Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - M. Harjono Kartohadiprojo menceritakan perjalanan hidupnya yang dituangkan dalam autobiografi berjudul Melangkah di Tiga Zaman. “Mengapa (judulnya) Melangkah di Tiga Zaman, karena saya lahir sebelum Indonesia merdeka,” kata Harjono, saat konferensi video bedah buku Melangkah di Tiga Zaman, pada Senin, 10 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riwayat kehidupan Harjono terangkum dalam buku yang tebalnya 459 halaman itu. Harjono lahir pada 26 Desember 1938. Ia lahir semasa mendekati peralihan pemerintahan Hindia Belanda hingga kolonial Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat masa kolonial itu, ia masih balita. Semasa tumbuh dewasa, ia merasakan keseluruhan rezim pemerintahan, yaitu Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Buku autobiografi itu juga menceritakan pandangan Harjono selama menjalani keseluruhan rezim pemerintahan.
“Autobiografi ini saya menceritakan perkembangan menjadi manusia Indonesia mengikuti pergerakan yang ada,” tuturnya.
Sebegitu banyak ia menuturkan cerita hidupnya, salah satu perjalanan yang membentuk karakternya ketika menempuh pendidikan sekolah menengah atas di Kanisius. “Saya dibimbing keras sekali oleh para pastor Jesuit,” ucapnya.
Di Kanisius karakternya terbentuk untuk aktif dalam pergerakan, terutama ketika dipercaya menjadi Ketua Persatuan Pelajar Sekolah Katolik (PPSK) Kanisius. Sebelum melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, di penghujung masa SMA, ia terdidik belajar politik. Waktu itu momentumnya, saat Soekarno mengeluarkan Dekret 5 Juli 1959.
“Dari sana (Kanisius) saya merasakan ikut percaturan (perbincangan) politik,” ujarnya.
Minatnya untuk terlibat mempelajari isu politik pun berlanjut sampai ia kuliah, “Saat mahasiswa kami mulai mengikuti (isu) pertentangan politik di dunia. Waktu itu Perang Dingin,” tuturnya.
Menurut Harjono, tempaan pendidikan di Kanisius telah membuat dirinya terus berkembang. Padahal, kata Harjono, ia sempat merasakan sesuatu hal yang tak mengenakkan sebelum bersekolah di Kanisius. “Saya pernah tidak naik kelas sewaktu SMP,” kata mantan pengusaha pelayaran itu.
Saat bertutur dalam sesi bedah buku itu, Harjono pun menceritakan kenangan semasa ia masih bekerja. “Saya sudah (bepergian) ke 54 negara di dunia, bertambah pengetahuan dan pergaulan saya,” ucapnya.
Jopie Handaja –rekan Harjono semasa bersekolah di Kanisius— menuturkan, lingkungan sekolah melengkapi pendidikan dalam keluarga. “Romo Ordo Jesuit itu terkenal, karena intelektual dan sangat disiplin. Harjono masuk Kanisius setelah mengalami macam-macam hal di luar sekolah, berantem di mana-mana,” tuturnya.
Moderator bedah buku Melangkah di Tiga Zaman, Bambang Harymurti mengatakan, Harjono menulis autobiografi itu secara mengalir. “Kata (judul) Melangkah di Tiga Zaman itu buat saya seperti membaca personifikasi gerakan kebangsaan Indonesia,” kata mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu.
BRAM SETIAWAN