REVOLUSI, ternyata, dapat juga berlangsung dari atas.
Hampir 60 tahun yang lalu, Mustafa Kemal, orang yang mengubah
Turki jadi "negeri sekuler", berkeliing mengunjungi wilayah
Kastamonu.
Ia waktu itu sudah berada di pucuk kekuasaan. Ia presiden, ia
mengontrol kepemimpinan parlemen, dan ia juga memimpin partai
tunggal. Seorang temannya mengolok-olokkannya bahwa dengan
demikian ia sudah jadi semacam Trinitas. Ia menjawab: "Betul
juga -- tapi jangan bilang siapa pun."
Namun lebih dari semua itu, ia -- di mata rakyat -- seorang
pahlawan, sang Gazi, yang mengalahkan si kafir Inggris.
Karena itulah mereka menyambutnya dengan luar biasa di
Kastamonu, meskipun rakyat tak tahu siapa Kemal sebenarnya, Di
sebuah desa, misalnya, seorang pelukis menggambar pada tembok
imajinasinya tentang sang Gazi: seorang jagoan perang yang
brewok dengan pedang sepanjang tujuh kaki.
Kastamonu memang provinsi yang udik, yang tak mungkin
mengharapkan bahwa pahlawan perang Turki yang berkunjung itu
ternyata tidak berjenggot dan tidak berpedang. Hari itu rakyat
dusun memasang karpet di jalanan. Mustafa Kemal turun dari
mobilnya. Ia melangkah menghampiri khalayak. Tak sedecah pun
terdengar suara, ketika mereka melihat bahwa sang Gazi ternyata
adalah lelaki dengan wajah yang tercukur bersih, dan -- yang
lebih mengejutkan berpakaian Eropa.
Ia mengenakan topi Panama.
Adakah Kemal sengaja? Pasti. Sudah beberapa waktu sebelumnya ia
memikirkan soal penutup kepala ini.
Ia mengakui, selama beberapa bulan terakhir ia sudah tiga kali
bermimpi tentang fez, alias terbus, alias kupluk Turki yang
merah berkucir itu. Kemal menganggapnya sebagai pertanda
keterbelakangan, lambang reaksioner, yang harus diberantas. Tiap
kali ia bermimpi tentang terbus, katanya setengah melucu, tiap
kali pintu kamarnya diketuk dan sahabatnya memberitahu ada
gerakan menentang revolusi di suatu tempat.
Kemal bukanlah Kemal bila ia biarkan orang menentang revolusinya
yang hendak meniadikan Turki seperti angsa Barat. Ia sudah lama
terpengaruh oleh ide-ide Abdullah Jevdet, sejak 1912. Melalui
majalahnya Ichtihad, Jevdet menyatakan bahwa di zaman ini tak
ada peradaban selain peradaban Barat. Orang ini juga yang
membayangkan fez diganti, turban dan jubah hanya untuk kaum
ulama profesional, dan sekolah agama ataupun perkumpulan tarekat
ditutup.
Di tahun 1912 pikiran seperti itu terasa seperti sebuah khayal.
Tapi kemudian Kemal menang -- dan ia ingin mengubah, secara
paksa dan segera, impian Jevdet jadi kenyataan. Dalam perJalanan
di Kastamonu itu ia mulai.
Tapi betapa pun, ia bukan orang gegabah. Ia cukup gugup
mengawali rencananya. Tangannya gemetar ketika mengangkat gelas
untuk minum. Maka sebelum ia meledakkan bom pembaharuannya, ia
dengan sengaja mengikuti kehendak rakyat: ia ikut dalam pesta
yang mengelu-elukannya.
Ia menerima saja ketika kambing-kambing disembelih, meskipun ia
sebenarnya tak menyukai adat itu. Ia menyambut buah apel yang
dipersembahkan. Ia mendengarkan anak-anak menyanyikan lagu
perjuangannya, dan menyaksikan tarian orang perahu. Ia memuji
wilayah yang makmur itu, ia menyalami penduduknya yang "maju".
Lalu, akhirnya, ia berpidato.
"Saudara-saudara sekalian," katanya, "sebuah pakaian yang
beradab, yan internasional, layak dan tepat bagi bangsa kita,
dan kita akan mengenakannya. Sepatu atau lars untuk telapak
kita, pantalon untuk kaki kita, dan juga kemeja, dasi -- dan
tentu saja, untuk melengkapi semua itu, kita perlu tutup di
kepala kita. Saya ingin pertegas hal ini. Tutup kepala ini
bernama 'topi'."
Revolusi telah dicanangkan. Orang Turki harus mengganti
pakaiannya, khususnya tutup kepalanya.
Di wilayah Timur huru-hara meletus, meskipun kemudian
dipadamkan. Di seluruh Turki cara membongkok pun harus diubah,
agar topi jangan jatuh. Ada juga kain yang spesial dipasang
supaya orang bisa rukuk dan sujud waktu bersembahyang. Lalu
terbus pun punah.
60 tahun kemudian, kita mungkin mengingat kembali semua dengan
sedikit geli: terlampau banyak orang geger untuk hal yang
ternyata sepele. Kemal toh tak bisa menjadikan Turki sebuah
masyarakat Barat, sementara kaum ulama tak bisa mengembalikan
Turki ke bawah terbus.
Ironisnya, pici yang lucu itu ternyata pada mulanya adalah mode
Yunani Kristen. Ia dikenakan sebagai tanda kemajuan revolusioner
menghadapi turban, yang dianggap kolot di awal abad ke-19. Dan
segera ia jadi simbol kekolotan baru. Tutup kepala apa pun bisa
beku jika pikiran membeku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini