SEEKOR sapi Matsoleh mati, perutnya kembung. Pada mulanya, peternak dari Dukuh Mesagi, Kecamatan Tutur, Pasuruan, ini tak terlalu risau. Bukankah si bongsor eks Selandia Baru itu ditanggung asuransi? Dia bayangkan, pengurus koperasi ternaknya akan segera datang sambil membawa uang kontan Rp 700 ribu. Namun, setelah hampir lima bulan dia menunggu, uang itu tak kunjung jatuh ke tangannya. Padahal, sudah tak terhitung lagi dia hilir mudik ke kantor Koperasi Setia Kawan (KSK), menanyakan uang duka itu pada pengurus. Belakangan ia tahu: uang duka sebagai klaim asuransi jiwa sapinya itu masih nyangkut di kantor ATJ (Asuransi Timur Jauh). Maka, Matsoleh, 57 tahun, pun mulai melenguh. "Saya gelo (kecewa) banget. Ternyata janjinya kosong," ujarnya. Pengurus KSK pun gelo terhadap pelayanan ATJ. "Kami sudah bolak-balik ke Surabaya untuk mengurus klaim, tapi, ya begitu, duitnya ndak turun-turun," kata Suprapto, Sekretaris KSK. Asuransi jiwa (sapi) itu masuk Kecamatan Tutur sejak awal tahun 1987 lalu, menjelang pembagian kredit sapi Banpres. Ketika itu petugas ATJ datang menawarkan jenis asuransi jiwa (sapi). Berkat gosokan petugas ATJ itu, para peternak terpikat. Walhasil, ke-542 sapi yang dibagikan ke anggota KSK semuanya mengikuti program asuransi jiwa. Betapa para peternak itu tak akan tergiur. Dengan premi Rp 36 ribu untuk dua tahun, bila seekor sapi mati akan diperoleh penggantian Rp 700 ribu. "Dalam tiga bulan uang itu pasti akan diterima," kata Suprapto, menirukan janji ATJ. Tawaran yang dipandang memadai, kendati kredit sapi itu Rp. 1.373 ribu besarnya. Ternyata, banyak sapi yang mati, hingga sampal kini mencapal 36 ekor. Penyebab kematiannya macam-macam: perut kembung, keracunan, tak doyan makan, ada pula yang terjungkal di jurang. Pada mulanya, tutur Suprapto, klaim itu mulus. Tujuh kematian pertama dibayar oleh ATJ, lewat koperasi. Tapi kematian berikutnya belum dibayar asuransinya. "Harap sabar, sedang diproses di Jakarta," kata Prapto, menirukan jawaban ATJ. Keresahan sejenis juga melanda Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) di Pengalengan Ja-Bar. Dari 659 sapi Banpres eks impor jatah untuk Pengalengan, yang tiba Maret lalu, tercatat 10 ekor gugur. Yang jadi masalah, menurut Sekretaris KPBS Darman, ATJ hanya mau menanggun kematian sapi yang telah tiga bulan tiba. Kematian di bulan pertama masih dapat ganti rugi dari pihak "pialang" PT Berdikari United Livestock. "Padahal, adaptasi kritis itu berlangsung sampai bulan ke-3, lalu siapa yang menanggung klalm bulan kedua dan ketiga," ujarnya. Banyaknya keluhan itU disadari oleh manajemen ATJ. Tapi, "Kami tak pernah punya niat mempersulit klaim para tertanggung," ujar Husny Rahman, Pelaksana Pimipinan Harian ATJ. Menurut Husny, banyak klaim yang dilayangkan koperasi itu tak sesuai dengan perjanjian. "Sapi sudah mati 4 bulan sebelumnya, klaim baru diajukan," katanya, menyebut sebuah kasus. Padahal, menurut perjanjian, kematian sapi mesti segera dilaporkan kepada pengurus koperasl, agar secepatnya mendapatkan berita acara kematian serta visum dari paramedis KUD, dokter hewan setempat, atau mantri hewan kecamatan. Persyaratn golnya klaim memang berderet, dari penyebab kematian, prosedur pembayaran premi, hingga pembuatan berita acara yang mesti dilampiri pasfoto sapi yang mati itu. Butir-butir perjanjian itu memang sulit dipahami peternak, pengurus koperasi, dan barangkali oleh petugas lapangan perusahaan asuransi sendiri. Padahal, populasi sapi makin meningkat dengan mortalitas yang cukup tinggi. Di Ja-Tim saja, pada periode April 1987 sampai Februari 1988, tercatat ada 17.544 klaim kematian. Tentu, diperlukan bermilyar rupiah kalau semua klaim itu harus dilayani. Tapi, mudah-mudahan bukan lantaran jumlaL itu banyak klaim jadi tertunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini