BEGITU tiba di lapangan terbang Halim Perdanakusuma Rabu sore
pekan lalu, Menteri Luar Negeri Australia Bill Hayden langsung
membuka kartu. Ia mengakui adanya perbedaan politik antara
pemerintahnya dengan Indonesia, khususnya mengenai soal Timor
Timur. Namun, "saya akan mencoba membangun semacam jembatan yang
melintasi perbedaan-perbedaan yang ada," ujarnya pada pers yang
menyambutnya.
Jembatan itu tampaknya memang diperlukan. Bill Hayden, 50 tahun,
berasal dari Partai Buruh yang sebulan lalu memenangkan pemilu,
dan berkuasa menggantikan pemerintahan koalisi Partai Liberal
dan Partai Nasional Country di bawah PM Malcolm Fraser.
Sewaktu beroposisi, Partai Buruh yang diketuai oleh Hayden dalam
kampanye pemilu tahun lalu pernah mengeluarkan resolusi untuk
menentang penggabungan Timor Timur ke dalam RI. Tapi kini, suara
yang dibawakan oleh Menlu Hayden terdengar lembut. Sikap keras
begitu tentu saja tak akan dipertahankan oleh partai yang
berkuasa sekarang.
Namun suara Partai Buruh yang terdengar galak tadi, yang datang
dari tiap-tiap negara bagian di Australia, tak dengan sendirinya
mewakili suara fraksi Partai Buruh di parlemen Australia. "Suara
partai di parlemen bisa saja berbeda dengan yang di luar," kata
seorang anggota delegasi Hayden kepada TEMPO.
Dalam tiga hari kunjungannya, Hayden mencoba membangun jembatan
itu lewat perundingannya dengan para pejabat tinggi Indonesia
termasuk Presiden Soeharto dan Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Di
Jakarta ia juga menandatangani perjanjian pembentukan suatu
Pusat Bahasa Australia, serta sempat makan siang dan bertukar
pikiran bersama sejumlah pemuka Indonesia di gedung CSIS.
Hasilnya: "Jelas bahwa lebih banyak dialog diperlukan, namun
telah tercapai kemajuan yang berarti," katanya dalam suatu jumpa
pers. Kemajuan apa? Hayden menyebut sederet masalah, antara lain
penyatuan kembali sejumlah keluarga pengungsi Timor Timur yang
bermukim di Australia, kehadiran wartawan dan perwakilan media
massa Australia di Jakarta serta undangan kepada delegasi
parlemen Australia untuk mengunjungi Indonesia.
Buat pihak Indonesia, kemaJuan yang paling jelas tampaknya pada
sikap "baru" pemerintah Partai Buruh Australia mengenai masalah
Timor Timur. Dalam pernyataan tertulis yang dibagikan sebelum
Jumpa persnya, Hayden menyatakan pemerintahnya "mencatat",
Indonesia telah memasukkan Timor Timur ke dalam Republik
Indonesia, namun prihatin bahwa tindak penentuan nasib sendiri
di bawah pengawasan internasional belum terjadi di wilayah
tersebut.
Dalam basa-basi diplomatik, sikap "mencatat" dianggap suatu
langkah maju dibanding sikap "menentang keras". Namun Hayden
menolak mengungkap sikap apa yang akan diambil Australia dalam
perdebatan mengenai masalah Timor Timur di Sidang Umum PBB
Oktober mendatang. "Keputusan mengenai hal itu baru akan diambil
jika waktunya telah mendekat," tegasnya berkali-kali dalam jumpa
pers.
Karena telah ada kesepakatan bahwa mengenai substansi
pembicaraan Menlu Haydenlah yang memberi perjelasan, dari pihak
Indonesia tidak ada keterangan resmi mengenai hasil kunjungan
Hayden. Presiden Soeharto dan Menlu Mochtar kepada Hayden
kabarnya menyatakan menghargai sekali kunjungan yang dilakukan
begitu cepat setelah pemerintahan Partai Buruh terbentuk.
Kunjungan ini memang yang pertama dilakukan Hayden ke luar
negeri dalam masa jabatannya.
Tampaknya kali ini pemerintah Indonesia lebih bersikap pasif.
Pada pers Menlu Mochtar cuma mengatakan "Mudah-mudahan hasil
kunjungan ini memuaskan Menteri Hayden dan bisa membantu
memelihara perdamaian Indonesia dan Australia yang selama ini
cukup baik".
Buat pemerintah yang berkuasa di Australia, hubungan yang baik
dengan Indonesia agaknya memang dianggap sangat penting. Setelah
penggabungan Timor Timur ke RI pada 1976 hubungan kedua negara
memang kurang mesra. Sejak 1978 PM Malcolm Fraser berusaha
meredakan ketegangan ini, namun pendapat umum Australia - juga
beberapa media massanya tampaknya masih merasa was-was terhadap
Indonesia. Itu tampak pada hasil pengumpulan pendapat umum yang
dilakukan Morgan Gallup pada 1982: Indonesia dianggap negara
yang paling mengancam keamanan Australia setelah Uni Soviet
(TEMPO, 9 April).
Kini setelah berkuasa Partai Buruh tampaknya menganggap perlu
untuk lebih bersikap realistis. Australia, kata Menlu Hayden
dalam jumpa pers pekan lalu, perlu melihat pada wilayah di mana
ia berada, yakni di Asia Selatan dan Tenggara. "Jalan sejarah
kita akan ditentukan oleh jalan peristiwa di kawasan ini. Jika
kita gagal melibatkan diri dalam pembangunan wilayah ini, maka
kita membiarkan sejarah meninggalkan kita. Dalam kaitan inilah
arti penting Indonesia buat Australia," katanya.
Dalam kunjungannya ini Hayden memang telah mencapai beberapa
kemajuan. Antara lain: pemerintah Indonesia telah menyetujui
pembukaan perwakilan kantor berita Australian Assoaated Press di
Jakarta. Sejak awal 1981 tidak ada lagi koresponden Australia
yang menetap di Jakarta. Menlu Mochtar juga telah memberi
jaminan penyatuan keluarga pengungsi Timor Timur, sekitar 20
sampai 30 orang tiap bulan. Ketua DPR juga telah mengundang
suatu delegasi parlemen Australia untuk mengunjungi Indonesia.
Sedang kunjungan PM Australia Bob Hawke diputuskan untuk
dipercepat menjadi Juni mendatang.
Lewat serangkaian dialog, Hayden telah mencoba membangun
jembatan dalam kunjungan tiga harinya. Namun yang dibangunnya
baru jembatan antara pemerintah kedua negara. Jembatan
pengertian antara kedua bangsa, tampaknya masih butuh waktu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini