"SIAPA yang salah kalau harga dasar gabah terancam?" tanya Kepala Bulog Bustanil Arifin. "KUD . . ., Pak," jawab para pengurus KUD (koperasi unit desa) se-Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu pekan lalu. "Bagus. Kalau begitu, rapat ini tak perlu saya teruskan." Pertanyaan Kabulog dalam kesempatan bertemu dengan para pengurus KUD itu tak bermaksud melemparkan kesalahan turunnya harga gabah kepada KUD. Tapi Bulog, menurut Bustanil, memang sedang dirundung isu menolak membeli beras dan gabah petani. Akibatnya, harga dasar yang ditetapkan pemerintah pun, menurut isu itu, runtuh. "Padahal, berapa pun yang ditawarkan, asal memenuhi syarat, pasti dibeli oleh Bulog," katanya tegas. Bahwa Bulog hanya mau menerima kualitas gabah kering giling sebagai standar minimum ada alasannya juga. Kadar air 14% misalnya, menurut Bulog, merupakan batas maksimal agar dapat disimpan di gudang sampai dua tahun. Sebab, bila kadar itu menjadi 14,5%, daya simpannya sudah akan berkurang menjadi dua bulan. Apalagi jika mencapai 15%, yang berarti hanya bisa disimpan selama 15 hari. Padahal, untuk mencapai kadar 14% ini para petani dianggap mampu melakukannya. Yaitu dengan dijemur di bawah terik matahari. Tapi bagaimana kalau musim hujan? "Diharapkan KUD dapat mengeringkannya dengan alat pengering gabah," kata Bustanil. Untuk itu, beberapa unit mesin ini telah dikirimkan ke beberapa lokasi penghasil beras, termasuk Karawang. Hanya saja ada keengganan di antara petani untuk memanfaatkan alat ini. Maklum, ada biaya tambahan untuk pengganti bahan bakar dan operasinya. Namun, Bustanil sendiri, dalam pertemuan dengan para pengurus KUD Karawang itu, menyatakan adanya premi Rp 4 bagi KUD untuk setiap kilogram gabah yang dikeringkan itu. "Tapi ini hanya berlaku selama panen di musim hujan," katanya. Jadi, akan berlaku pada musim panen Januari hingga Februari tahun depan. Sedangkan bila KUD mengolah gabah itu menjadi beras sebelum menjual ke subdolog, preminya akan diberikan lima rupiah setiap kilogram beras. Untuk premi ini tak ada batasan waktu berlakunya. Berarti harga dasar beras yang Rp 285/kg akan menjadi Rp 290/kg. Angka ini merupakan kompromi dari tuntutan petani Karawang sebesar Rp 294 per kg. Kepada TEMPO Bustanil mengaku telah menyiapkan dana Rp 16,5 milyar untuk premi Ini. Yaitu untuk satu juta ton gabah dan 2,5 juta ton beras. Dalam prakteknya, Ir. Sapuan, Kepala Biro Pengadaan Dalam Negeri Bulog, memperkirakan premi yang dibayar akan jauh lebih kecil. "Berdasarkan pengalaman, pengadaan bulan Januari Februari itu hanya sekitar seratus ribu ton beras dan dua ratus ribu ton gabah saja," katanya. Ia memperkira kan pengadaan Bulog untuk anggaran tahun depan berkisar 2,3 juta ton ekuivalen beras. Tapi angka ini tentu bisa berubah. Sebab, seperti dikatakan Sapuan. "Selama KUD masih menjual dengan kualitas yang sesuai, kita tampung." Saat ini, berdasarkan data Bank Rakyat Indonesia, terdapat 6.533 buah KUD. Lembaga ini merupakan penjual terbesar bagi Bulog. "Sekitar 75% hingga 80% dari total," kata Sapuan. Tak semua beras KUD dijual kepada Bulog. KUD Kecamatan Banjaran, Kodya Bandung, misalnya, hanya menjual dua pertiga ke subdolog. "Biasanya dalam sekali panen kami membeli 150 ton gabah dari petani dan yang 100 ton dijual ke dolog," kata H. Maskur, 72, ketuanya. Kalau saja semua KUD seperti di Banjaran, Bulog tentu senang. Sebab, yang jadi persoalan sekarang adalah menumpuknya stok di gudang-gudang. Maklum, produksi ternyata melebihi konsumsi, sementara harga internasional sedang anjlok. Apalagi, seperti disampaikan Bustanil kepada DPR, "Untuk setiap 100.000 ton beras yang kita ekspor, harga beras internasional akan jatuh 5 dolar AS per ton." Ia mengutip angka ini berdasarkan penelitian tim Departemen Keuangan bersama para ahli dari Universitas Harvard, AS. Di pihak lain, untuk menyimpan 2,5 juta ton beras saja dikabarkan Bulog harus mengeluarkan dana sekitar Rp 800 milyar setahun. Tak heran kalau tim ahli yang sama juga meramalkan Bulog bisa mengalami kebangkrutan dalam dua tahun mendatang jika pemerintah tak turun tangan. Maklum, dengan stok 3,5 juta ton saja Bulog harus membayar lebih dari Rp 6 milyar setiap bulan untuk membayar suku bunga saja. Maka, terasa wajar kalau Bulog berharap produksi beras tak terlalu melimpah. Pengereman laju produksi ini bisa dicapai, menurut Bustanil, jika subsidi pupuk dihilangkan. Karena itu, dalam pertemuan di Karawang tadi ia sempat mengatakan, "Jangan terkejut kalau pemerintah menaikkan harga pupuk." Pasalnya, ia berpegang pada rumus tani yang pernah di sepakati yaitu harga 1 kg gabah setara dengan harga 1 kg pupuk. Nah, saat ini harga pupuk hanya Rp 100/kg, padahal harga gabah sudah Rp 175. Soalnya, apakah akhirnya harga pupuk akan naik, tampaknya akan bergantung pada perkembangan tahun depan. Yang pasti, pemerintah telah menurunkan subsidi pupuk 10%-13%, yang berarti pengurangan sebesar Rp 80 hingga 100 milyar setahun. Alasannya "keuntungan yang diterima pabrik pupuk bisa dikurangi". Memang dari 11 pabrik pupuk yang ada diperkirakan mereka telah mengumpulkan keuntungan 200 milyar setahun. Padahal, pembelian pupuk mendapat subsidi pemerintah hingga sekitar Rp 800 milyar untuk 1985/86. Harga pupuk dari pabrik-pabrik itu berkisar antara Rp 90 dan 160 setiap kilogram, sementara pemerintah menjualnya kepada petani dengan harga Rp 100 itu. Bambang Harymurti Laporan biro Jakarta dan Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini