MENJELANG pukul 20.00 Rabu pekan lalu, sebuah sedan putih muncul di rumah Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam di kompleks Gatot Subroto, Jakarta. Penumpangnya empat orang: Kiai As'ad Syamsul Arifin, Mahbub Djunaidi, Anwar Nuris, dan Zachrowi Musa, sekretaris pribadi Kiai As'ad. Seperti biasanya, Kiai As'ad, pimpinan pesantren Salafiyah Syafiiah di Situbondo, Jawa Timur, itu mengenakan pakaian khas: serban putih yang menutup kopiah putih, baju putih, serta sarung putih. Mula-mula pertemuan berlangsung antara Mendagri, Kiai As'ad, dan Mahbub. Kemudian sekjen Depdagri Aswismarmo ikut serta. Usai pertemuan, yang berlangsung selama satu jam itu, Kiai As'ad pulang sambil membawa bungkusan, yang konon berisi bingkisan Lebaran berupa sarung pelekat dari Soepardjo Roestam. Mahbub menjelaskan, dalam pertemuannya dengan Mendagri, Kiai As'ad menyampaikan pendiriannya tentang konflik PPP. "Pendirian Kiai yang maksimum: Naro harus out. Sedangkan yang minimum, Naro bisa tetap dipertahankan, tapi bukan lagi sebagai figur yang dominan. Artinya, ia tidak bisa otoriter seperti sebelumnya," kata Mahbub. Caranya lewat pembentukan sebuah presidium atau pimpinan kolektif. Untuk itu, harus di lakukan pergantian pimpinan dalam DPP PPP. Selain itu, DPW dan cabang harus dikembalikan posisinya seperti sebelum muktamar Ancol Agustus 1984. Dalam pergantian ini, Darussamin dituntut untuk dikeluarkan dari DPP karena ia dianggap sukar diajak kerja sama. "Dalam komposisi baru itu, orang NU harus mendapat kedudukan sekjen," kata Mahbub. Pergantian ini, katanya, bisa dilakukan lewat forum penyelesaian kemelut PPP, yang kini tengah diusahakan. Sikap Kiai As'ad ini, menurut Mahbub cukup berubah dibanding sebelumnya. Pada Maret lalu, sikap As'ad lebih keras. Waktu itu ia, misalnya, menuntut Naro harus mundur sebagai ketua umum PPP dan muktamar luar biasa harus diselenggarakan. "Kini Kiai mehhat kondlsi secara realistis. Misalnya, muktamar 'kan baru saja diselenggarakan setahun yang lalu," kata Mahbub. Bagaimana kalau nantinya penyelesaian kemelut PPP tidak sesuai dengan harapan? "Kiai bersikap, dalam pemilu yang akan datang NU tidak akan berpartisipasi untuk PPP. Kiai akan melarang ulama NU berkampanye bagi PPP," Mahbub menegaskan. Ia mengingatkan, 85% pendukung PPP adalah warga NU. Apakah masuknya NU ke dalam kancah konflik PPP akan mengubah bentuk penyelesaian kemelut ini belum jelas benar. Tapi tampaknya keterlibatan NU memang membawa bobot lain karena mau tidak mau pemerintah harus mempertimbangkan keikutsertaan NU dalam PPP. Meski pemerintah mendukung keputusan NU untuk kembali ke khittah 1926 dan kembali menjadi organisasi nonpolitik, sebetulnya pemerintah tidak ingin melihat NU sama sekali meninggalkan PPP. Partisipasi NU dalam PPP, misalnya, diharapkan bisa mencegah munculnya ekstremisme dalam PPP. Untuk mempertahankan partisipasi ini, pemerintah agaknya bersedia memberikan semacam konsesi pada NU. Memenuhi sebagian tuntutan NU, misalnya. Namun, ada satu hal yang perlu dipertimbangkan. Sikap Kiai As'ad bukanlah sikap resmi NU. "NU tak ikut-ikut dalam konflik PPP," kata ketua tanfidziyah NU Abdurrahman Wahid. Kalaupun ada warga NU yang melibatkan diri, "Itu secara pribadi." Dulu, kata Abdurrahman, keputusan politik diserahkan pada PB NU. Kini tidak lagi. Lalu mengapa Kiai As'ad, yang menjadi pimpinan mustashar (penasihat) dalam NU, melibatkan NU sebagai organisasi ke dalam konflik PPP? Ada yang menganggap, peristiwa seperti itu adalah suatu hal yang biasa dalam organisasi seperti NU. Kiai As'ad, 88, memang ulama tertua dan paling berpengaruh di NU, dan terbiasa bersikap bebas. Dan tampaknya sulit mencegah kehendak ulama tua itu bila ia telah memutuskan sesuatu. Sejauh mana pemerintah akan menanggapi"tuntutan" dan "ancaman" Kiai As'ad, ma1 sih harus ditunggu. Mendagri Soepardja Roestam, pada Kiai As'ad pekan lalu, kabarnya hanya menjanjikan memasukkan sikap tersebut ke dalam catatannya. Betapapun, sikap Kiai As'ad yang lebih lunak itu makin membuka peluang bagi penyelesaian konflik PPP tanpa harus melalui suatu muktamar luar biasa. Dan tanpa muktamar luar biasa, kedudukan Naro sebagai ketua umum tampaknya masih akan bisa dipertahankannya. Apalagi kelompok Sudardji kini juga tidak lagi secara mutlak menuntut penyelenggaraan muktamar luar biasa buat menyelesaikan pertentangan mereka dengan kelompok Naro. Hal itu tersimpu dalam suatu studi kelayakan mengenai konflik PPP yang disusun Syarifuddin Harahap, yang diselesai kannya 11 Juni lalu. Di situ dinyatakan, "Bila penyelenggaraan muktamar (luar biasa) dirasakan terlalu mahal dan berat, forum yang cukup berbobot untuk perbaikan AD/ART serta program yang akan dipertanggungjawabkan dalam muktamar yang akan datang adalah Sidang Dewan Partai." Sidang Dewan Partai, menurut AD Partai, merupakan kekuasaan tertinggi di bawah muktamar, diadakan sekali dalam 2 1/2 tahun, atau atas usul sekurang-kurangnya sepertiga jumlah anggota Dewan Partai. Menurut Syarifuddin, "Sidang Dewan Partai itu minimal. Sebab, dalam forum ituj selain anggota DP'P, pengurus wilayah serta. wakil-wakil fraksi bisa ikut hadir. Ini aspek etis politis." Sedangkan aspek praktis politis kelompoknya tetap menghendaki reshuffl DPP PPP, termasuk ketua umum. Namun, Syarifuddin memberi isyarat, "Wawasan kai mi dengan mereka memang seperti air dari minyak. Tapi ini politik. Dalam politik, yang tidak mungkin secara teoretis bisa saja menjadi mungkin." Sikap kelompok Naro, yang tampaknyi kembali di atas angin, tetap. "Munculnya faktor NU dalam konflik PPP tidak ada pengaruhnya terhadap proses rukun. Rukun 'kan sudah ditentukan pemerintah, dengar kembali pada keadaan sesudah muktamar," kata sekjen DPP PPP Mardinsyah. Bagaimana kans perubahan DPP PPP? "Kalau ada pihak yang menginginkan reshuffle dalam kepengurusan DPP, itu bukan rukun. Untuk rukun, yang benar, ya, kembali ke kondisi sebelum muktamar." S.P Laporan A. Luqman dan Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini