INVASI Vietnam ke Kamboja sebenarnya punya sejarah panjang. "Sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu," kata Mochtar Kusumaatmadja yang tetap giat memantau kawasan Indocina ini. Di masa lalu, Kamboja memang acap diperebutkan oleh berbagai kerajaan. Ter masuk kerajaan di Vietnam ataupun di Muangthai. Ada beberapa hal yang menyebabkan Kamboja sering menjadi ajang sengketa. Selain dikenal memiliki tanah yang subur, daerah ini memang terletak antara dua kekuatan besar yang bersaing. Ditambah lagi kawasan ini merupakan tanah datar yang mudah dilalui. Maka, jadilah ia suatu wilayah yang selalu diamati tetangganya dengan teliti. Para tetangga itu kini adalah Vietnam dan Muangthai. Dan Vietnam tentu merasa cemas ketika serdadu rezim Pol Pot yang sedang berkuasa di Kamboja merasuk 30 km ke wilayah Vietnam, Oktober 1978. Segera terbit kecurigaan bahwa ulah ugal-ugalan ini didalangi RRC. Sebab, ketika itu, Vietnam memang sedang bermusuhan dengan RRC, tetangganya di utara yang sempat menjajah Vietnam selama tujuh abad. Apalagi laporan intelijen menyebutkan bahwa ribuan penasihat militer RRC membantu tentara Pol Pot. Tentu Vietnam tak bisa tinggal diam. Maklum, dari Kota Saigon (Ho Chi Minh City) ke perbatasan Kamboja jaraknya cuma 60 km. Dan serangan balik yang dilakukan tak tanggung-tanggung. Ketika umat Nasrani di dunia sedang merayakan hari Natal 1978, pasukan negara ini balik menyerbu masuk ke Kamboja. Dalam tempo dua minggu ibu kota Kamboja, Phnom Penh dikuasai dan sebuah rezim boneka di bawah pimpinan Heng Samrin ditegakkan. Heng Samrin sebenarnya bukan pilihan utama Vietnam. Target utama sebenarnya adalah Pangeran Sihanouk yang ketika itu masih bekerja sama dengan Pol Pot. Namun, satuan komando elite yang diperintahkan mengamankan sang pangeran ternyata gagal melaksanakan tugasnya Sihanouk berhasil kabur dengan pesawat terakhir yang meninggalkan Phnom Penh sesaat sebelum kota ini dikuasai Vietnam. Kegagalan ini ternyata berharga mahal. Sebab, dengan lolosnya Sihanouk, berarti pula lolosnya pengakuan internasional atas rezim baru Kamboja. Dan sejak saat itu pula isolasi diplomasi mulai melilit Vietnam yang dianggap melakukan invasi. Akibatnya, Heng Samrin tak diakui dunia internasional dan kursi negara ini di PBB dikuasai oleh koalisi musuh-musuhnya. Akibat isolasi ini tidak murah. Untuk mengamankan pemerintahan Heng Samrin, Vietnam terpaksa mengerahkan lebih dari 100 ribu tentaranya di Kamboja. Untuk itu terpaksa negara yang dikenal sangat tinggi semangat patriotismenya ini menggantungkan diri pada bantuan Rusia. Konon, besarnya mencapai 1,8 milyar dolar AS setiap tahun. Kombinasi biaya mahal dan pasukan yang banyak ini terbukti kurang manjur. Sebab, kendati secara rutin melakukan operasi militer tahunan secara besar-besaran, Vietnam tak mampu membersihkan Kamboja dari satuan gerilya musuh-musuhnya. Bukan berarti serdadu Vietnam yang dikirim ke Kamboja kurang tangguh. Pasalnya, para gerilyawan itu mendapat bantuan dari negara lain dan selalu dapat kabur keluar dari perbatasan negara, terutama ke Muangthai. Walhasil, sembilan tahun kemudian, Vietnam agaknya mulai menyadari bahwa penyelesaian militer terlalu mahal. Maklum, menurut pengakuan pihak Vietnam sendiri, sedikitnya 55 ribu serdadunya tewas di Kamboja. Ini berarti lebih banyak dari korban tentara AS selama Perang Vietnam yang "cuma" 47 ribu itu. Kemahalan ini semakin terasa sejak Gorbachev mulai berkuasa di Rusia. Sebab, kebijaksanaan perestroika Gorbachev mengubah bentuk bantuan Uni Soviet ke Vietnam. Tadinya bantuan diterima dalam bentuk pinjaman lunak atau hibah, tapi sekarang menjadi pinjaman berbunga lumayan tinggi. Pinjaman seperti ini -- diperkirakan jumlahnya kini hampir 8 milyar dolar -- tentu semakin memberatkan ekonomi Vietnam yang sudah morat-marit itu. Upaya menggerakkan ekonomi dengan menarik modal asing pun terhambat karena isolasi diplomasi yang dilakukan negara-negara blok Barat yang umumnya adalah pemilik modal. Ironisnya bagi Vietnam, ekonomi Kamboja tampaknya justru lebih maju. Terbukti nilai tukar mata uang Kamboja, riel, ternyata lebih stabil daripada dong Vietnam. Dan seperti dikatakan seorang pengamat Barat, "Jauh lebih banyak mobil baru di Phnom Penh daripada di Ho Chi Minh City." Bahkan belakangan ini dikabarkan beberapa daerah Vietnam mengalami bencana kelaparan. Masalah ekonomi tampaknya hanyalah salah satu sebab Vietnam melunakkan sikap politiknya dalam penyelesaian masalah Kamboja. "Dari segi geopolitis pun Vietnam mendapatkan banyak tekanan," kata Jusuf Wanandi, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta. Faktor geopolitis yang paling besar adalah semakin mesranya hubungan antara Uni Soviet dan RRC. Bahkan Gorbachev dikabarkan akan berkunjung ke Beijing bulan depan. Ini tentu mengkhawatirkan bagi Vietnam yang menganggap RRC musuh utama. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Uni Soviet ternyata cuek saja ketika kapal Vietnam ditenggelamkan angkatan laut RRC di dekat Kepulauan Spratly, awal tahun ini. Berarti telah terjadi perubahan dalam hubungan perkawanan antara Vietnam dan Uni Soviet. Dan ini konon membuat banyak orang Vietnam berang. Karenanya,para pramuniaga di Ho Chi Minh City, menurut majalah Far Eastern Economic Reviev, sempat menolak melayani orang Rusia. Berbagai tekanan ini kelihatannya menyebabkan pimpinan Vietnam yang pragmatis mendapat angin buritan. Ini berarti kemungkinan penarikan seluruh pasukan Vietnam dari Kamboja semakin besar. Jadi, boleh berharap penyelesaian masalah Kamboja semakin dekat ke ambang pintu. Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini