Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Teladan Kesederhanaan

Pak Said adalah tokoh kesederhanaan tapi dianggap aneh. Ia adalah anggota DPA yang tak bermobil, eks menteri yang dari kantor departemennya, keluar untuk membeli rokok sendiri. Ia telah meninggal dunia

30 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA banyak yang menangis karena Pak Said meninggal, baiklah kita kenang ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri. Ia bisa mencucurkan air mata karena sebuah adegan film, ia gampang terharu. Tapi ia bukan penyedih. Jika anda agak banyak bergaul bersamanya, anda akan sering mendengar suara baritonnya, berlagu, cukup keras. Nada percakapannya riang. Kepalanya senantiasa tegak. Sikap yoga itu telah menyatu dalam dirinya. Ia seorang orang tua yang agak ganjil bila dibandingkan dengan umumnya orang yang dibapakkan di masyarakat tradisional Jawa. Kita tak bisa membayangkan Pak Said memakai tongkat -- lambang lanjut usia dan kehormatan. Kita tak bisa membayangkan Pak Said dengan tenang dan senang membiarkan orang lain membongkok-bongkok kepadanya. Rambut itu kian memutih, tiap hari, tapi sebelum hari terakhirnya di dunia pekan lalu, ia seperti tak akan pernah ditaklukkan oleh umur. Ia tak pernah dimanjakan oleh usia. Karena itulah wafatnya masih tetap terasa mencengangkan: benarkah ia meninggalkan kita? Jika banyak yang menangis lantaran Pak Said telah pergi, baiklah kita kenang: ia gemar menyanyikan La vie en rose. Hidup adalah sesuatu yang tenang tapi pada dasarnya riang dalam diri Pak Said. Kembang mawar yang tidak mentereng, tapi segar. Rumput hijau yang tidak mahal, tapi bersih. Di masa ketika kita (karena iklan atau pun keserakahan) dipanasi hasrat untuk punya lebih banyak barang, atau punya yang lebih baru, Pak Said tetap adem. Dalam dirinya telah terbentuk sikap yang sejati untuk tidak menganggap bahwa makna kata "berada" adalah berpunya. Ber-ada adalah hadir, hidup. Ber-punya hanyalah memperluas kemungkinan, suatu jalan, bukan tujuan. "Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai di mana aku, dapat mengatur kekuatan." Kalimat-kalimat itu, sudah tentu, bukan dari Pak Said. Mereka terselip dalam buku Nh. Dini Sebuah Lorong Di Kotaku. Tapi ajaran Kiyai Wirobesari, kakek si pengarang, dalam hal itu agaknya sejalan dengan garis seorang Ki Said -- yang percaya benar akan semboyan moralis besar Sosrokartono. Seperti kini sering dikutip oleh para pejabat kita, tapi dengan interpretasi yang salah, obiter dictum Sosrokartono ingin memperlihatkan bahwa orang bisa merasa kaya tanpa memiliki harta benda, suatu keadaan sugih tanpa bandha. Dengan demikian orang juga bisa memberi, tanpa merasa kehilangan. Orang bisa bebas dari ikatan "punya". Orang bisa bebas dari demam keinginan, telanjang tanpa kekuatan dan kekuasaan. Dan sekaligus, berada di atas rasa congkak dan sikap sewenang-wenang. Ada yang mengatakan sikap hidup seperti Pak Said adalah sikap hidup yang ekstrim: seorang tokoh yang cuma bersandal, seorang anggota Dewan Pertimbangan Agung yang tidak bermobil, seorang menteri (di waktu lampau) yang dari gedung departemennya keluar membeli rokok sendiri di tepi jalan. Betapa aneh zaman, untuk menyebut itu ekstrim. Sebab Pak Said sendiri hanya melakukan hal yang biasa saja untuk dirinya, tidak untuk"nyentrik", tidak untuk menarik perhatian atau untuk ngotot dengan satu prinsip. Tapi zaman rupanya ingin mendesakkan suatu pola umum -- di mana semua orang harus mengikuti "kelayakan". Akibatnya ialah "kesederhanaan" jadi suatu pengertian yang menggugat, yang membingungkan, penuh hipokrisi dan dipersoalkan. Padahal Pak Said, tauladan kesedcrhanaan itu, tidak menggugat ia bahkan mungkin telah mengecewakan mereka yang lebih "radikal", karena ia kurang cukup bersuara menghardik kemewahan yang kini nampak di sekitar. Tapi kenapa mesti menghardik? Pak Said orang yang berbahagia. Kesederhanaan baginya bukan tanda prestasi dari suatu maraton etik dan pengorbanan. Kesederhanaan baginya adalah suatu ketenteraman yang mengasyikkan. Sebuah kebun mawar. Sebidang rumput hijau. Suatu berkah. Maka jika ada yang menangis karena Pak Said meninggal, baiklah kita ingat ia tak pernah menangis untuk dirinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus