DALAM beberapa tahun terakhir ini, angka laju pertumbuhan
ekonomi selalu menjadi "bintang" dalam pidato kenegaraan
Presiden di DPR setias 16 Agustus. Seakan sudah menjadi tradisi,
tepuk tangan bergemuruh setiap kali Kepala Negara sampai pada
bagian ini.
Tahun ini tidak. Banyak anggota DPR yang menghadiri sidang,
Selasa pekan lalu, cuma manggut-manggut, dan ada juga yang
kaget, tatkala Presiden Soeharto mengungkapkan laju pertumbuhan
ekonomi pada 1982 sebesar 2,25%. Ini berarti penurunan tajam
dibanding tahun-tahun sebelumnya: 1979 (7,3%), 1980 (9,9%), dan
1981 (7,9%).
Namun di bagian lain 415 orang anggota DPR, jumlah yang tercatat
dalam daftar hadir, memberikan sambutan meriah ketika Presiden
mengumumkan tekad pemerintah memberantas korupsi. "Pemerintah
tidak akan bertindak setengah-setengah dalam hal ini," kata
Kepala Negara yang disambut keplok ramai.
Belum reda bisik hadirin membicarakan rencana ini, tepuk tangan
meledak lagi ketika Presiden -- masih dalam nada suara tinggi
mengatakan: "Dengan demikian akan timbul sikap malu dan takut
untuk melakukan korupsi."
Pidato kenegaraan Kepala Negara di DPR kali ini memang agak
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bayang-bayang pertumbuhan
ekonomi yang rendah di masa datang tampak membayangi pidato
tersebut. Pada acara yang sama tahun lalu, misalnya, Presiden
menyodorkan berita gembira: di tengah kemelut ekonomi dan resesi
ekonomi dunia Indonesia berhasil lolos dari bangsa
berpenghasilan rendah dan masuk taraf yang berpenghasilan
sedang. Pertumbuhan ekonomi pada 1981 (7,9%) oleh Presiden
Soeharto dibanggakan karena di atas banyak negara berkembang --
bahkan dari beberapa negara industri sekalipun. Tahun ini tidak
ada berita gembira seperti itu. Namun ini tidak berarti nada
pidato Presiden tahun ini pesimistis. Sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, rasa percaya diri sendiri tetap mencuat dalam pidato
pekan lalu. Kendati Presiden Soeharto mengakui kita akan
memasuki tahun-tahun berat yang penuh dengan ujian dan
tantangan, ia menambahkan "dengan tradisi sebagai bangsa pejuang
yang telahkeluar dengan selamat dari ujian-ujian yang berat di
masa silam, pembangunan di masa datang juga akan kita kerjakan
dengan semangat perjuangan yang menyala-nyala."
Pekerjaan besar di tahun yang akan datan adalah menyusun
Repelita IV dan mulai melaksanakannya tahun depan.
Penyusunannya, menurut Presiden, harus dengan wawasan yang jauh
melampaui kurun waktu lima tahun. Alasannya: Repelita IV
merupakan kerangka landasan bagi Repelita selanjutnya, hingga
dalam Repelita VI kita dapat tinggal landas menuju masyarakat
makmur berlandaskan Pancasila.
Alasan kedua, dengan Repelita IV, Angkatan 1945 akan makin
mendekati perampungan tugas historisnya. Ini berarti berhasil
tidaknya Repelita IV akan ikut menentukan berhasil tidaknya
Angkatan 1945 menjalankan tugas historisnya.
Menghadapi tugas dan tantangan berat ini, Pak Harto menyerukan
perlu adanya penyegaran motivasi dan moral. "Tanpa penyegaran
motivasi dan moral, kita pasti tidak akan mampu mengatasi
tantangan-tantangan berat dan memikul tugas-tugas besar tadi,"
ujarnya.
Sumber untuk penyegaran tadi, menurut Kepala Negara, adalah
Pancasila. "Pancasila merupakan sumber yang hidup, bukan sumber
yang mati, bagi penyegaran motivasi dan moral bagi semua pihak,
semua golongan, semua lapisan, dan semua generasi dalam
menghadapi tantangan dan ujian berat yang akan datang," kata
Presiden.
Bagian utama pidato Presiden Soeharto menguraikan palaksanaan
Panca Krida Kabinet Pembangunan IV. Mengenai krida pertama
(meningkatnya Trilogi Pembangunan yang didukung ketahanan
nasional yang makin mantap) Pak Harto menegaskan: "Kita harus
berjuang keras agar momentum pembangunan tetap berada di
tangan." Ia menambahkan sekaligus harus dijaga agar masalah
sosial ekonomi jangan sampai menimbulkan gejolak sosial politik
dan menggoyahkan stabilitas nasional.
Dijelaskan pula oleh Kepala Negara berbagai langkah yang telah
dilakukan pemerintah. Antara lain devaluasi rupiah dan
penjadwalan kembali sejumlah proyek pembangunan merupakan
langkah nyata untuk mengencangkan ikat pinggang. "Saya berterima
kasih bahwa kebijaksanaan itu dipahami oleh masyarakat luas
dengan rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya," kata
Presiden.
Kepada para anggota DPR, Presiden mengungkapkan bahwa pemerintah
akan segera mengajukan beberapa rancangan undang-undang yang
menyangkut pembaharuan perpajakan nasional. Tujuannya untuk
meningkatkan penerimaan dalam negeri. Pembaharuan itu meliputi
penyederhanaan jenis pajak, tarifnya, dan cara pembayarannya.
"Kita akan menciptakan sistem pajak yang sederhana dan mudah
dimengerti setiap orang, sistem pajak yang didasarkan pada
prinsip keadilan dan kewajaran, dan yang memberikan kepastian
bagi setiap wajib pajak," kata Pak Harto.
Kemudian secara panjang lebar Pak Harto menguraikan pelaksanaan
pembangunan di berbagai sektor, disertai rencana peningkatannya
di masa Pelita IV. Pembangunan akan tetap dititikberatkan pada
sektor pertanian, juga meningkatkan industri yang menghasilkan
mesin sendiri. Pembangunan di sektor nonpertanian diharapkan
bisa maju lebih cepat dari sektor pertanian.
Berdasar perkiraan kemampuan kita untuk mengembangkan
pertumbuhan di berbagai sektor, Presiden Soeharto memperkirakan
laju pertumbuhan ekonomi selama Repelita IV rata-rata 5%
setahun. Perkiraan ini, kata Presiden, "cukup realistik."
Alasannya, pemulihan kegiatan ekonomi dunia berlangsung amat
lamban. Lagi pula sebagai akibat belum adanya penanganan yang
tuntas dan efektif terhadap masalah-masalah yang struktural
dan mendasar dari tantangan ekonomi dunia, serta tidak ada
kepastian bahwa resesi ekonomi tidak akan terulang kembali.
Melihat prospek yang kelabu tersebut dalam Pelita IV pemerintah
tampak akan berusaha keras menekan laju pertumbuhan penduduk.
Dewasa ini, laju pertumbuhan penduduk sedikit di atas 2%. Pada
akhir Repelita IV diusahakan agar di bawah 2%. Dengan demikian
laju pertumbuhan penduduk rata-rata selama Pelita IV adalah 2%
setahun. "Dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar itu, maka
produksi nasional nyata per jiwa akan meningkat dengan rata-rata
3% per tahun selama Repelita IV yang akan datang," ujar Kepala
Negara.
Mengenai tekad pemerintah memberantas korupsi ditegaskan
Presiden Soeharto tatkala menguraikan pelaksanaan krida kabinet
kedua: "Meningkatnya pendayagunaan aparatur negara menuju
terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa." Pak Harto
menegaskan "Langkah-langkah penindakan oleh pihak Kejaksaan
terhadap yang bersalah melakukan penyelewengan, korupsi, dan
sebagainya, akan terus dilaksanakan. Pemerintah tidak akan
bertindak setengah-setengah dalam hal ini."
Menurut Pak Harto, langkah ini mendapat dukungan luas di
kalangan masyarakat. Sehingga diharapkan berkembang pula sanksi
sosial dan sanksi moral terhadap koruptor. "Dengan demikian akan
timbul sikap malu dan takut untuk melakukan korupsi," tutur
Presiden yang disambut tepuk tangan ramai para hadirin.
Keplok gemuruh juga disuarakan anggota DPR ketika Presiden
menyinggung masalah yang banyak ditunggu: asas tunggal
Pancasila. Kepala Negara mengingatkan bahwa tercantumnya
ketentuan dalam GBHN yang menggariskan semua kekuatan sosial
politik menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas adalah
"keputusan bersama" dan "konsensus nasional".
Kemudian Presiden menegaskan: "Sebagai ideologi, Pancasila bukan
gabungan dari bermacam-macam ideologi lain yang ada di dunia.
Pendahulu-pendahulu kita yang meletakkan dasar negara ini
menggali Pancasila itu dari bumi Indonesia sendiri, dari
kepribadian kita sendiri. Pancasila adalah ideolog nasional yang
menjadi milik kita bersama."
Lalu diingatkannya: "Jika masing-masing golongan memiliki
ideologi sendiri, maka kita akan kembali ke zaman "Nasakom" yang
pernah kita alami dengan segala malapetakanya. Menghidupkan
kembali suasana seperti Nasakom -- walaupun komunisnya telah
hilang -- berarti memasang kembali bom waktu yang cepat atau
lambat pasti akan meledak." Nasakom adalah gagasan Presiden
Soekarno untuk mempersatukan golongan nasionalis, agama, dan
komunis.
Pak Harto juga memberikan jaminan terhadap partai poritik dan
Golkar. Walau mereka menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya
asas politik, mereka tetap memiliki pendekatan dan penekanan
sendiri dalam memikirkan dan memecahkan masalah yang dihadapi.
Mereka akan dapat menawarkan progaram masing-masing dalam masa
pemilihan umum.
Kepala Negara tidak menguraikan keharusan semua organisasi
kemasyarakatan menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Tapi dijelaskannya bahwa GBHN juga menugasi kita untuk
meningkatkan peranan organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam
pembangunan nasional sesuai dengan bidang kegiatan, profesi, dan
fungsi masing-masing. Sebab itu akan disusun undang-undang dalam
rangka memantapkan dan menata organisasi massa organisasi massa
tersebut. Usaha ini "dengan sendirinya juga harus kita tempatkan
dalam rangka menjamin kelestarian Pancasila, kestabilan nasional
dan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,"
katanya.
Mengenai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa,
Presiden Soeharto mengatakan: "Kita tetap berpegang teguh kepada
Pancasila, UUD 1945, P-4 dan GBHN sendiri." Lalu, untuk kesekian
kalinya, diulanginya lagi: "Pancasila bukan agama. Pancasila
tidak akan dan tidak mungkin menggantikan agama. Pancasila
tidak akan diagamakan. Juga agama tidak mungkin dipancasilakan."
Menurut Presiden, tidak ada sila-sila dalam Pancasila yang
bertentangan dengan agama. Dan tidak ada satu agama pun yang
ajarannya memberi tanda-tanda larangan terhadap pengamalan
sila-sila dalam Pancasila. "Walaupun fungsi dan peranan
Pancasila dan agama berbeda, dalam negara Pancasila ini kita
dapat menjadi pengamal agama yang taat sekaligus pengamal
Pancasila yang baik.
Memasuki tahun ke-39 kemerdekaan yang mungkin tidak gemerlapan,
berbagai ajakan dan jaminan Kepala Negara tersebut patut
direnungkan. Karena, seperti dikatakan Pak Harto, kita punya
"tugas sejarah": melanjutkan dan meningkatkan karya besar para
pendahulu kita yang dengan segala peruangan, pengorbanan,
keikhlasan, dan ketulusan, telah mengantarkan rakyat Indonesia
ke depan pintu gerbang Kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini