Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bermula dari sebuah diskusi ringan dalam halal bihalal dengan komunitas Perempuan Berkebaya, komunitas Kridha Dhari lahir dengan salah satu semangatnya melawan intoleransi. Ketimbang melawannya lewat perdebatan agama, komunitas ini menggunakan pendekatan kebudayaan untuk menjunjung kebhinekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami enggak mau head to head (agama), karena akan saling berbantah-bantahan masalah prinsip. Tapi kami alihkan pada hal yang lain, lebih ke jati diri bangsa," kata Ketua Kridha Dhari Prescilla kepada Tempo, Senin, 12 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu program yang digagas Kridha Dhari adalah mengenakan kebaya di hari Selasa, atau Selasa Berkebaya. Bekerja sama dengan Komunitas Perempuan Berkebaya, Kridha Dhari mengajak wanita-wanita Indonesia untuk mengenal lebih dekat jati diri bangsa dan punya kebanggaan akan budayanya melalui kebaya.
Berbagai kasus intoleran yang terjadi belakangan ini menunjukkan intoleransi tumbuh subur di Indonesia. Sebut saja kasus penolakan pengurus Dusun Karet, Pleret Kabupaten Bantul pada warga non-muslim yang hendak mengontrak di dusun itu mendapat kecaman. Teranyar, Bupati Bantul yang mencabut izin gereja di sana.
Penelitian Setara Institute yang dirilis akhir tahun lalu juga menunjukkan ada 10 kota paling intoleran, yaitu Tanjung Balai, Banda Aceh, Jakarta, Cilegon, Padang, Depok, Bogor, Makassar, Medan, dan Sabang.
Komunitas Kridha Dhari dan masyarakat melakukan kampanye Selasa Berkebaya di Hotel JW Marriott, Jakarta, 13 Agustus 2019. Dok: Kridha Dhari
Menurut Cilla, kebaya merupakan jati diri bangsa zaman dahulu. Nenek moyang bangsa Indonesia dulunya tidak memakai baju. Mereka baru mengenal pakaian dengan kebaya yang memiliki makna sesuai tradisi di daerah masing-masing. "Makanya kita mau coba lagi angkat cara berpakaian perempuan Indonesia dengan berkebaya," katanya.
Selain Selasa Berkebaya, Kridha Dhari juga tengah mencanangkan Kamis Nusantara dimana pada hari Kamis, para pria bisa mengenakan sarung atau kain lilit songket ke kantornya, sedangkan para wanita bisa menggunakan baju tenun dan aksesoris nusantara.
Dewan Penasihat Kridha Dhari Agus Marsudi menuturkan, program-program yang dicanangkan komunitas bisa sekaligus memberdayakan masyarakat pedesaan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya. Komunitas, kata Agus, juga membantu mereka dalam memasarkan hasil kegiatan.
Selasa Berkebaya mulai menjadi sebuah gerakan nasional pada 25 Juni 2019. Sejumlah pegiat budaya bersama masyarakat melakukan kampanye berkebaya di Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta.
Mereka mengenakan berbagai jenis kebaya dengan gaya berbeda-beda. Ada yang memadukan kebaya dengan kain batik, celana kulot, rok pendek dan sneakers. “Kebaya itu siapapun bisa pakai, dari mana saja juga pakai kebaya. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia itu pakai kebaya. Nah, saya punya ide kenapa kita tidak membuat saja hari untuk berkebaya,” kata Rahmi Hidayati, Pendiri Komunitas Perempuan Berkebaya, saat ditemui di Stasiun MRT Dukuh Atas, Selasa 25 Juni 2019.
Rahmi Hidayati menambahkan latar belakang kebaya justru merupakan lambang melawan intoleransi. Kebaya, kata dia, sesuai dengan keberagaman Indonesia. “Kalau melihat sejarahnya kebaya, itu sama dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Siapa bilang kebaya itu tidak Islami? Kebaya itu Islami banget. Perempuan berhijab juga bisa pakai kebaya, yang tidak berhijab juga bisa,” ujarnya.