Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menilai kekhawatiran kembalinya nuansa militerisme dan otoritarianisme dalam pemerintahan Prabowo Subianto hanyalah imajinasi belaka. Menurut dia, asumsi-asumsi tersebut lahir dari memori kelam pada masa pemerintahan Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Peristiwa yang pernah terjadi, memori-memori pada masa lampau, yang terjadi seakan-akan kita menghadirkan (memori itu) dalam imajinasi semua orang,” kata Natalius dalam konferensi pers di Gedung Kementerian HAM pada Selasa, 11 Maret 2025.
Mantan Komisioner Komnas HAM tersebut berpendapat, opini yang berkembang soal militerisme dan pemerintahan yang otoriter tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dia bahkan menyebut isu-isu yang berkembang saat ini insinuatif atau bersifat tuduhan yang kejam.
“Tuduhan-tuduhan yang kejam, berlebihan, tidak beralasan, dan insinuatif terkait dengan militerisasi dan berkembang otoritarianisme,” ucap Natalius.
Salah satu hal yang membuat Natalius yakin hidupnya kembali militerisme dan otoritarianisme tak akan terjadi adalah keputusan Prabowo untuk membentuk Kementerian HAM. Dirinya berpandangan, hanya negara yang demokratis yang memiliki keinginan politik dan mewujudkan terbentuknya Kementerian HAM.
“(Indonesia) satu dari empat negara di dunia yang punya Kementerian Hak Asasi Manusia. Dalam suasana begini, apakah ada otoritarianisme? Apakah ada militerisme” ujar Natalius dengan tegas.
Pandangan soal kentalnya nuansa militer pada kepemimpinan Prabowo didasari oleh jejak pelibatan militer atau tentara dalam pemerintahan sang mantan jenderal tersebut. Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti keputusan Prabowo memobilisasi militer untuk agenda proyek strategis nasional (PSN) seperti proyek di Food Estate Merauke dan Rempang Eco City.
“Pola-pola ini akan diperluas ke proyek-proyek strategis nasional lainnya,” tulis YLBHI dalam kajian resmi mereka yang bertajuk “Melangkah Mundur untuk Menghancurkan Demokrasi: Catatan 100 Hari Kekuasaan Rezim Prabowo” pada Jumat 20 Januari lalu.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard menemukan indikasi menguatnya tren praktik otoriter di Indonesia. Menurut Callamard, salah satu indikasinya adalah dominannya peran militer dalam berbagai kebijakan dan lembaga sipil dalam satu dekade terakhir. Callamard menyebut dalam beberapa tahun pelanggaran HAM dan militerisasi atas ruang-ruang sipil di Indonesia kian marak.
“Saya berkunjung ke Indonesia dalam rangka kampanye global menentang praktik-praktik otoriter di penjuru dunia sebagai bagian dari resistensi global terhadap langkah Donald Trump bersama sekutunya melanggar hak asasi manusia dan tata kelola global,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 7 Maret 2025.
Nandito Putra ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.