SEJAK minggu yang lalu, Paijo merasa gundah. Ia tidak bisa lagi memohon petunjuk untuk urusan rambutnya. Apakah ~ rambutnya yang lurus itu harus disibakkan ke kiri atau ke kanan. Dulu, berdasarkan petunjuk, ia merasa sreg bila hendak menyisir ke arah mana saja. Ia selalu merasa penuh kepastian ke mana gerangan jatuh rambutnya yang selalu tersisir rapi itu. Sekarang, setiap kali menghadap ke kaca Paijo gelisah. Ke mana gerangan rambut itu mesti dikibaskani Ke kanan? Paijo takut, jangan-jangan di hadapan orang yang dihormatinya dan di depan khalayak yang mengaguminya, akan tampak kurang pantas. Ke kiri? Paijo pun takut pula. Nanti jangan-jangan ulahnya yang lancang itu ternyata tidak mendapat restu. Maka, stok minyak rambut yang sudah berkotak-kotak dibelinya itu ni~aya mubazir. Bukankah krim rambut bermukjizat yang mampu menaklukkan arah sisiran rambutnya menurut petunjuk itu selama ini telah mampu menyelamatkan segala keraguannya? Misalnya, tatkala merasa mendapat petunjuk bahwa hari ini rambutnya yang lurus tipis itu harus disisir ke kanan, sang penyelamat krim rambut perkasa itu mampu membetot jatuhnya sibakan rambut Paijo ke arah kanan. Demikian pula ketika ia merasa petunjuk dan pengarahan telah berubah, misalnya, rambut haru~ dijatuhkan ke belakang semua. Maka, sang krim penyelamat itu pun dengan setia memelihara nasib baiknya. Tidak mengherankan bila Paijo sekarang gundah-gulana karena tidak boleh memohon petunjuk. Ia merasa tak punya pegangan. Ke~marin dulu, untuk pertama kalinya Paijo pergi ke kantor dengan sisiran menur~ut seleranya sendiri. Tidak ke kanan atau ke kiri, seperti biasanya Tetapi rambutnya yang penurut itu dibelah di tengah. Untuk menenggang dan berjaga-jaga. Kalau-kalau ada orang yang merasa Paijo sebaiknya menyibakkan rambutnya ke kiri. Atau ada yang lebih suka ia memilih sibakan rambut ke kanan. Paijo tidak ingin mengecewakan siapa pun. Lebih-lebih orang-orang yang dihormatinya. Yang penting ia bisa tenang karena kepastian ada di dalam dadanya. Masalahnya, mana mungkin Paijo bisa merasa tenang tanpa petunjuk. Bukankah selama ini, sekiranya petunjuk langsung tidak atau belum bisa dia peroleh, ia harus selalu mengingat-ingat bunyi petunjuk yang umum? Bukankah sudah ada petunjuk umum, alias usul fiqh-nya orang kerja, sebagaimana termaktub dalam pasal-pasal petunjuk pelaksanaan alias juklak? Atau kalau ingin lebih cermat lagi, Paijo, seperti halnya teman-temannya, harus meneliti isi dan kandungan buku petunjuk teknis atau juknis. Bekerja tanpa petunjuk, bagi Paijo, rasanya ibarat gumantung tanpa cantel~an--menggantung tanpa cantelan. Ngomong tanpa restu, buat Paijo, rasanya seperti harus menguc~pkan rangkaian kata-kata tanpa makna. Ibarat Paijo harus menggerutu, tetapi bunyinya hanya ringikan seperti suara hantu. Begitu juga bertindak tanpa pengarahan, buat Paijo, rasanya seperti berjalan di tengah padang hamparan. Paijo sungguh tak tahu arah tujuan. Mendingan jadi Beo, pikirrlya. Karena bila ia jadi Beo, biar asal bunyi, pendengarnya toh tak bakal memasukkan ke hati. Atau Paijo kepingin menjadi Bebek. Biarpun harus selalu mengekor, dijamin selamat sampai tujuan. Paijo akan selalu sangat berterima kasih atas jasa-jasa pengangon bebek yang setia. Pekerja tekun itu selalu memberi petunjuk dengan galahnya. Sesungguhnyalah, pawang bebek itu ahli dalam memberi petunjuk dan pengarahan kemana letak tujuan perjalanan. Tidak bakal ada seekor bebek pun yang akan protes, biarpun pengarahan itu membawa mereka ke comberan. Tetapi bagaimana kalau tiba-tiba Beo disuruh terbang seperti Garuda? Bagaimana sekiranya tiba-tiba Bebek diperintahkan memekik melengking dan bersikap waspada seperti Angsa? Saya berani menjamin, baik Beo maupun Bebek tentu tidak mungkin bisa melakukannya. Keduanya tidak bisa bukan hanya karena alasan budaya. Tetapi sudah menyentuh perbedaan mendasar perkara sangkan paraning Beo dan Bebek, yang berbeda dengan Garuda dan Angsa. Maka, tatkala sampai di kantor, Paijo segera mengumpulkan anak buahnya. Ia ingin agar budaya baru tentang kemampuan bekerja tanpa harus tergantung petunjuk itu juga bisa disebarluaskan di jajaran lingkungan tempat kerjanya. Semua kepala biro, kepala bagian, dan kepala seksi mesti diberi tahu. Bahwa memohon petunjuk dan pengarahan itu sekarang merupakan soal yang tabu. Ia minta agar dikeluarkan sebuah instruksi kepada seluruh jajaran aparat di lingkungannya, supaya budaya kerja tanpa menunggu petunjuk dan pengarahan ini dilembagakan. Bahkan ia ingin istilah petunjuk dan pengarahan dihilangkan saja dari khazanah birokrasi baru di lingkungan kerjanya yang makin maju, kreatif, dan demokratis. Maka, rapat kerja pun diadakan dengan tema "Tanpa Petunjuk Kita Menyongsong Kebangkitan Nasional Kedua dan Era Tinggal Landas Menuju Masyarakat Adil dan Makmur Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta Tetap Dalam Semangat Orde Baru". Memang, Paijo merasa tema itu kedengaran agak terlalu panjang. Tetapi sekarang tidak dikeluarkan lagi petunjuk tentang pilihan bunyi tema rapat kerja. Karena itu, demi kepastian, keselamatan, dan kesinambungan, tema yang sedikit kepanjangan itu pun tak jadi apa. Bahkan untuk menampung, kalau-kalau ada yang merasa belum melihat aspirasinya terkandung dalam tema rapat kerja gaya baru ini, sub-tema pun dikarang oleh Paijo sendiri. "Tanpa Petunjuk dan Pengarahan, Kita Bertekad Menyukseskan Program Pembangunan Jangka Panjang Dua Puluh Lima Tahun Kedua". Paijo geleng kepala. Tanpa petunjuk pun, ternyata dia bisa berdaya cipta. Maka, tatkala tiba puncak acara pembukaan rapat kerja, pembawa acara mempersilakan Paijo berdiri di mimbar. Paijo pun menyampaikan pidato pengarahan yang berisi petunjuk tentang hakikat budaya kerja baru tanpa menunggu petunjuk. Paijo pikir, memberi petunjuk tidak dilarang. Bukankah yang tidak dianjurkan hanya memohon restu ~dan meminta petunjuk~ ~
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini