ZAKAT, yang 14 abad silam sudah disyariatkan kepada umat Islam, belum habis-habisnya dijadikan kajian. Bahkan MUI (Majelis Ulama Indonesia), yang mengadakan rapat kerja nasional (rakernas) di Hotel Syahid Jaya Jakarta, hingga Rabu pekan lalu, kembali membahasnya secara khusus. Sidang dalam Komisi Zakat MUI kemudian tak alpa menilai bahwa hasil zakat memang punya dampak dalam masyarakat. Dan sekarang keadaannya tambah berubah di kalangan kaum muslimin -- seperti banyak tumbuh orang yang berkecukupan dan kaya (aghniya'). Namun, mereka tidak bisa mengelak dari kewajiban bayar zakat, memberi infak dan sedekah. Hanya masih ada di antaranya yang belum menunaikan kewajiban itu. "Mereka juga ada yang belum tahu caranya menghitung zakat," kata K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI. Karena itu, sekarang memang perlu segera diprakarsai membentuk lembaga konsultasi. Lembaga ini dikelola secara profesional. Fungsinya bukan memungut zakat seperti BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah), tapi menjadi tempat orang bertanya tentang segala soal tadi. Misalnya, harta apa saja yang wajib dizakati. Sedangkan penghitungan zakatnya bisa melalui sistem komputer. Tapi sementara ini MUI mengharapkan ada mobilisasi pengumpulan zakat, yang pelaksanaannya dijadikan "gerakan umat". Supaya tujuan tercapai, organisasi dan lembaga Islam di daerah-daerah ramai-ramai pula mendirikan badan amil zakat. Juga, informasi tentang zakat ditonjolkan dalam kurikulum sekolah umum dan sekolah agama, di samping pelajaran prakteknya di lapangan. Cuma, ketika Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama diminta ikut mendorong mengutip zakat, pembahasan dalam Komisi berubah alot. Malah ada yang tanya campur tangan pemerintah itu apa langsung sebagai pengelolanya. Sebagian ulama menolaknya. Alasannya: Mendagri Rudini, yang juga anggota Dewan Pertimbangan MUI, belum menghendaki pemerintah mengelola zakat. Memang, dalam rapat dewan itu -- sehari sebelum rakernas -- Rudini menginginkan zakat tetap dikelola umat. Sementara, dari sisi lain, kata Rudini, aparat pemerintah cukup mengawasi dan membina saja. Berbeda dengan Prof. K.H. Ibrahim Hosen. Ketua Sidang Komisi Zakat ini malah merasa perlu campur tangan itu. Sembari mengutip Quran, surat al-Tawbat: 103, dia berujar, "Zakat memang syariat Islam, tapi pelaksanaannya perlu dari pemerintah." Ketua Komisi Fatwa MUI ini kemudian mengingatkan perihal hukum zakat yang masih beragam. Akibatnya, zakat yang dikumpulkan selama ini tidak intensif. Menurut Ibrahim Hosen, pemerintah adalah wakil para penerima zakat yang delapan orang (ashnaf tsmaniyyah). Bila seseorang membayar zakat lewat amil yang diangkat secara resmi oleh pemerintah, maka ia sudah lepas dari kemungkinan zakatnya tak sampai ke tangan penerima. Lain dengan badan amil zakat swasta atau yang perorangan. Bila zakat yang diberikan mereka lewat amil hilang di tengah jalan, maka pembayarnya dianggap belum memenuhi kewajiban agamanya. Supaya keragaman berubah seragam, maka pemerintah diminta ikut membenahinya. Dan keseragaman ini pernah pula direkomendasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama -- usai hasil penelitiannya diseminarkan akhir November silam di Masjid Istiqlal Jakarta. Dalam pada itu, dalam Raker MUI masih ada yang agaknya belum dikaji. Misalnya, status khums -- pajak tahunan seperlima atau 20%. Praktek khumus selama ini memang dikenal di tengah Syiah. Tapi khumus sebenarnya bukan "monopoli" mereka, karena dasarnya disebut dalam Quran, yaitu surat al-Anfal: 41. Lagi pula, apa ketentuan zakat 2,5% itu masih dipertahankan, padahal perubahan zaman sudah tidak menghendakinya? Karena khumus mirip "pajak", mungkin bisa dikenakan kepada pengusaha muslim -- apalagi kalau dia konglomerat. Tetapi, bila dipungut khumus, ia juga diringankan bayar pajak, sehingga si terpajak tidak pula dipijak "pajak ganda". Ingat saja seperti di zaman Nabi yang menetapkan Yahudi dan Nasrani tidak dipungut zakat, tapi tetap bayar pajak. Selama ini ada beda pendapat: pajak dipisahkan dari zakat. Alasannya karena perintah, motivasi, peraturannya berlainan. Zakat menyangkut keagamaan, pajak berkaitan dengan kesadaran bernegara. Tapi ada yang menganggap zakat dan pajak sebagai kesatuan. Di zaman Nabi ini pernah dilaksanakan. Masih banyak lekuk-liku yang belum terbenahi. Bahkan ada yang mempertanyakan zakat yang penghasilannya dari sawah tadah hujan, irigasi, ladang. Beda persentasenya? Dan kalau dulu tak ada "zakat ikan", bagaimana mereka yang sekarang membuka tambak udang, ikan lele, bandeng masih dibebaskan dari zakat? Karena itu, Ibrahim Hosen berpendapat, kendati zakat bagian dari syariat Islam, dan selalu menjadi bahan perdebatan ulama, hukum pelaksanaannya (fiqhiyyah) adalah keputusan duniawi. Maka, tidak heran ketika sidang pleno sebelum keputusan rakernas MUI dibacakan, muncul usul yang minta pemerintah membuat Undang-Undang Zakat. Sayang, suara segar ini kesandung kecurigaan. "Waktunya belum sekarang. Nanti dikira mau melaksanakan Piagam Jakarta," kata K.H. Hasan Basri. Padahal, pada 1966 Bung Hatta sudah pernah melayangkan gagasannya: Undang-Undang Pokok Wajib Zakat sudah waktunya disusun. Usul ini, lima tahun silam, ditampilkan lagi oleh rombongan ulama dari Bengkulu, ketika menghadap Presiden Soeharto. Sebaliknya, Presiden menggugah hati umat agar mengumpulkan zakat, karena mampu meratakan kekayaan di suatu negeri dan menghapuskan kemiskinan. Itu dimulai pada peringatan Isra' Mikraj di Istana Negara, Oktober 1968. "Di sini saya mengumumkan kepada umat Islam di Indonesia. Sebagai langkah pertama, saya pribadi bersedia mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran ini," kata Presiden. Pak Harto kemudian banyak menerima kiriman wesel zakat. Akhir November 1970, sesudah salat Idulfitri di Istiqlal, diumumkan hasilnya. Selama dua tahun, terkumpul Rp 39,5 juta dan 2,5 ribu dolar AS -- sebagian dikembalikan kepada umat Islam di seluruh Indonesia, hingga berdiri 265 masjid-musala, 241 madrasah-pesantren, dan 222 lembaga Islam lainnya. "Kita menghimpun kemampuan yang kecil dari kita masing-masing agar jadi kekuatan yang besar," seru Pak Harto. Setelah itu, semangat berzakat merebak. Di Provinsi Aceh, yang bebas mengatur urusan keagamaan, pendidikan dan adat, bahkan dimulai dengan terobosan: zakat itu dipotong dari gaji pegawai. "Zakat Jasa," demikian istilah Prof. Ali Hasymi, Ketua MUI di sana. Bermuara dari pegawai Departemen Agama, merembet ke IAIN, Kantor Dolog, lalu di industri besar PT Arun, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk ASEAN. Jakarta sebagai ibu kota tak mau ketinggalan. Pada 1968, BAZIS diresmikan dan dipakai jalur pemerintah. Lancar jalannya. Tahun lalu target Rp 1 milyar terpenuhi. Pemda DKI selama 21 tahun mengeluarkan 38 SK pembentukan organisasi, kepengurusan BAZIS, instruksi, pelaksanaan mengelola zakat, dan edaran mengimbau masyarakat supaya membayar zakat. Bahkan pengumpulan model ini merembet ke enam provinsi -- di Jawa, Sumatera, Kalimantan. Empat di antaranya mengeluarkan SK mengenai pengelola ('amil) zakat di daerahnya. "Perhatian pemerintah itu menentukan keberhasilan mengelola zakat," kata H. Muh. Nahar Nahrawi, S.H., Kepala Puslitbang Kehidupan Beragama Departemen Agama. Tapi, untuk lingkup kecil, agaknya patut dilirik BAZIS Desa Putukrejo, Malang, Jawa Timur. Selain mereka mampu mengumpulkan zakat, juga pengelolaannya produktif. Lewat Koperasi Fakir Miskin Kredit Candak Kulak (KFM-KCK) kemudian terkumpul modal Rp 250 juta. Setelah modal diputar, hasilnya untuk membangun 58 rumah gratis bagi orang yang tidak mampu, pondok pesantren, gedung SMP dan SMA. Itu baru di satu desa saja. BAZIS di sana membantu mereka yang tidak mampu, karena itulah suatu upaya dari hasil pengutip zakat: mengenyahkan kemiskinan atau mungkin godaan dari yang bisa merusak iman seseorang. Sekurang-kurangnya, demikian pesan Rasulullah yang tersebut dalam Hadis Muslim, jangan membiarkan umat menjadi gelandangan dan pengemis berkepanjangan. Melalui lembaga zakat, Islam sebenarnya memang tidak mentolerir "profesi" buruk itu dihidupkan. Sebaliknya, umat itu disuruh saling membantu, gigih bekerja, dan berusaha berinisiatif. Ahmadie Thaha dan Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini