JIKA banyak yang menangis karena Pak Said meninggal, baiklah
kita kenang ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri. Ia
bisa mencucurkan air mata karena sebuah adegan film, ia gampang
terharu. Tapi ia bukan penyedih. Jika anda agak banyak bergaul
bersamanya, anda akan sering mendengar suara baritonnya,
berlagu, cukup keras. Nada percakapannya riang. Kepalanya
senantiasa tegak. Sikap yoga itu telah menyatu dalam dirinya.
Ia seorang orang tua yang agak ganjil bila dibandingkan dengan
umumnya orang yang dibapakkan di masyarakat tradisional Jawa.
Kita tak bisa membayangkan Pak Said memakai tongkat -- lambang
lanjut usia dan kehormatan. Kita tak bisa membayangkan Pak Said
dengan tenang dan senang membiarkan orang lain
membongkok-bongkok kepadanya. Rambut itu kian memutih, tiap
hari, tapi sebelum hari terakhirnya di dunia pekan lalu, ia
seperti tak akan pernah ditaklukkan oleh umur. Ia tak pernah
dimanjakan oleh usia. Karena itulah wafatnya masih tetap terasa
mencengangkan: benarkah ia meninggalkan kita?
Jika banyak yang menangis lantaran Pak Said telah pergi, baiklah
kita kenang: ia gemar menyanyikan La vie en rose.
Hidup adalah sesuatu yang tenang tapi pada dasarnya riang dalam
diri Pak Said. Kembang mawar yang tidak mentereng, tapi segar.
Rumput hijau yang tidak mahal, tapi bersih. Di masa ketika kita
(karena iklan atau pun keserakahan) dipanasi hasrat untuk punya
lebih banyak barang, atau punya yang lebih baru, Pak Said tetap
adem. Dalam dirinya telah terbentuk sikap yang sejati untuk
tidak menganggap bahwa makna kata "berada" adalah berpunya.
Ber-ada adalah hadir, hidup. Ber-punya hanyalah memperluas
kemungkinan, suatu jalan, bukan tujuan.
"Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan
naik surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk
mengetahui sampai di mana aku, dapat mengatur kekuatan."
Kalimat-kalimat itu, sudah tentu, bukan dari Pak Said. Mereka
terselip dalam buku Nh. Dini Sebuah Lorong Di Kotaku. Tapi
ajaran Kiyai Wirobesari, kakek si pengarang, dalam hal itu
agaknya sejalan dengan garis seorang Ki Said -- yang percaya
benar akan semboyan moralis besar Sosrokartono.
Seperti kini sering dikutip oleh para pejabat kita, tapi dengan
interpretasi yang salah, obiter dictum Sosrokartono ingin
memperlihatkan bahwa orang bisa merasa kaya tanpa memiliki harta
benda, suatu keadaan sugih tanpa bandha. Dengan demikian orang
juga bisa memberi, tanpa merasa kehilangan. Orang bisa bebas
dari ikatan "punya". Orang bisa bebas dari demam keinginan,
telanjang tanpa kekuatan dan kekuasaan. Dan sekaligus, berada di
atas rasa congkak dan sikap sewenang-wenang.
Ada yang mengatakan sikap hidup seperti Pak Said adalah sikap
hidup yang ekstrim: seorang tokoh yang cuma bersandal, seorang
anggota Dewan Pertimbangan Agung yang tidak bermobil, seorang
menteri (di waktu lampau) yang dari gedung departemennya keluar
membeli rokok sendiri di tepi jalan. Betapa aneh zaman, untuk
menyebut itu ekstrim. Sebab Pak Said sendiri hanya melakukan hal
yang biasa saja untuk dirinya, tidak untuk"nyentrik", tidak
untuk menarik perhatian atau untuk ngotot dengan satu prinsip.
Tapi zaman rupanya ingin mendesakkan suatu pola umum -- di mana
semua orang harus mengikuti "kelayakan".
Akibatnya ialah "kesederhanaan" jadi suatu pengertian yang
menggugat, yang membingungkan, penuh hipokrisi dan dipersoalkan.
Padahal Pak Said, tauladan kesedcrhanaan itu, tidak menggugat ia
bahkan mungkin telah mengecewakan mereka yang lebih "radikal",
karena ia kurang cukup bersuara menghardik kemewahan yang kini
nampak di sekitar.
Tapi kenapa mesti menghardik? Pak Said orang yang berbahagia.
Kesederhanaan baginya bukan tanda prestasi dari suatu maraton
etik dan pengorbanan. Kesederhanaan baginya adalah suatu
ketenteraman yang mengasyikkan. Sebuah kebun mawar. Sebidang
rumput hijau. Suatu berkah.
Maka jika ada yang menangis karena Pak Said meninggal, baiklah
kita ingat ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini