KANG Asmuni, pernahkah kau dengar cerita tentang Gareng di
Sriwedari? Kata yang punya cerita, ini terjadi di masa "Orde
Lama". Dalam salah satu adegan banyolan, si Gareng keliru
ngomong: dia pingin bilang "Ganefo", tapi yang keluar dari
mulutnya "ganewul".
Lalu, konon, pemegang peran Gareng itu pun dipanggil yang
berkuasa. Malah ka arnya dia ditindak. Dia memang telah bermain
dengan hal yang seakan-akan keramat: Ganefo adalah Games of the
New Emerging Forces, semacam olimpiade gagasan Bung Karno.
Ganewul adalah singkatan si Gareng untuk segane' thiwul, atau
"nasinya dari kue singkong"....
Begitulah, Kang Asmuni, seorang pelawak selalu punya risiko.
Humor dan lelucon pada dasarnya suatu pengambilan jarak. Juga
suatu sentuhan, hingga yang urut dan rapi, yang lazim dan dapat
diduga, tiba-tiba ambrol, berantakan - biar pun sekejap. Maka
jika ada perintah yang tak menghendaki siapa pun mengambil jarak
dari sekitarnya, biar pun beberapa menit, hidup seorang pelawak
akan terancam.
Kadang-kadang memang mengherankan, mendengar kasus seperti itu,
kenapa humor dibilang sehat. Tapi kenapa tidak. Mengapa tiap
orang setiap saat harus dengan waspada melibatkan diri dari
sekitarnya? Mengapa orang tak boleh membikin sekitar itu
tiba-tiba menggelikan?
Kenapa kita tak boleh sekali-sekali, tanpa berniat destruktif,
bermain-main dengan yang urut dan rapi, yang lazim dan dapat
diduga? Manusia adalah makhluk yang bisa ketawa. Humor adalah
suatu karunia. Sungguh menyedihkan, Kang, bahwa si Garengdi
Sriwedari itu - sementara dia hidup dalam humor - harus
membungkam humor itu sendiri.
Syahdan, ada seorang yang lucu dari Cekoslowakia. Namanya Milan
Kundera. Ia pengarang yang kini masyhur karena bukunya, Kitab
Tentang Ketawa dan Lupa, disambut hangat di Eropa - setelah
Kundera meninggalkan negerinya dan pindah ke Prancis. Ia
mengatakan, "Aku belajar nilainya humor selama masa teror
Stalinis."
Waktu itu umurnya baru 20 tahun. Cekoslowakia, di bawah
kekuasaan komunis berada pula di bawah kekuasaan garis keras
yang sering disebut sebagai "Stalinis". Di zaman Stalin kita
ingat ratusan ribu orang dipenjarakan, dan puluhan ditembak
mati. Kita ingat seluruh rakyat harus berada dalam satu garis
yang tunggal - yang tak boleh sedlkit pun mencong. Semua orang
harus terlibat dalam proses pembangunan sosialisme. Poster penuh
dengan gambar buruh berotot. Musik penuh dengan irama mars.
Dan orang pun takut ketawa. Lelucon dengan demikian dianggap
main-main, mungkin barang mewah mungkin pula gejala lengah yang
bisa menular. Suatu sabotase. Di masa seperti itulah hubungan
antara manusia pelan-pelan diliputi ketegangan, juga ketakutan.
Jika banyolan adalah semacam subversi, tiap orang harus
dimata-matai agar tidak suka seloroh dan dagelan seenaknya.
Dalam suasana tercengkeram itu bukan aneh bila Milan Kundera
baru sadar apa harga sebuah tawa: suatu tanda kebebasan suatu
petunjuk kembalinya sifat human. "Aku selalu dapat mengenali
seorang yang bukan Stalinis, seorang yang tak saya takuti, dalam
caranya dia tersenyum ....Sejak itu, aku selalu ketakutan oleh
sebuah dunia yang kehilangan rasa humor."
Kang Asmuni, seoran pelawak memang harus dihargai, bukan karena
dia punya peran moral, atau ideologis, atau mengobarkan semangat
juang. Seorang pelawak harus dihargai karena dia tetap
memelihara sebuah dunia yang tak kehilangan keleluasaannya untuk
berseloroh. Dan itu pun sudah suatu amal.
Tapi memang selalu ada orang-orang yang ingin lebih. Gareng di
Sriwedari tidak cukup diminta buat menjadi Gareng yang kocak. Ia
juga - begitulah dulu di zaman "realisme sosialis" - diharuskan
ngomong yang "revolusioner".
Dan tak cuma Gareng. Juga Gatotkaca, atau Hamlet, pemain
ketoprak atau penulis sajak, pelukis atau pun penyanyi
keroncong. Yang lucu tak cukup hanya lucu, yang indah tak cukup
hanya indah semuanya harus berfungsi lebih.
Seakan-akan seorang pelawak tidak bisa menjadi pejuang, kalau
dia tak mengucapkan kata-kata perjuangan dalam lawakannya.
Padahal bisa saja semalam ia membikin orang terpingkal-pingkal,
dan lupa tentang beratnya hidup sehari-hari - tapi paginya si
pelawak yang sama, sebagai warganegara, bekerja membangun jalan
desa. Tanpa omong.
Kang Asmuni, kan pasti tahu: ada saat untuk melucu, ada saat
untuk tidak melucu. Keduanya tak usah dicampur. Keduanya toh
dapat tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini