MUHAMMADIYAH digugat. Organisasi pembaru Islam ini dituduh sudah mandek, tak lagi melakukan gerakan tajdid. Sebab itu, predikat Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru sudah harus dicabut. Ucapan bernada menggugat ini dilontarkan oleh anggota Majelis Tablig. Akhmad Syafi'i Maarif, dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini. Gugatan ini ternyata berhasil masuk dalam agenda acara tanwir Muhammadiyah yang dilangsungkan di Yogyakarta mulai Kamis pekan ini, dalam acara yang membahas posisi Muhammadiyah abad ke-21. Pembahasan masalah itu, "Bagaimanapun ada kaitannya dengan kegelisahan kaum muda Muhammadiyah," kata Amien Rais, Ketua Majelis Tablig PP Muhammadiyah. Kelompok cendekia muda, dalam tanwir yang tergolong istimewa ini, mengaku siap melakukan terobosan-terobosan. Untuk itu, diperkirakan perhelatan akan berlangsung seru. Tanwir tahunan kah ini memang termasuk istimewa. Diikuti 150 peserta, sidang tanwir akan membahas lima materi pokok. Antara lain evaluasi tentang pelaksanaan putusan muktamar ke-41 dan perubahan Anggaran Rumah Tangga. Kemudian usulan sebagai bahan penyusunan GBHN, dan juga mempersiapkan konsepsi Muhammadiyah menghadapi abad ke-21. Mengenai masukan untuk GBHN, PP Muhammadiyah mengusulkan agar aliran kepercayaan jangan disenapaskan dengan agama, pelajaran agama agar dimulai sejak taman kanak-kanak, dan agar lain pelajaran agama ditambah. Usulan ini tentu menarik, mengingat Ketua NU Abdurrahman Wahid secara pribadi -- juga Nico Daryanto dari PDI -- pernah mengusulkan agar mata pelajaran agama dihapus saja dari sekolah. Namun, yang agaknya paling menarik adalah konsepsi Muhammadiyah menghadapi abad ke-21. Di sinilah para pucuk pimpinan bakal digugat. Menurut Amien Rais, apa yang dilakukan Muhammadiyah, "Itu sudah masa lalu." Pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah cuma terbatas pada pembersihan akidah dari syirik dan bid'ah. Soal fikih. Sedangkan kini soal-soal keagamaan sudah tak bisa lepas dari pengaruh politik dan ekonomi. Untuk itu Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru harus memasuki kedua bidang ini. Ia harus memikirkan pandangan ke depan yang lebih luas. Misalnya, bagaimana konsepsi Islam (Muhammadiyah) tentang kemiskinan, tunawisma, dan pengangguran. Untuk itu, "Kami akan memberikan paradigma yang besar guna memecahkannya," kata Amien. Sebab, bila tidak, "Bisa jadi wibawa agama akan merosot." Akhmad Syafii Maarif juga "menonjok" soal sistem pendidikan tinggi yang dianggapnya gagal. "Seharusnya tak ada pemisahan antara pelajaran sekuler dan pelajaran agama," katanya. Dosen IKIP Negeri Yogya ini menilai, selama ini tidak ada keberanian menerobos pemikiran tokoh idola Muhammadiyah seperti Muhammad ibn Abdul Wahab dan Muhammad Abduh. "Padahal, secanggih apa pun pendapat orang, itu selalu terikat oleh tempat dan waktu." Itulah yang dikatakannya sebagai kemandekan. Sebab itu, kalau Muhammadiyah tidak dapat menampilkan diri sebagai pembaru, lebih baik sebutan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dicabut saja. Benarkah Muhammadiyah sudah mandek? Menurut A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, memang untuk soal ibadat sudah tidak perlu lagi pembaruan. Yang perlu ada pembaruan hanya di bidang muamalah (kemasyarakatan). Yang namanya pembaruan itu seperti orang makan nasi -- berulang-ulang. Jadi, "Pengulangan itu perlu untuk kelangsungan hidup," katanya. Menurut Djarnawi Hadikusumo, yang terjadi di Muhammadiyah adalah kesalahpahaman. "Muhammadiyah justru mengartikan pembaru itu sebagai jalan mundur karena hakikatnya adalah kembali kepada tuntunan (Nabi - Red.)," kata tokoh Muhammadiyah ini. Tajdid adalah mengembalikan sesuatu yang telah diselewengkan kepada asalnya. Jadi, "Tajdid itu bukannya menciptakan model-model baru," katanya. Agus Basri (Jakarta), Rustam F. Mandayun dan Aries Margono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini