Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Semen yang membuat lumpuh

23 napi dan 2 pegawai lpa tanjung gusta, medan, menderita penyakit lumpuh. penyebabnya virus yang menyusup ke sumsum tulang belakang dipercepat oleh tempat tidur semen.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA khidmatnya acara itu. Sekitar 200 orang kawula muda melantunkan lagu-lagu rohani dengan khusyuk. Sukar membedakan mereka: mana yang pelajar, mana yang napi remaja. Acara "Natalan Bersama" itu memang diselenggarakan para siswa SMP Tunas Kartika dan penghuni Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) di Tanjung Gusta, Medan, pada 5 Desember lalu. Tapi begitu acara usai, suasana syahdu itu mendadak buyar. Tak kurang dari 23 napi belasan tahun itu hanya bisa terpaku di kursinya melihat rombongan pelajar SMP itu pulang, tak ikut bersalaman seperti para napi lainnya. Supriadi, 15 tahun, misalnya, cuma bisa melayangkan seulas senyumnya yang getir. Seperti 22 temannya, napi bermata cekung ini lumpuh kakinya. "Kaki ini terasa berat untuk diajak melangkah," kata terhukum 10 bulan sejak Mei 1987 itu. Kelumpuhan 23 napi itulah yang kini mengganggu pikiran Kepala Kanwil Departemen Kehakiman Sum-Ut, Sofumbowo Larosa, 56 tahun. Padahal, ia yang turut menghadiri Natalan itu, baru 3 bulan bertugas di Medan. Apalagi selain 23 napi muda itu masih ada lagi 5 napi dewasa yang dibetot penyakit kaki lumpuh itu. Larosa tampaknya tak berupaya menyembunyikan kasus yang tak enak itu dan telah melapor ke Menteri Kehakiman. Ia menuding desain LPA yang masih dipengaruhi warisan kolonial itu sebagai penyebab musibah tersebut. "Ruang tahanan mereka terlalu lembap," kata bekas hakim tinggi di Surabaya itu kepada TEMPO. Maklum, para napi di LP Tanjung Gusta itu tidur di atas balai-balai terbuat dari semen. Walau sehelai tikar tipis digelar di atasnya, lapis ini tampaknya tak menolong. Karena itu, ia berharap dalam membangun LP di masa depan, dipertimbangkan desain ruang tahanan yang bisa memberi kehangatan. Misalnya, dengan melapiskan lembaran papan atau tripleks di atas semen itu. Gawatnya, kasus napi lumpuh itu sudah menunjukkan gejala mewabah. Pada awal November lalu, korbannya masih 15 orang. Ternyata, pada akhir November jumlah korban itu menjadi 23 orang. "Betapa cepat populasinya," tutur Larosa. Penyakit ini menunjukkan gejala serupa. Mula-mula penderita menggigil kedinginan, meski sekujur tubuh terasa hangat. Lalu kaki mulai terasa kesemutan. "Rasanya, sebesar kaki gajah," kata Supriadi yang kurus itu. Gejala berikutnya agak aneh. Perut dan kepala, misalnya, seolah terkena setrum listrik. Disusul demam sekitar sepekan, kaki pun tak lagi bisa digerakkan. "Konon pula mau berdiri dan jalan, "keluh Supriadi. Namun, dr. S. Sianipar menyangkal lumpuhnya napi itu karena tidur di atas semen. Ia berpendapat, biangnya adalah sejenis virus yang menyusup hingga ke sumsum tulang belakang. Sedang tidur di semen itu dinilainya hanya sebagai "pemacu" yang memperlaju kelumpuhan itu. Seorang ahli bedah saraf di Medan, dr. Gofar Sastrodiningrat, membenarkan dugaan Sianipar. Menurut dia, virus itu harus disedot dari sumsum penderita. "Untuk mencegat terjadinya infeksi ikutan," kata Gofar. Tapi apa mau dikata, dana LP yang sangat terbatas tak memungkinkan pengobatan itu. Maka, Sianipar, yang sudah 17 tahun bertugas di LP Tanjung Gusta itu, hanya bisa memberi beberapa vitamin dan tablet kalk untuk penguat tulang. Hasilnya lumayan juga. Paling tidak kini sudah ada 5 napi yang mampu berdiri dan berjalan sendiri, walau masih tertatih-tatih. Tapi itu jugalah yang dikhawatirkan Gofar. Sebab, walau sudah terasa sembuh, virus itu masih bersarang dalam tubuh. "Jadi, setelah disedot, virus itu harus diisolir agar tak menular," kaa Gofar. Boleh jadi dokter itu benar karena, ternyata, kini dua pegawai LP Tanjung Gusta Medan juga ketularan penyakit itu. Apakah virus itu akan dibiarkan terus mewabah? Bersihar Lubis & Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus