SETELAH 23 tahun, bendera RRC secara resmi akhirnya berkibar lagi di Indonesia. Di lantai tiga Hotel Borobudur, Jakarta, bendera merah itu pekan lalu dikibarkan, menandai dibukanya kembali kedutaan besar RRC di Jakarta, menyusul dipulihkannya hubungan diplomatik RI--RRC Agustus silam. Hubungan itu, pada 1967, dibekukan karena RRC dianggap ikut terlibat secara tidak langsung dengan Peristiwa G30S-PKI. Seberapa jauh sebenarnya keterlibatan RRC? Di antara berbagai kabut misteri yang menyelubungi kudeta 30 September itu, tanda tanya tentang keterlibatan RRC ini merupakan salah satu di antaranya. Yang menarik, buku putih pemerintah tentang Peristiwa G30S-PKI, tak menyinggung sedikit pun peran atau keterlibatan RRC. Namun, bila buku putih terkesan menghindar, tulisan-tulisan lain - khususnya yang ditulis (bekas) aparat intelijen malah bagai tak peduli. Soegiarso Soerojo, misalnya, dalam bukunya Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai jelas-jelas menyebut keterlibatan RRC dalam G30S-PKI. Tulisan Jenderal A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 8, menyebut adanya kiriman senjata dari RRC untuk PKI pada 1965, yang diselundupkan dalam peti-peti yang dikirimkan untuk proyek Conefo. Buku Memori Jenderal Yoga, yang berisi memoar bekas Kepala Bakin Jenderal Yoga Soegomo, juga telak menuding. Di situ, misalnya, disebutkan adanya misi rahasia KSAU Marsekal Omar Dhani ke RRC pada pertengahan September 1965. Hasilnya, pemerintah RRC kemudian mengirimkan senapan merek Chung, yang diangkut dengan pesawat Hercules AURI dan kapal Gunung Kerinci. Senapan-senapan inilah yang kemudian dibagikan kepada para anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani, organisasi yang ada di bawah PKI, menjelang penculikan para jenderal pada 30 September malam. Dalam buku biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Pak Harto bercerita juga tentang senapan Chung ini, hasil rampasan dari anggota Pemuda Rakyat yang tertangkap. Senapan ini diperlihatkan Pak Harto, 2 Oktober 1965, kepada hadirin sewaktu menemui Bung Karno di Istana Bogor. KSAU Omar Dhani dan deputinya Leo Wattimena, yang semula membantah, akhirnya mengakui bahwa itu memang milik AURI "yang mungkin dicuri dari gudang AURI". Benarkah RRC secara gelap mengirimkan senjata kepada PKI? Hubungan RRC dengan PKI menjelang 1965 memang sangat mesra. Para pimpinan PKI sering sekali berkunjung ke RRC, dan banyak pernyataan penting diucapkan di sana. Pada 1965 itu, PKI bisa disebut sebagai parpol yang paling besar di Indonesia. Padahal, setelah gagalnya Pemberontakan Madiun (1948), PKI praktis tinggal tulang-tulang berserakan. Akibat Pemberontakan Madiun, 36.000 anggota dan simpatisan PKI ditahan, 11 pimpinan PKI tewas, termasuk 5 anggota politbiro. Pada 1951 kepemimpinan PKI dipegang oleh D.N. Aidit, Mh. Lukman, Nyoto, dan Sudisman. Tiga tahun kemudian, 1954, PKI menyatakan punya sekitar 165.000 anggota dan calon anggota. Pada 1959, jumlah itu telah membengkak menjadi 1,5 juta. Jumlah simpatisannya juga banyak. Terbukti dalam Pemilu 1955 PKI mengumpulkan lebih dari 6 juta suara, atau 16,4% dari jumlah suara. Banyak pengamat yang waktu itu meramalkan, PKI akan muncul sebagai partai terkuat, hingga akan berhak membentuk kabinet (sesuai dengan sistem parlementer yang waktu itu berlaku). Bila terjadi, itu akan berarti berhasilnya "jalan parlementer menuju sosialisme". Namun, pada 1959, Presiden Soekarno - dengan dukungan TNI AD - menyatakan kembalinya RI pada UUD 1945. Sistem parlementer diganti dengan demokrasi terpimpin. Tapi PKI berganti taktik. Caranya: merangkul Presiden Soekarno. Lebih-lebih setelah Mei 1963 MPRS menyatakan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Untuk itu, pimpinan PKI bekerja keras buat menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut Bung Karno yang paling setia, hingga berhak menjadi ahli warisnya yang paling sah. Padahal, hingga 1951 PKI masih menyerang Bung Karno, yang disebut sebagai "Marxis dan demagog palsu". Atau sebagai "penjual negara pada Belanda dalam perjanjian KMB (Konperensi Meja Bundar)" . Sementara itu, Aidit semakin condong ke arah RRC. Yang sangat menarik, perubahan garis perjuangan PKI terjadi pada waktu Aidit mengunjungi RRC selama tiga pekan, 1963. Pada 4 September, dalam pidatonya di Beijing, Aidit mengatakan bahwa perjuangan PKI untuk berkuasa di Indonesia akan berjalan lama. Taktik yang dipakai: maju dengan berhati-hati. Aidit juga tidak mengecam ABRI yang disebutnya "bukan tentara reaksioner". Tugas partai, katanya, adalah menyatukan rakyat dengan tentara hingga, jika terjadi krisis, ABRI akan berdampingan dengan rakyat dan revolusi. Tapi, dalam pidatonya di Guangzhou, tiga pekan kemudian, 25 September 1963, Aidit mengatakan bahwa PKI harus percaya pada kekuatan sendiri, dan akan terus berada di barisan Marxis-Leninis dan menentang revisionis. Ini diartikan sebagai komitmen PKI untuk mendukung Cina. Perubahan sikap ini diduga terjadi setelah Aidit berdiskusi dengan para pemimpin RRC. Garis baru itu dinyatakan resmi pada akhir 1963. Ia menuduh adanya "petualang-petualang kontrarevolusi" yang merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Bung Karno, mencoba membunuhnya, atau mencapnya sebagai "komunis". Ia menuding ABRI sebagai "agen imperialis". Yang perlu dicatat, meski menyatakan akan terus berjuang di jalan parlementer, diam-diam Aidit pada November 1964 membentuk Biro Khusus, yang bertugas merekrut perwira-perwira ABRI yang pro komunis. Tapi, yang membuat PKI bertubrukan langsung dengan ABRI adalah tuntutan Aidit, pada 14 Januari 1965, agar buruh dan tani dipersenjatai, untuk menjawab peningkatan "imperialis Inggris" di Malaysia. Meski pada hari yang sama tuntutan itu ditolak Presiden Soekarno, beberapa hari kemudian, dalam pidatonya di Front Nasional, Aidit mengulangi permintaannya itu. Ia mengatakan, "Lima juta buruh dan sepuluh juta petani siap dipersenjatai untuk menjawab agresi Inggris dan Amerika." ABRI tentu saja waswas dengan tuntutan ini. Masih jelas ingatan pimpinan ABRI pada suasana kacau di zaman revolusi fisik, tatkala muncul begitu banyak laskar bersenjata, sebagian di antaranya liar dan menyeleweng. Dan diperlukan waktu yang lama untuk menertibkan mereka. "Angkatan Kelima" yang diusulkan PKI bisa jadi akan menjadi sumber kepusingan buat ABRI nanti. Apalagi PKI terang-terangan melancarkan aksi sepihak. Ada dugaan, ide pembentukan Angkatan Kelima ini ditanam di benak Aidit oleh RRC. Sewaktu Wakil PM Subandrio berkunjung ke RRC, Januari 1965, PM Zhou Enlai menganjurkan dibentuknya kelompok milisia di Indonesia guna membantu pengganyangan Malaysia. Ia berjanji akan memberikan secara cuma-cuma 100 ribu senjata ringan buat persenjataan milisia ini. Yang perlu dicatat, hubungan Indonesia dan RRC pada tahun-tahun itu sangat erat. Kedua negara bergantian mengirim delegasi. Pada November 1964, misalnya, Bung Karno berkunjung ke Cina dan berbicara dengan Zhou Enlai. Akhir November, ganti Menlu Chen Yi berkunjung ke Jakarta. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan, dinyatakan bahwa RRC mendukung Indonesia dalam kampanye Ganyang Malaysia. RRC kemudian juga mengirimkan tim dokternya untuk mengawasi kesehatan Bung Karno. Sejak 1963 Beijing memang berusaha membentuk koalisi buat melawan Amerika dan Uni Soviet. Untuk itu, mereka berusaha mendekati Indonesia. Menurut David Mozingo, dalam bukunya Chinese Policy Toward Indonesia, 1949-196~, hubungan yang erat dengan Indonesia, buat RRC, menjadi kunci penting untuk membangun blok baru. Sedang Bung Karno, menurut David, masuk dalam poros dengan Beijing karena hubungannya dengan Amerika dan Uni Soviet memburuk, dan terkucil di dunia internasional. Begitulah, kemudian terbentuk "Poros Jakarta-Beijing", yang kemudian ditambah dengan Hanoi. Konfrontasi dengan Malaysia bisa memperkuat posisi PKI, karena TNI AD - satu-satunya kekuatan yan~g waktu itu mampu menandingi PKI - pasti sibuk. PKI sendiri waktu itu memang sangat kuat. Mereka mengklaim punya tiga juta anggota dan 20 juta simpatisan. RRC mengirimkan Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasionalnya, Peng Chen, sewaktu PKI merayakan ulang tahunnya yang ke-45, 23 Mei 1965. Dalam perayaan itu, gambar Mao ikut dipajang bersama potret Marx, Lenin, Stalin, Bung Karno, dan Aidit. Awal Agustus 1965, Aidit berkunjung ke RRC. Di Beijing ia bertemu dengan para pemimpin RRC, termasuk Mao Zedong, Zhou Enlai, dan Deng Xiaoping. Sebuah studi oleh CIA nada 1968 tentang G30S-PKI menduga, dalam pertemuan Aidit dan Mao pada 5 Agustus itulah dibicarakan berbagai hal yang rahasia. Baru beberapa hari di RRC, Aidit mendadak harus kembali ke Jakarta karena mendengar Bung Karno sakit. Menurut studi CIA itu, boleh jadi kepulangan Aidit itu membawa rencana kup. "Ada dua kemungkinan: Aidit dipengaruhi oleh orang-orang Cina itu tatkala berada di Beijing pekan itu, dan kemudian tergesa-gesa pulang ke Indonesia untuk melaksanakan kup seperti yang diinstruksikan. Pada 15 September 1965 KSAU Omar Dhani berangkat ke Beijing atas perintah Presiden Soekarno. Tugasnya memberi tahu Beijing bahwa Indonesia membantu Pakistan (yang waktu itu berperang dengan India), dengan mengirimkan, antara lain, dua pesawat MiG. Di sini mulai timbul teka-teki. Ada versi yang mengatakan bahwa kepergian Omar Dhani juga untuk mengurus pengiriman 100 ribu senjata ringan buat Angkatan Kelima seperti yang dijanjikan Zhou Enlai. Senjata itu, menurut laporan intelijen (seperti yang dikutip Jenderal Yoga), kemudian dikirim ke Indonesia dengan pesawat Hercules dan kapal Gunung Kerinci. Studi CIA sendiri tidak memastikan adanya pengiriman itu meski yakin bahwa RRC memang mengirimkan senjata ke Indonesia sebelum September. Seperti senapan Chung yang disita dari anggota Pemuda Rakyat yang tertangkap pada 1 Oktober 1965 tadi. Ada dugaan, senata-senjata itu dikirim secara gelap dalam peti-peti yang dikirimkan RRC untuk proyek Conefo. Tapi David Mozingo dalam bukunya mengutip bantahan pimpinan ABRI terhadap kabar angin itu karena, begitu sampai di Indonesia, peti-peti itu ternyata berada di bawah pengawasan tentara. Pada Hari Nasional RRC, 1 Oktober 1965, PKI hanya mengirimkan delegasi beranggotakan 10 orang yang dipimpin anggota CG PKI Sidik Kertapati. Padahal, biasanya yang dikirim pimpinan yang lebih penting, termasuk anggota Politbiro. Maka, diduga, Aidit memang menginginkan kehadiran para pimpinan PKI guna "merayakan" kemenangan seandainya kudeta itu berhasil. Studi CIA melaporkan, para pemimpin RRC bergembira begitu mendengar terjadinya kup, juga tatkala menyampaikan berita itu pada orang-orang Indonesia yang waktu itu ada di Beijing (saat itu ada 17 delegasi Indonesia yang berkunjung di Beijing). Namun, Mozingo mencatat, tanggapan resmi pertama pemerintah RRC terhadap G30S berupa pesan pribadi Liu Shao-chi dan Zhou Enlai pada Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965, yang menyampaikan "salam hangat dan harapan yang tulus atas kesehatan dan keselamatannya, dan berharap agar Indonesia, di bawah kepemimpinannya, akan berjalan terus dalam semangat anti mperialisme dan Malaysia". Namun, yang mengobarkan kemarahan rakyat Indonesia adalah sikap Kedubes RRC di Jakarta yang menolak mengibarkan bendera setengah tiang pada 5 Oktober 1965, di hari pemakaman tujuh Pahlawan Revolusi yang dibunuh PKI. Dalih RRC bahwa Kedubes mereka nengibarkan bendera setengah tiang hanya bila Kepala Negara di negara itu wafat, ditolak ABRI dan rakyat (kecuali RRC dan Kuba, kedubes negara-negara lainnya hari itu mengibarkan bendera setengah tiang). Sikap antipati terhadap RRC pun makin terbangkit. Makin kuat kecurigaan bahwa RRC terlibat dalam G30S. Pada 16 Oktober konsulat RRC di Jakarta didemonstrasi dan dokumen-dokumen di sana dibongkar dan diacak-acak. Beijing melancarkan protes keras, dan menyatakan bahwa usaha ABRI untuk melibatkan RRC dalam kup 30 September adalah "dusta dan fitnah". Hubungan kedua makin memburuk setelah massa rakyat makin sering berdemonstrasi di gedung-gedung milik perwakilan RRC di Indonesia. Beijin~g membalas. Gedun~g KBRI di Beijing diserang Pengawal Merah. Bendera merah putih diturunkan dan dirobek-robek. Pemerintah RRC menolak memberi izin keluar buat para diplomat RI yang akan pulang. Cina juga mengumumkan akan melindungi para pelarian dari Indonesia. Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, yang menunjuk Jenderal Soeharto sebagai pemegang kekuasaan negara hubungan RI-RRC makin anjlok. RRC, akhir Maret 1966, menutup konsulatnya di Medan Banjarmasin, dan Ujungpandang. Lalu, April, memberikan suaka pada Dubes RI di Beijing, Djawoto, yang sebenarnya telah dipanggil pulang ke Jakarta untuk diperiksa keterlibatannya dalam kudet~a PKI. Lalu, pada 1 Oktober 1966, para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI menyerbu Kedubes RRC di Glodok. Empat hari kemudian, 5 Oktober, KAMI menyerukan agar RI memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC. Hubungan itu akhirnya memang dibekukan, 1967. Hubungan diplomatik kini telah dipulihkan. Namun, masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Benarkah Aidit mengikuti garis Mao? Ada yang meragukannya, sebab doktrin Mao adalah: kup tidak akan berhasil, perjuangan harus dengan jangka lama, disiapkan dengan teliti, dan perjuangan harus lewat desa. David Mozingo termasuk yang meragukan keterlibatan RRC. Memang, di mana pun selalu ada sisi-sisi gelap yang sulit terungkap. Tapi, siapa tahu, gelap itu suatu waktu nanti akan tersingkap? Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini