Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Lawakan

Di zaman stalin semua orang harus terlibat dalam proses pembangunan sosialisme. banyolan dianggap subversi. pelawak harus mengucapkan kata-kata perjuangan dalam lawakannya. kehilangan keleluasaan berseloroh.

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANG Asmuni, pernahkah kau dengar cerita tentang Gareng di Sriwedari? Kata yang punya cerita, ini terjadi di masa "Orde Lama". Dalam salah satu adegan banyolan, si Gareng keliru ngomong: dia pingin bilang "Ganefo", tapi yang keluar dari mulutnya "ganewul". Lalu, konon, pemegang peran Gareng itu pun dipanggil yang berkuasa. Malah ka arnya dia ditindak. Dia memang telah bermain dengan hal yang seakan-akan keramat: Ganefo adalah Games of the New Emerging Forces, semacam olimpiade gagasan Bung Karno. Ganewul adalah singkatan si Gareng untuk segane' thiwul, atau "nasinya dari kue singkong".... Begitulah, Kang Asmuni, seorang pelawak selalu punya risiko. Humor dan lelucon pada dasarnya suatu pengambilan jarak. Juga suatu sentuhan, hingga yang urut dan rapi, yang lazim dan dapat diduga, tiba-tiba ambrol, berantakan - biar pun sekejap. Maka jika ada perintah yang tak menghendaki siapa pun mengambil jarak dari sekitarnya, biar pun beberapa menit, hidup seorang pelawak akan terancam. Kadang-kadang memang mengherankan, mendengar kasus seperti itu, kenapa humor dibilang sehat. Tapi kenapa tidak. Mengapa tiap orang setiap saat harus dengan waspada melibatkan diri dari sekitarnya? Mengapa orang tak boleh membikin sekitar itu tiba-tiba menggelikan? Kenapa kita tak boleh sekali-sekali, tanpa berniat destruktif, bermain-main dengan yang urut dan rapi, yang lazim dan dapat diduga? Manusia adalah makhluk yang bisa ketawa. Humor adalah suatu karunia. Sungguh menyedihkan, Kang, bahwa si Garengdi Sriwedari itu - sementara dia hidup dalam humor - harus membungkam humor itu sendiri. Syahdan, ada seorang yang lucu dari Cekoslowakia. Namanya Milan Kundera. Ia pengarang yang kini masyhur karena bukunya, Kitab Tentang Ketawa dan Lupa, disambut hangat di Eropa - setelah Kundera meninggalkan negerinya dan pindah ke Prancis. Ia mengatakan, "Aku belajar nilainya humor selama masa teror Stalinis." Waktu itu umurnya baru 20 tahun. Cekoslowakia, di bawah kekuasaan komunis berada pula di bawah kekuasaan garis keras yang sering disebut sebagai "Stalinis". Di zaman Stalin kita ingat ratusan ribu orang dipenjarakan, dan puluhan ditembak mati. Kita ingat seluruh rakyat harus berada dalam satu garis yang tunggal - yang tak boleh sedlkit pun mencong. Semua orang harus terlibat dalam proses pembangunan sosialisme. Poster penuh dengan gambar buruh berotot. Musik penuh dengan irama mars. Dan orang pun takut ketawa. Lelucon dengan demikian dianggap main-main, mungkin barang mewah mungkin pula gejala lengah yang bisa menular. Suatu sabotase. Di masa seperti itulah hubungan antara manusia pelan-pelan diliputi ketegangan, juga ketakutan. Jika banyolan adalah semacam subversi, tiap orang harus dimata-matai agar tidak suka seloroh dan dagelan seenaknya. Dalam suasana tercengkeram itu bukan aneh bila Milan Kundera baru sadar apa harga sebuah tawa: suatu tanda kebebasan suatu petunjuk kembalinya sifat human. "Aku selalu dapat mengenali seorang yang bukan Stalinis, seorang yang tak saya takuti, dalam caranya dia tersenyum ....Sejak itu, aku selalu ketakutan oleh sebuah dunia yang kehilangan rasa humor." Kang Asmuni, seoran pelawak memang harus dihargai, bukan karena dia punya peran moral, atau ideologis, atau mengobarkan semangat juang. Seorang pelawak harus dihargai karena dia tetap memelihara sebuah dunia yang tak kehilangan keleluasaannya untuk berseloroh. Dan itu pun sudah suatu amal. Tapi memang selalu ada orang-orang yang ingin lebih. Gareng di Sriwedari tidak cukup diminta buat menjadi Gareng yang kocak. Ia juga - begitulah dulu di zaman "realisme sosialis" - diharuskan ngomong yang "revolusioner". Dan tak cuma Gareng. Juga Gatotkaca, atau Hamlet, pemain ketoprak atau penulis sajak, pelukis atau pun penyanyi keroncong. Yang lucu tak cukup hanya lucu, yang indah tak cukup hanya indah semuanya harus berfungsi lebih. Seakan-akan seorang pelawak tidak bisa menjadi pejuang, kalau dia tak mengucapkan kata-kata perjuangan dalam lawakannya. Padahal bisa saja semalam ia membikin orang terpingkal-pingkal, dan lupa tentang beratnya hidup sehari-hari - tapi paginya si pelawak yang sama, sebagai warganegara, bekerja membangun jalan desa. Tanpa omong. Kang Asmuni, kan pasti tahu: ada saat untuk melucu, ada saat untuk tidak melucu. Keduanya tak usah dicampur. Keduanya toh dapat tempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus