Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Situasi politik dan keamanan di Papua rawan konflik setelah pengesahan tiga provinsi baru.
Kelompok bersenjata menembak mati 10 orang di Kabupaten Nduga.
Pemerintah didesak mengedepankan pendekatan perundingan damai dalam menangani masalah Papua.
JAKARTA – Pemekaran Provinsi Papua dinilai telah membuat situasi politik dan keamanan di Bumi Cenderawasih semakin panas. Langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berkukuh mengesahkan tiga undang-undang pembentukan provinsi baru dikhawatirkan bakal memperuncing konflik di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti isu Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elizabeth, melihat adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan sebagian orang asli Papua ihwal pembentukan Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Pemerintah yakin berbagai permasalahan di Papua bakal selesai lewat pemekaran. “Bagi warga Papua, yang harus diselesaikan adalah konfliknya dulu. Artinya, dengan pemekaran, tak berarti konflik selesai,” kata Adriana, Selasa, 19 Juli 2022. “Konflik sifatnya jangka panjang dan persoalannya juga belum selesai. Jadi, justru pemekaran ini akan menambah persoalan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adriana menyitir pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang mengklaim 82 persen masyarakat di Papua menyepakati pemekaran. Terlepas dari benar atau tidaknya klaim tersebut, kata Adriana, setidaknya terdapat 18 persen warga yang menolak pemekaran. Pemerintah semestinya tak begitu saja mengabaikan mereka.
Menurut Adriana, potensi konflik juga meningkat karena dipicu oleh kebijakan pemekaran wilayah yang justru menyasar daerah-daerah yang selama ini menjadi titik panas kekerasan. Dia mencontohkan Kabupaten Pegunungan Bintang, yang selepas pemekaran menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan. Daerah ini, kata Adriana, paling sering menjadi lokasi konflik bersenjata. “Jadi, sangat beralasan isu pemekaran ini menaikkan dinamika konflik yang terakhir ini,” kata Adriana.
Pemekaran Provinsi Papua disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 30 Juni lalu. Sebanyak 20 kabupaten yang dulu menjadi bagian dari Provinsi Papua kini beralih ke Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.
Pengesahan undang-undang pemekaran Papua itu sejak awal dikhawatirkan menjadi bara dalam sekam di Bumi Cenderawasih. Selepas pengesahan undang-undang tiga provinsi baru tersebut, kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyatakan penolakan. Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan pemekaran merupakan bagian dari politik pendudukan yang berpotensi mengancam penduduk asli. “Kami akan memberi peluru untuk membunuh siapa saja orang Indonesia yang masuk di wilayah pemekaran karena mereka membahayakan penduduk asli,” kata Sebby pada 30 Juni lalu. “Itu akan terjadi. Tunggu dan lihat saja di lapangan.”
Sabtu lalu, 16 Juli 2022, TPNPB-OPM menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa penembakan yang menewaskan 10 orang di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Korban tewas merupakan warga sipil yang mayoritas pendatang, satu di antaranya seorang pendeta.
Kabid Humas Polda Papua, Komisaris Besar A.M. Kamal, menunjukkan foto kondisi korban serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampung Nogolait, Nduga, Papua, 16 Juli 2022. Dok. Polda Papua
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, mengatakan baku tembak antara TPNPB-OPM dan aparat TNI-Polri sudah sering terjadi sebelum pemekaran. Namun, dia menilai, konflik sosial semakin rawan terjadi sejak undang-undang pembentukan tiga provinsi baru disahkan. Pada 14 Juli lalu, kata Emanuel, aksi damai menolak pemekaran digelar serentak di Jayapura, Nabire, Manokwari, Sorong, dan Mimika.
Menurut Emanuel, potensi konflik horizontal meningkat lantaran masih ada perbedaan pendapat di antara penduduk di daerah pemekaran. Dia mencontohkan, sebagian masyarakat Kabupaten Mimika masih berharap Timika menjadi pusat pemerintahan Provinsi Papua Tengah. Sedangkan pemerintah menetapkan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Kabupaten Nabire. Selain itu, sebagian warga Kabupaten Pegunungan Bintang tetap ingin berada di bawah naungan Provinsi Papua ketimbang Provinsi Papua Pegunungan. “Dengan adanya perpecahan inilah dikhawatirkan tercipta konflik sosial,” kata Emanuel.
Dia mengingatkan, sebelum undang-undang pembentukan tiga provinsi baru disahkan, pemekaran juga telah memakan korban. Pada April lalu, dua demonstran penolak daerah otonomi baru tewas dalam unjuk rasa di Yahukimo yang berakhir ricuh. Emanuel khawatir konflik akan meruncing jika pemerintah terus mengabaikan persoalan ini.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat sesi wawancara dan foto dengan Tempo, di kantor Amnesty International Indonesia, Jakarta, Selasa, 22 Oktober 2019. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Usman Hamid, dari Koalisi Kemanusiaan untuk Papua, mengatakan panasnya suhu politik di Papua ini juga berpotensi meluaskan eskalasi konflik. Selain dalam bentuk kekerasan menggunakan senjata, konflik bisa terjadi di tingkat legislasi, termasuk dalam hal kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Pasalnya, pemerintah dan DPR ngotot mengesahkan pemekaran saat Majelis Rakyat Papua (MRP) tengah menggugat Undang-Undang Otonomi Khusus di Mahkamah Konstitusi.
Walhasil, pemekaran dianggap sebagai bentuk resentralisasi pemerintahan. “Ini punya implikasi yang cukup serius ke depan, termasuk soal pengelolaan sumber daya alam,” kata Usman. “Kami khawatir konflik legislasi, kebijakan, dan senjata di tingkat bawah adalah sesuatu yang semakin saling berhubungan.”
Dia mendorong agar pemerintah mengevaluasi pendekatan yang selama ini cenderung berorientasi ke keamanan dan sentralistis terhadap Papua. Pemerintah, kata Usman, semestinya mulai membuat kebijakan-kebijakan yang mengedepankan penjajakan perundingan damai. “Perundingan damai adalah satu-satunya jalan untuk meredam eskalasi konflik yang bisa berkepanjangan,” kata Usman.
Mahfud Md. dan Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irwan, tidak menanggapi saat dimintai tanggapan ihwal meningkatnya konflik setelah pemekaran Papua. Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri menyatakan tetap akan melakukan roadshow di tiga provinsi baru. “Untuk melihat persiapan penyelenggaraan pemerintahan sebelum pemilihan umum serentak pada 2024,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo di Papua.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo