BERMAIN tenis pada Hari Kebangkitan Nasional ternyata bisa dituding tidak nasionalistis dan dipermalukan di depan umum. Itu terjadi di Pare, ibu kota Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pagi itu, 20 Mei 1985, seperti biasanya sejumlah orang berlatih tenis di lapangan tenis yang terletak di halaman Kawedanan Pare. Sekitar pukul 8 latihan diakhiri, dan beberapa pemain pulang, hingga tinggal Seno Hadisubroto, sang pelatlh, serta tiga pemain, yang kebetulan warga keturunan Cina, membenahi peralatan. Mendadak, sekitar pukul 8.15 datang rombongan bupati Kediri Usri Sastradiredja, yang rupanya dalam peralanan ke tempat upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diadakan di stadion Candabirawa, lebih kurang satu setengah kilometer dari kawedanan tersebut. Melihat beberapa orang yang habis berlatih, Bupati menghampiri mereka. Menurut beberapa saksi mata, Bupati Usri tampak gusar, dan memanggil sang pelatih. Ia menanyakan nama dan pekerjaannya. Pak Bupati lalu memanggil ketiga pemain tenis yang tersisa, memegang kemeja salah seorang di antaranya dan mengguncang-guncangkannya. Tidak cukup dengan itu, Bupati juga melemparkan sebatang rokok menyala yang diisapnya ke arah seorang lainnya. "Pak Bupati marah dan menyebut mereka 'Cina-Cina goblok'. Ia menyalahkan mereka karena bermain tenis pada Hari Kebangkitan Nasional, dan menganggapnya suatu sikap yang tidak patriotis dan nasionalistis," kata seorang saksi mata. Kegusaran Bupati tak mereda meski keempatnya meminta maaf. Seno - yang pekan lalu menolak diwawancarai - kemudian diajak masuk mobil Bupati, meski dalam pakaian olah raga. Permohonannya agar diperbolehkan pulang ke rumah dulu untuk berganti pakaian ditolak. Ia dibawa ke stadion, tempat upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional berlangsung. Di sana ternyata sudah ada ketiga WNI keturunan Cina tadi, yang juga masih dalam pakaian olah raga. Di hadapan ribuan peserta upacara, Bupati menuding tiga WNI keturunan Cina dan satu WNI asli itu sebagai "benalu bangsa". "Mereka tidak mau tahu Hari Kebangkitan Nasional. Mereka enak-enakan main tenis, padahal adik-adik kita pelajar ini sejak pagi-pagi sudah berbaris di sini, mungkin banyak yang belum sarapan pagi." Usai upacara selama sekitar dua jam itu, "hukuman" berikutnya telah disiapkan: Bupati Usri membawa mereka ke makam pahlawan. Di makam pahlawan, keempat orang yang masih berpakaian olah raga itu diwajibkan ikut upacara, yang juga berisi kecaman Bupati pada mereka. Ternyata, hukuman Bupati seperti film seri, terus bersambung. Menurut sebuah sumber, Seno dilarang melatih tenis. "Padahal, melatih itu sumber nafkah satu-satunya buat dia," kata sumber tersebut. Selama beberapa hari, Seno juga dikucilkan para tetangganya karena tersebar "isu" bahwa Seno, 47, termasuk orang yang anti-Indonesia. Bahkan rumahnya dijaga polisi selama beberapa hari untuk mencegah luapan emosi massa. Tapi yang paling memukul Seno: salah satu putrinya, seorang siswi SMA, ikut hadir dalam upacara tersebut, dan melihat bagaimana ayahnya diperlakukan. Bukan cuma Seno yang dihukum. Ketiga WNI keturunan Cina itu: How Tjen, A Hok (Haryanto), dan A Wu aulianto), entah kenapa, juga dilarang bermain tenis. Banyak warga Pare yang menganggap hukuman itu keterlaluan. "Bukankah mereka sudah berhenti main tenis sekitar satu jam sebelum upacara berlangsung? Lagi pula, mereka sudah berkali-kali minta maaf. Toh, mereka tidak termasuk undangan yang hadir dalam upacara," kata seorang warga yang menolak disebut identitasnya. Menurut dia, Bupati Usri memang dikenal "keras" dan sering berbuat "aneh". Misalnya, pernah upacara mengheningkan cipta yang dipimpinnya diperpanjang berpuluh-puluh menit karena ada hadirin yang bersuara. "Pidatonya sering diperpanjang sampai berjam-jam kalau dia sedang marah. Pernah, dalam suatu upacara, dia melarang hadirin duduk sebelum dia datang," katanya. Bupati Usri Sastradiredja, 55, tak membantah telah menghukum Seno serta How Tjen dkk. "Bagi saya, itu tindakan yang paling tepat. Kalau tindakan saya itu dianggap salah, bukan saja jabatan saya yang siap saya tanggalkan, tapi nyawa saya sekalipun siap saya persembahkan," katanya berapi-api, ketika ditemui Jalil Hakim dari TEMPO, pekan lalu. Menurut Usri, jauh hari sebelum 20 Mei ia telah mengingatkan para pejabat tingkat kecamatan Pare, untuk bersiap memasuki peringatan Hari Kebangkitan Nasional. "Seperti yang dilaporkan kepada saya, semuanya beres, termasuk untuk tidak ada yang bermain tems pada hari itu. Ternyata, masih saja ada yang main tenis di lapangan milik pemerintah itu. Para peserta upacara sudah kepanasan menunggu, tapi keempat orang itu enak-enakan bermain tenis," katanya. Secara panjang lebar Usri menjelaskan usahanva selama ini untuk menanamkan rasa nasionalisme dan patriotisme Pancasila kepada seluruh warganya. Misalnya lewat pekik "merdeka". "Dalam setiap kesempatan, pekik itu harus diucapkan," katanya serius. Sewaktu menerima wartawan TEMPO, Usri memang meneriakkan, "Merdeka," yang disambut serentak oleh sejumlah stafnya yang hadir. Usri juga menjelaskan, "Baik dalam setiap acara penting maupun tidak penting, resmi atau tidak, wajib dinyanyikan Indonesia Raya dan dilakukan mengheningkan cipta." Selain itu, harus juga dinyanyikan lagu perjuangan lain, seperti Untukmu Pahlawan, Padamu Negeri, dan Mars Korpri. "Dalam acara arisan pun, kewajiban itu harus dilakukan," kata Usri. Tentang hukuman membawa keempat orang itu ke tempat upacara, Usri menyebut alasan, "Agar mereka juga merasakan bagaimana rasanya berpanas-panas di tempat upacara, dan agar mereka bisa mengerti dan paham tentang nasionalisme." Usri, yang 24 Juli mendatang mengakhiri masa jabatannya, mengakui, yang paling menyebalkannya adalah karena "para pemain tenis itu adalah orang-orang Cina yang seharusnya bisa menunjukkan rasa pembauran". Ia menganggap masalah ini sudah selesai. Sebab, tatkala ia bertanya apakah mereka akan melanjutkan persoalan itu, "Mereka hanya memohon maaf dan mengakui kesalahannya," tutur Usri. Ia membantah pernah mengeluarkan mstruksl melarang keempat orang itu bermain tenis. "Dan, kalaupun saya mau melarang, hak untuk itu ada pada saya. Mereka toh sudah menunjukkan sikap anasionalistis. Lagi pula, lapangan tenis itu milik pemerintah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini