SUARA mesin pabrik masih terus meraung, dan ketika angin berembus di siang yang terik tercium bau yang khas, mirip aroma racun serangga, Diazinon. "Kalau sehabis turun hujan, bau itu bukan main kerasnya," kata seorang penduduk. Bau seperti itu sudah diderita penduduk sejak Juli tahun lalu, yaitu sejak pabrik milik PT Mantrose Pestindo Indonesia yang memformulasikan DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethame) itu mulai berproduksi. Tapi pabrik di Kampung Bojong, Desa Cicadas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, itu baru ramai dibicarakan orang setelah Walhi, organisasi pecinta lingkungan, mengadakan sarasehan tentang pestisida di Jakarta, Selasa pekan lalu. Ketika itu, Hary, anggota KRAPP (Kelompok Relawan AntiPenyalahgunaan Pestisida) Jawa Barat, melaporkan bahwa 16 penduduk Desa Cicadas meninggal dunia, diduga karena pencemaran pabrik PT Mantrose. Laporan itu menyebutkan, sejak akhir Agustus sampai pertengahan September tahun lalu, kematian terjadi susul-menyusul di desa itu. Belakangan disebutkan, jumlah yang mati mencapai 25 orang. Sebenarnya, sebelum sarasehan Walhi itu, pada 31 Desember 1984, bupati Bogor telah melaporkan kematian sejumlah penduduk kepada gubernur Ja-Bar, tapi tidak dipublikasikan. Ketika itu, bupati menyebutkan dampak negatif pabrik itu: tanah persawahan di sekitar pabrik mengandung DDT dan ada tujuh penduduk yang meninggal dengan gejala penyakit yang sama: mulut berbusa, mata melotot, kejang, dan sesak napas. Pada radius 100 m dari pabrik, ditemukan hewan yang mati. Gejala-gejala yang disebut mirip korban keracunan DDT. Setelah itu, Ditjen Pemberantasan Pcnyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen PPM & PLP), Depkes, membentuk tim untuk meneliti pencemaran DDT di Cicadas itu. Hasilnya, 25 Februari yang lalu, menyebutkan bahwa sumur penduduk di barat dan timur pabrik telah dicemari DDT. Pencemaran terberat terjadi di sebelah timur (1,34 ppb), sedangkan di barat cuma separuhnya (0,69 ppb). Sumber utama pencemaran berasal dari cerobong pembuangan debu pabrik dan limbah cair. Kantor Menteri KLH, yang meneliti ke sana, juga menemukan tebaran DDT di daerah permukiman. Dan menurut Rachmat Wiradisuria, Asisten Menteri KLH, pencemaran sudah terjadi di luar batas ambang yang diperbolehkan. Dia menyebutkan, batas ambang itu adalah 1 mg DDT/areal 1 m3. Ternyata, ditemukan DDT 3 mg/m3 di sebelah timur pabrik. Berdiri di atas areal 10 ha, pabrik yang sudah berproduksi formulasi DDT belum setahun ini berkapasitas 20.000 ton per tahun. Tapi karena dari tiga mesin yang direncanakan yang berjalan cuma satu mesin, produksinya baru 3.200 ton per tahun. Pabrik ini tidak memproduksi sendiri DDT, melainkan mengimpor komponen DDT, berupa bensol dan klor. Di sana DDT itu diturunkan kadarnya menjadi 75%, melalui proses pabrik, lantas dikemas. Memang, inilah pabrik DDT satu-satunya di Indonesia. Karena, sebetulnya, sejak tahun 1970-an, pemakaian DDT sudah diharamkan di sini. Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 1983 memang menempatkan DDT sebagai bahan berbahaya kelas I, artinya: racun ini lebih tinggi kelas bahayanya dibanding methyl isocyanate (MIC) - yang masih tergolong kelas II - yang akhir tahun lalu menewaskan lebih dari 2.500 penduduk Bhopal, India. Tapi karena di beberapa daerah di sini masih ditemukan penyakit malaria, maka Depkes membutuhkan DDT. "Paling ampuh memberantas nyamuk. Bila di semprotkan di dinding, misalnya, bisa bertahan enam bulan," kata M. Adhyatma, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Depkes. Ada jenis racun lain, misalnya malathion, yang selain baunya tak sedap, harganya tiga kali DDT. Maka, perusahaan swasta PT Mantrose mendirikan pabrik itu, yang berjarak 15-an km dari Cibinong, dan produksinya dijual khusus ke Depkes. Cuma, sekitar pabrik yang dipagar tembok dan kawat berduri setinggi 2,5 m itu dihuni oleh ratusan penduduk, dan paling terpisah jaraknya 150-an meter. Maka, sebelum pabrik berdiri, Depkes sudah mensyaratkan agar pabrik membuat cerobong setinggi 20 m yang dilengkapi filter penyaring debu. Ternyata, menurut Midian Sirait, Dirjen POM Depkes, cerobong yang dibangun pabrik itu cuma 12 m, dan filter itu, setelah diteliti, tak memenuhi apa yang disyaratkan tadi. Dari cerobong itulah, menurut Midian, tersebar polusi. Selain itu, pabrik ternyata cuma punya mesin pengepakan berukuran 35 kg. Padahal, Depkes membutuhkan DDT yang dipak lebih kecil, 567 gr, agar mudah dikirimkan ke daerah-daerah malaria. Untuk memenuhi permintaan Depkes, pabrik lantas memecah bungkusan 35 kg tadi menjadi bungkusan kecil. Nah, sisa bungkus yang tak terpakai, seperti kardus dan plastik, dibakar di dapur bercerobong setinggi 4 m. Debu cerobong itu beterbangan ke kampung sekitar. Karena polusi itu, akhir September lalu, 50-an penduduk mendatangi pabrik menyampaikan protes. "Setelah itu, pembakaran sampah pabrik dihentikan," kata Udin kepala RT setempat. Memang, kemudian, semua kardus dan plastik bekas itu ditanam oleh petugas pabrik. Selain itu, menurut Midian, cerobongnya kini ditekukkan ke tanah dan diberi tapisan air. Sumur penduduk yang tercemar diganti dengan enam sumur bor yang dibangun oleh pabrik. "Sekarang tak ada lagi masalah," katanya. Bagaimana dengan penduduk yang mati? Midiah tak yakin, kematian itu karena polusi tadi. "Korban keracunan DDT baru mati kalau langsung meminum DDT 15 gram," ujarnya. Untuk memperjelas soal, sebaiknya mayat-mayat itu diautopsi. Tapi, sulitnya, penduduk tak rela diadakan pemeriksaan mendetail. "Tempat kuburnya saja tidak diberitahukan pada kami," kata Adhyatma. Amran Nasution Laporan Indrayati & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini