TIGA juta anggotanya, rapi organisasinya. la partai komunis tertua di Asia. Ia malah kemudian jadi partai komunis terbesar ketiga di dunia. Tapi toh PKI rontok, tanpa perlawanan yang berarti. Baik musuh maupun simpatisannya tak kunjung percaya bahwa PKI bisa amat rapuh. Orang pun bertanya kenapa kehancurannya terjadi begitu mudah. Sebuah studi yang terbit di tahun 1984, dan ditulis oleh sarjana Swedia, mencoba memberikan jawab. Dr. Olle Tornquist dari Universitas Uppsala mengadakan penelitian dan interviu di Negeri Belanda, Australia, dan Indonesia, antara lain dengan bekas-bekas kader PKI. Ia sendiri seorang kiri, biasa dengan kamus dan analisa MarxisLeninis. Yang menarik, kesimpulan telaahnya yang cukup serius ini, yang berjudul Dilemmas of Third World Communism, The Destruction of the PKI in Indonesia, menunjukkan letak kesalahan partai yang dipimpin D.N. Aidit ini pada sebab yang paling dasar: teori. Bagi Tornquist, kesalahan utama PKI ialah teori yang keliru yang dipakai pimpinan Partai untuk menganalisa masyarakat Indonesia. Karena teorinya salah, strategi yang disusun berdasarkan teori itu juga salah. Umpamanya pandangan PKI tentang negara dan pemerintah Indonesia waktu itu. Bagaimana Partai melihat negara dan pemerintah RI tak jelas benar, tapi umumnya positif: bukan sebagai alat yang sepenubnya dikuasai oleh "kapitalis". Pandangan ini kemudian menyebabkan PKI tersudut dalam pilihan yang sulit.Di tahun 1957, terjadi penyitaan dan pengambilalihan perusahaan Belanda. Masa itu adalah masa kampanye perebutan Irian Barat. Mula-mula organisasi buruh PNI yang bergerak, kemudian SOBSI, organisasi buruh PKI. Kemudian tentara yang melakukan pengambilalihan - satu hal yang mungkin karena negara sudah dinyatakan dalam keadaan darurat perang berhubung terjadinya pemberontakan daerah. Dari sini lahir suatu kenyataan yang tak sepenuhnya sudah bisa diterangkan dengan teori Marxis. Alat-alat negara menguasai perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu. Mereka dicap oleh PKI sebagai "kapitalis birokrat". Tapi mereka tidak dengan sendirinya bersikap sebagai "komprador" yang melayani kepentingan kapitalis asing dengan mengembalikan perusahaan asing itu ke pemiliknya-- yang sudah mereka kuasai sendiri. Mereka, yang oleh teori PKI dimasukkan dalam kelas "borjuis", tetap menghendaki perusahaan yang diambil alih itu milik ne~gara, bukan swasta. Pada saat yang sama, mereka memperkuat posisinya dalam struktur kekuasaan. Bagaimana PKI menghadapi kenyataan yang tak ada dalam teori itu? Suatu konfrontasi yang dilancarkan oleh gerakan buruhnya, SOBSI, bisa menyebabkan Partai seperti melawan kepentingan Republik. Apalagi waktu itu Republik sedang merapikan persatuan menentang "neokolonialisme", dan keadaan darurat perang diumumkan, dan hak mogok dicabut. Gerakan buruh PKI pun, menurut Tornquist, gagal. Partai mundur, dan berbicara tentang perlunya mendahulukan "perjuangan nasional" ketimbang "perjuangan kelas". Dan agaknya sebab itu, SOBSI, dengan sekitar dua juta anggota, tak siap untuk berkonfrontasi ketika PKI kena gebuk setelah peristiwa G30S terjadi. Kegagalan lain terjadi dengan akibat yang lebih parah, di kalangan tani. Suatu kampanye merebut hati petani selesai April 1963. PKI mengklaim sejak itu bahwa anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) punya anggota tujuh juta tani dewasa. Di pedesaanlah, Aidit melihat kesempatan menampilkan partainya, yang di kota-kota -- di kalangan buruh -- serasa macet. Di sini, Aidit yakin, PKI dapat menggabungkan "nasionalisme" dengan "perjuangan kelas" di pedesaan. Maka, di satu pihak, PKI meneruskan sikapnya berada dalam "poros Nasakom", yang dibentuk Bung Karno untuk menyatukan kekuatan PNI (Nasionalis), NU (Agama), dan PKI (Komunis). Tapi PKI juga hendak menunjukkan cirinya sendiri, den~gan memperjuan~gkan slo~gan "Tanah Bagi Penggarap". Dengan didukung Bung Karno, kaum komunis menyatakan bahwa landreform, atau penataan kembali pemilikan tanah, akan membantu petani untuk memproduksikan lebih. Dan ini penting buat swasembada pangan dalam menghadapi "neokolonialisme" di Malaysia. Namun, analisa PKI di sini juga meleset. Konsentrasi pemilikan tanah di Jawa tidaklah sedramatis seperti yang diperkirakannya. Menurut riset PKI di tahun 1963-64, salahlah untuk mengatakan bahwa mayoritas tani punya tanah, biarpun sedikit. Menurut Aidit, "tuan tanah" di desa nampaknya memang punya sekitar 3 atau 4 ha, tapi sesungguhnya tanahnya juga terdapat di desadesa lain. Dengan kesimpulan itu, dikemukakan juga bahwa konsentrasi pemilikan tanah begitu jelas hingga mereka yang tak bertanah dan petani menengah pasti ~kan punya kepentingan bersama menghadapi "tuan tanah". Dengan memobilisasikan petani, PKI memperhitungkan akan dapat dukungan 90% penduduk desa. Ada "tujuh setan desa", begitu semboyan PKI. tetapi sumbernya adalah "tuan tanah jahat". Tapi angka-angka ini tak pernah bisa terbukti. Di tahun 1961, Pemerintah memperkirakjan ada 600.000 ha tanah negara yang bisa dibagi dan sekitar 400.000 ha milik "tuan tanah" yang berlebihan. Di tahun 1963, angka 600.000 ha jadi tinggal 287.000. Sedang tentang yang milik "tuan tanah"? Di tahun 1961 Pemerintah mengatakan ada sekitar 180.000 ha tanah lebih di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Segera setelah itu, para pemilik tanah melaporkan "kelebihan" mereka cuma 92.000 ha. Yang dibagi malah lebih sedikit. Di tahun 1963, tercatat hanya sekitar 40.000 yang dibagikan. Tak jelas bagaimana selisih itu bisa demikian besar. Sudah tentu, banyak pemilik tanah yang mengurangi miliknya dan membagikannya kepada sanak saudara. Tapi toh tetap tak mudah bagi orang di Jawa dan Bali untuk menyembunyikan tanah milik sampai tak nampak sama sekali. Menurut Tornquist, ada kontradiksi yang jelas antara analisa PKI dan perkembangan yang sebenarnya. Milik "tuan tanah" sebetulnya tak terpusat benar. Dan mereka ini toh bisa melepaskan kontrol langsungnya atas tanah tanpa mengacaukan kekuasaan mereka. Sementara itu, para petani terpecah. Tak cukun ada konsentrasi pemilikan tanah yang menyebabkan petani mau bersatu untuk mengucilkan si "tuan tanah" dan membagi kekayaannya. Tornquist kemudian menunjukkan bahwa terjadinya monopoli di desa di Jawa bukanlah karena pemusatan pemilikan tanah, melainkan oleh "pemusatan surplus yang dihasilkan". Para penguasa atas desa, tanpa memiliki sawah sendiri, bisa mengontrol cara penggunaan tanah dan buruh. Siapa yang di desa ingin kaya, kata Tornquist, tak perlu punya tanah banyak. Cukup dengan menggunakan kekuatan politik dan ekonomi yang dipunyai kepala desa. Dalam keadaan itu, jumlah petani yang terdesak jadi buruh tak akan banyak benar. Tak sedikit petani miskin punya sepetak pekarangan. Ini berarti mereka lebih bersifat "klien" yang bertaut pada seorang "patron" - semacam bapak pelindung yang membantu mereka untuk memiliki tanah itu tapi selalu bisa "mengisap" tenaga mereka. Hubungan antara si kaya dan si miskin yang "lunak" macam ini menyebabkan "perjuangan kelas" yang dicanangkan BTI tak cukup berhasil. Yang terjadi malah benturan yang hebat antarpetani. Ternyata, tak sampai 90~% penduduk desa yang ikut dalam usaha "memencilkan tuan tanah". Ketika semboyan "tanah untuk penggarap" diteriak kan, para petani yang punya tanah kurang dari lima hektare ikut merasa terancam. Apalagi banyak petani kecil yang juga punya hubungan bagi hasil dengan para penggarap tanahnya, sementara mereka juga ikut mengerjakan tanah orang lain. Dalam ketegangan itu, banyak petani miskin berlindung--bukan kepada kaum sekelasnya, melainkan kepada "patron"nya. Juga kepada organisasinya. Apalagi ada seruan agama dari kalangan NU. Konfrontasi pun tak terelakkan, antara petani NU dan PNI di satu pihak, dan BTI di lain pihak. Di Jakarta, Aidit pun bimbang. Benturan macam itu membahayakan posisi PKI, sementara ia harus menghadapi oposisi yang umumnya berlindung pada TNI AD. Tanggal 12 Desember 1964, Presiden Soekarno memanggil semua partai politik bertemu di Bogor. Dari sini semua ketegangan diusahakan diredakan, dan suatu deklarasi dikeluarkan meneguhkan "kegotong-royongan" Nasakom. Aidit pun mengambil langkah mundur. Ia menyalahkan kader BTI yang dianggapnya "kurang disiplin", "tak sabar", dan bersikap sok pahlawan. Sang Ketua pun memindahkan Ismail Bakri, tokoh pertanian PKI yang radikal, ke Jawa Barat. Di pucuk pimpinan PKI terasa ada keretakan karena jalan yang semula diambil kini seperti harus ditarik. "Tanpa saya, Komite Sentral mungkin akan lebih baik," konon kata Sang Ketua waktu itu. Tak banyak yang mendukungnya. Namun, tak ada garis lain yang bisa ditawarkan. Sudisman, anggota pimpinan yang memlmpin Sidang pleno Komite Sentral, kemudian menganjurkan agar persatuan partai tetap dipelihara. "Maka, soalnya tak pernah dipecahkan," kata seorang an~ggota PKI yan~g dikutip Tornquist. Macetnya aksi massa di kalangan petani menyebabkan PKI tak punya banyak pilihan lagi. Ia tak bisa bermain dalam suasana politik "demokrasi terpimpin" yang didukungnya dengan bersemangat itu, tapi yang akhirnya membatasi gerak PKI sendiri. Lebih buruk lagi bagi Aidit, dengan membabat semua oposisi terbuka terhadapnya, musuh-musuh PKI berhimpun di dalam payung TNI AD, yang menghadangnya. Dan tinggallah PKI, cukup terkucil, dengan militansi massa yang mulai surut, menghadapi kekuatan yang tak bisa disepelekan itu. Dan Aidit sendiri tak punya sayap militer dalam partainya. Mungkin bila Angkatan Darat dirin~kus. baru jalan terbuka lebih jauh bagi PKI. "Gerakan 30 September" pun bergerak. Hampir berhasil. Tapi mereka tak memperhitungkan seorang panglima Kostrad yang bernama Soeharto. ~Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini