaman nilam tak
menggembirakan Bupati Dalimend. Selain harga minyak nilam sering
tak stabil, juga akhir-akhir ini kabupaten itu harus mendapat
suntikan beras ratusan ton tiap minggu. Beras itu dimasukkan
pedagang-pedagang dari Sibolga. Namun persoalannya akan menjadi
makin ruwet ketika sampai pada giliran beras-beras itu harus
diangkut ke pedalaman: lagi-lagi karena sarana perhubungan yang
buruk. Akibat lanjutannya, sedikit saja beras terlambat masuk,
harga dapat membubung mencapai Rp 450 per jumba (1 jumba
kira-kira 2 kg).
Di zaman penjajahan dulu pemerintah Belanda pernah membangun
jalan ring road) sepanjang 367 km di Pulau Nias. Karenanya
pernah ada 3 jalur jalan dari Gunung Sitoli yang dapat dilalui
mobil ke seluruh ibukota kecamatan. Satu jalur menyusur pantai
ke selatan menuju daerah pariwisata Telok Dalam melalui
Kecamatan Idano Gawo, sepanjang 102 km. Satu jalur lagi dari
Telok Dalam ke daerah Nias Tengah. Jalur jalan ketiga adalah
dari Gunung Sitoli ke utara melalui Tuhemberua menyusur pantai
sampai ke Lahewa di ujung utara pulau. Karena jalur-jalur jalan
itu menyusur pantai, maka perkembangan kota-kota di Nias umumnya
berada di sepanjang pantai. Bagian tengah pulau masih diselimuti
hutan tanpa manusia.
Sampai 1966 jalan buatan Belanda itu hanya tinggal 50 km saja
yang masih dapat dilalui mobil. Selebihnya hancur total. Di masa
Pelita ternyata juga tak banyak kemajuan. Jangankan membuat
jalur jalan baru, untuk memulihkan yang pernah ada saja tak
kunjung beres. Menurut Dalimend, melalui APBD Sumatera Utara
jalan peninggalan Belanda yang digolongkan jalan propinsi itu
(lebar 3 meter) baru berhasil direhabilitir sepanjang 145 km.
Karena itu jika dari Gunung Sitoli hendak berkendaraan mobil
hanya mampu mencapai Tuhemberua di utara dan Idane Gawo di
selatan.
Pemda Kabupaten Nias sendiri memang turut merancang sebuah jalur
jalan kabupaten sepanjang 650 km. Yaitu jalan penghubung
desa-desa dengan ibukota-ibukota kecamatan. Tapi karena APBD
daerah ini hanya berkisar Rp 480 juta tiap tahun, maka biaya itu
sebagian besar habis untuk ongkos rutin. Karena itu rencana
pembangunan jalan kabupaten itu sampai sekarang hanya terlaksana
50 km saja. Akibatnya sampai sekarang tak kurang dari 8 kota
kecamatan yang masih terkurung (di luar Pulau-pulau Batu), yaitu
Lahewa, Alasa, Gomo, Lahusa, Mandrehe, Sirombu, Lolowau dan
Telok Dalam. Belum lagi jalan ke desa-desa. Karena itu tak heran
jika wabah muntah-berak yang menyerang daerah ini 2 bulan lalu
menelan korban cukup banyak. Karena pertolongan sulit diberikan
untuk menyusur desa-desa nun di pedalaman sana dengan jalan kaki
atau naik sepeda.
Sampai sekarang agaknya warga Nias harus menerima nasib yang
ditakdirkan sebagai pejalan kaki yang patuh. Warga Lahewa
misalnya, jika hendak ke Gunung Sitoli harus menempuh jarak 80
km, 35 km di antaranya dapat dilalui dengan mobil. Selebihnya,
tak ada pilihan lain: berjalan kaki. Dan inipan apa boleh buat,
harus mereka tempuh, lebih-lebih bila hendak menjualkan hasil
pertanian mereka. Artinya dengan berjalan kaki puluhan km itu,
di kepala atau di punggung mereka terjunjung belasan kilo barang
dagangan. Belum lagi, harus naik turun bukit dan menyeberang
sungai, karena semua jembatan telah hancur.
Mengapa tak memakai kuda? "Bisa menimbulkan ketegangan antar
suku", jawab Bupati Dalimend. Sebab jika seekor kuda sedikit
saja merusak tanaman orang lain, maka akan timbul perkelahian
yang menyeret suku atau marga. Ternak kuda tak populer di sini,
kecuali babi yang rupanya cukup subur.
Gadis-gadis Nias cantik-cantik. Berkulit kuning langsat. Ciri
khasnya: betis mereka berotot menonjol seperti pemain bolakaki.
Tentu saja, karena sejak kecil mereka terlatih berjalan kaki
berpuluh-puluh kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini